Tautan-tautan Akses

Provokasi Massa Gunakan Isu Kebangkitan PKI Harus Dihentikan


Seorang pemrotes mengangkat tinjunya dalam aksi demo anti-komunis di luar kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di Jakarta, Senin pagi, 18 September 2017.
Seorang pemrotes mengangkat tinjunya dalam aksi demo anti-komunis di luar kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di Jakarta, Senin pagi, 18 September 2017.

Sejumlah lembaga swadaya masyarakat dan juga Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan mengecam penyerbuan kantor YLBHI dan LBH Jakarta. Mereka menilai provokasi massa dengan menggunakan isu kebangkitan PKI tidak boleh dibiarkan dan harus ditindak tegas.

Situasi tegang menyelimuti kawasan sekitar kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan LBH Jakarta Minggu malam (17/9). Massa yang jumlahnya sekitar 50-an bertambah dengan cepat menjadi ratusan orang.

Mereka datang untuk menolak sekaligus membubarkan apa yang mereka yakini sebagai seminar mengenai Partai Komunis Indonesia (PKI) yang tengah berlangsung di dalam gedung YLBHI tersebut. Padahal, acara yang digelar berupa pentas seni bertajuk #AsikAsikAksi. Di dalam para aktivis, seniman, dan korban tragedi 1965 menonton beberapa acara seni seperti puisi dan musik.

Sekitar pukul 21.30, massa yang berkumpul di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat mulai berteriak-teriak untuk membubarkan acara yang ada di dalam. Massa yang berasal dari Aliansi Mahasiswa Antikomunis ini menganggap acara tersebut merupakan bentuk kembalinya PKI. Selain bertakbir, mereka juga secara serentak dan berulang kali menyanyikan yel yel “Ganyang PKI”.

Tembakan gas air mata dan meriam air malah membikin massa kian beringas. Baru hari Senin sekitar pukul 03.00 dini hari polisi berhasil mengusir massa dari depan kantor LBH. Polisi pada Senin pagi berhasil mengevakuasi 68 orang dari dalam gedung YLBHI ke kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.

Dari kiri: aktivis Gusdurian Savic Ali, ketua advokasi LBH Jakarta Muhammad Isnur dan Ketua Komnas Perempuan Azriana dalam acara jumpa pers terkait penyerbuan kantor LBH Jakarta dan YLBHI, di kantor Komnas Perempuan, Senin 18/9.(Foto: VOA/Fathiyah)
Dari kiri: aktivis Gusdurian Savic Ali, ketua advokasi LBH Jakarta Muhammad Isnur dan Ketua Komnas Perempuan Azriana dalam acara jumpa pers terkait penyerbuan kantor LBH Jakarta dan YLBHI, di kantor Komnas Perempuan, Senin 18/9.(Foto: VOA/Fathiyah)

Dalam jumpa pers bersama di kantor Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Ketua Advokasi Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Muhammad Isnur menjelaskan acara Minggu malam adalah acara keprihatinan karena sehari sebelumnya polisi membubarkan paksa seminar bertema Pengungkapan Kebenaran Sejarah 65/66, yang juga berlangsung di kantor LBH Jakarta.

Isnur menambahkan pihaknya sempat khawatir karena sejak Jumat (18/9) sudah tersiar luas di media sosial propaganda dan instruksi-instruksi untuk menyerbu kantor LBH. Ia menilai penyerbuan sekaligus perusakan terhadap gedung LBH Minggu dinihari itu merupakan puncak arahan menyerbu LBH Jakarta.

Lebih lanjut Isnur yang mengaku menyaksikan langsung kerusuhan itu dari luar gedung YLBHI mengatakan pihaknya menemukan hasutan-hasutan untuk menyerbu LBH itu disebarluaskan sejumlah situs dan akun media sosial, dengan tuduhan LBH menggelar acara berbau komunis. Padahal, lanjut dia, polisi sudah meyakinkan kepada semua pihak, termasuk massa yang berkumpul selama bahwa acara digelar selama Sabtu-Minggu di kantor LBH tersebut tidak berkaitan dengan PKI.

Isnur menjelaskan massa yang sudah marah meneriakkan kata-kata kasar dan provokatif. Massa yang tidak terkendali akhirnya melempari kantor LBH dengan batu dan berupaya menerobos pintu masuk LBH dijaga polisi. Dia juga mengapresiasi polisi dalam menindak tegas para massa itu.

"Saya secara umum melihat ini dari kelompok-kelompok yang secara ideologis memang tidak menyukai PKI dan selalu mengkampanyekan bahwa ada bahaya PKI. Kalau ini tidak dibuka (diusut.red), peristiwa ini akan terjadi lagi. Ini bukan peristiwa yang pertama. Kampanye bahwa PKI masih bangkit lagi ini sudah bertahun-tahun, padahal PKI sudah hancur," ujar Isnur.

Savic Ali, aktivis dari jaringan Gusdurian – semacam jaringan pecinta pemikiran mendiang Gus Dur – mengatakan mengatakan kelompok massa yang menyerbu kantor YLBHI semalam adalah pihak-pihak yang tidak mampu melihat kontribusi sekaligus posisi YLBHI dalam konteks gerakan pro-demokrasi di Indonesia.

"Saya mewakili teman-teman Gusdurian sangat menyayangkan bagaimana kelompok-kelompok ini tidak memahami dan tidak mampu mengisi ruang demokratis, ruang kebebasan yang terjadi sekarang ini , dengan cara ingin menggasak, mengepung, menyerang sebuah organisasi yang berpuluh-puluh tahun berjasa buat demokrasi," papar Savic.

Savic menjelaskan di masa Orde Baru YLBHI dipandang sebagai lokomotif demokrasi. Karena dari YLBHI banyak diskusi-diskusi, kritik, dan konsolidasi dilakukan para aktivis para demokrasi dalam mengkritik rezim Soeharto. Ditambahkannya, YLBHI berjasa besar atas runtuhnya rezim Orde Baru yang membuka jalan reformasi dan memberi kebebasan semua kelompok untuk mendirikan organisasi. Ia mengapresiasi kinerja polisi mengendalikan massa, tetapi menilai polisi bertindak terlambat.

Menurut Savic, tantangan demokrasi saat ini juga muncul dari kelompok-kelompok masyarakat madani yang kerap mengedepankan kekerasan.

Provokasi Massa Gunakan Isu Kebangkitan PKI Harus Dihentikan
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:03:48 0:00

Dalam kesempatan itu, Ketua Komnas Perempuan Azriana menyampaikan sikap lembaganya atas penyerangan terhadap kantor YLBHI. Ia mengatakan Komnas Perempuan mengutuk mobilisasi massa, penyerangan, dan perusakan terhadap gedung LBH Jakarta dan YLBHI.

"Komnas Perempuan menyayangkan makin memburuknya perlindungan dan pemenuhan hak untuk berkumpul dan berpendapat. Reformasi yang diperjuangkan dengan tidak mudah, kini semakin terancam. Provokasi massa dengan menggunakan isu kebangkitan PKI terus berulang dan dibiarkan," tutur Azriana.

Komnas Perempuan, ujar Azriana, menyesalkan pembiaran mobilisasi massa atau represi yang dilakukan atas nama keamanan, yang telah mengkhianati hak asasi, demokrasi, dan komitmen negara untuk menuntaskannya.

Komnas Perempuan, tambahnya, melihat ada penyebaran kebencian, stigmatisasi pada korban peristiwa 1965/1966 dan upaya penyangkalan yang semakin serius di publik; dan ini harus segera disudahi. [fw/em]

Recommended

XS
SM
MD
LG