Tautan-tautan Akses

Presiden Diminta Perhatikan Seleksi Anggota BPK


Perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan BPK yang terdiri dari ICW, Seknas Fitra, Medialink, TII, IBC, IPC, Jariungu, CITA saat menggelar konferensi pers di kantor ICW, Jakarta Selatan, Kamis, 8 Agustus 2019. (Foto courtesy: Fitra/dok)
Perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan BPK yang terdiri dari ICW, Seknas Fitra, Medialink, TII, IBC, IPC, Jariungu, CITA saat menggelar konferensi pers di kantor ICW, Jakarta Selatan, Kamis, 8 Agustus 2019. (Foto courtesy: Fitra/dok)

Presiden Joko Widodo diminta ikut memperhatikan seleksi calon anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Sasmito Madrim menyampaikan laporannya dari Jakarta.

Peneliti Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA) Gulfino Guevarrato menilai seleksi calon anggota BPK melanggar pasal 14 UU No 15 Tahun 2006 tentang BPK. Kata dia, menurut pasal itu seharusnya semua pendaftar yang berjumlah 62 orang diserahkan kepada Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Bukan sebaliknya diseleksi oleh DPR terlebih dahulu menjadi 32 nama calon anggota baru dan baru kemudian diserahkan ke DPD.

Di samping itu, kata Gulfino, proses seleksi calon anggota ini kurang memenuhi azas transparansi dan akuntabilitas. Indikasi ini terlihat dari 32 nama yang lolos seleksi administrasi makalah,menurut tim kecil Komisi XI DPR terdiri dari delapan mantan calon legislatif (caleg), dua anggota BPK, tiga petinggi perusahaan. Sedangkan 30 calon dari akademisi, auditor dan akuntan publik semuanya digugurkan.

"Problem selanjutnya berkaitan dari komposisi calon komisioner BPK. Dari 32 calon komisioner, delapan orang adalah anggota parpol, caleg gagal. Bahkan ada politisi yang masih menjadi pengurus partai," jelas Gulfino di Jakarta, Kamis (8/8).

Fitra menilai BPK merupakan lembaga strategis yang memiliki wewenang besar dalam memeriksa penggunaan uang negara dan bersinggungan dengan seluruh lembaga negara. Oleh karena itu, dibutuhkan orang-orang yang berintegritas, profesional dan tidak terafiliasi dengan partai politik.

Perhatian Presiden Jokowi juga dibutuhkan mengingat pernah ada auditor BPK yang tertangkap tangan oleh KPK dalam kasus suap hasil laporan pemeriksaan keuangan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.

Dalam pantauan Indonesian Corruption Watch (ICW) ada delapan kasus dugaan suap yang melibatkan auditor atau staf BPK sepanjang 2004-2017. Selain itu, ada tiga kasus pelanggaran kode etik di BPK yaitu anggota BPK Ali Masykur Musa (2014), Kepala BPK Perwakilan Jakarta dan Auditor Efdinal (2015), Ketua dan Anggota BPK Harry Azhar (2016).

"Kondisi ini dapat terus berulang jika kualitas dan integritas anggota BPK tidak diperbaiki dan disaring sejak awal seleksi," tambahnya.

Fitra juga menyoroti rekomendasi BPK atas hasil pemeriksaan periode 2005-2018, yang menunjukkan adanya persoalan daya dorong BPK yang belum maksimal dalam mendorong auditee (lembaga yang diaudit). Itu terlihat dari total potensi kerugian negara sebesar Rp280 triliun dengan hanya Rp85 triliun yang berhasil disetor ke kas negara atau daerah atau perusahaan.

Atas dasar itulah, Fitra bersama organisasi masyarakat sipil lainnya seperti ICW dan Transparancy International Indonesia (TII) juga mendorong DPR mengulang proses seleksi agar lebih transparan dengan membentuk panitia seleksi, serta membuka keterlibatan publik seluas-luasnya.

Menanggapi hal itu, anggota Komisi XI DPR RI Johnny G Plate mengatakan, proses seleksi calon anggota BPK telah dilakukan sesuai dengan Undang-undang. Selain itu, kata dia, Komisi XI juga telah membentuk panitia seleksi dan melibatkan DPD dalam prosesnya. Hanya, ia tidak mau menanggapi langsung permintaan sejumlah LSM agar proses seleksi anggota BPK diulang kembali.

"Yang harus dilakukan justru proses dilakukan sesuai amanat UU dan menghasilkan anggota BPK yang kompeten dan berkualitas," jelas Johnny G Plate melalui pesan online, Jumat (9/8). [sm/lt]

Recommended

XS
SM
MD
LG