Tautan-tautan Akses

Pilot AS Tewas Ketika Angkut Kargo Alat Uji Cepat Covid-19 di Papua


 Tim SAR gabungan menemukan puing pesawat dan jenazah pilot di Danau Sentani, Jayapura, setelah hilang kontak, Selasa, 12 Mei 2020.
Tim SAR gabungan menemukan puing pesawat dan jenazah pilot di Danau Sentani, Jayapura, setelah hilang kontak, Selasa, 12 Mei 2020.

Tiga minggu telah berlalu sejak pesawat Mission Aviation Fellowship (MAF) mengalami kecelakaan yang menewaskan pilotnya, Joyce Lin, seorang warga Amerika, namun para kolega Joyce dan penduduk desa Papua yang biasa dilayani penerbangan MAF masih berduka.

Pesawat nahas itu sedianya mengantarkan kargo termasuk rapid test kit (alat uji cepat) COVID-19 untuk klinik desa Mamit dan barang-barang kebutuhan sekolah dan desa di dataran tinggi Papua itu. Leonard Triyono melaporkan selengkapnya.

Keluarga besar Mission Aviation Fellowship (MAF) berduka karena kehilangan seorang pilotnya Joyce Lin, seorang warga Amerika yang mengalami kecelakaan tidak lama setelah tinggal landas dari bandara Sentani, Papua, pada pagi hari 12 Mei lalu, ketika dalam penerbangan menuju desa Mamit di dataran tinggi Papua untuk mengantarkan kargo berupa berbagai keperluan desa itu dan supply medis, termasuk alat uji cepat Covid-19 untuk sebuah klinik di desa itu.

Pilot Joyce Lin merayakan penerbangan solo pertamanya bersama teman-teman satu tim di Bandara Sentani (courtesy: MAF)
Pilot Joyce Lin merayakan penerbangan solo pertamanya bersama teman-teman satu tim di Bandara Sentani (courtesy: MAF)

Duka mendalam juga dirasakan oleh penduduk desa-desa di lereng-lereng pegunungan Jayawijaya yang selama ini pernah berkenalan dengan Joyce ketika ia memiloti pesawat untuk mengantarkan berbagai keperluan ke desa-desa itu.

Pada pagi yang nahas itu, pilot Joyce Lin terbang solo.

Brad Hoglun adalah Direktur Corporate Communication MAF di kantor pusat di Nampa, Idaho. Kepada VOA dia mengatakan, hampir semua pesawat MAF di Papua memang hanya diterbangkan oleh satu orang awak, sang pilot sendiri.

“Sangat lazim bagi pilot kami untuk terbang solo. Sebenarnya, terbang solo dengan MAF adalah prestasi luar biasa karena kami tidak mengambil pilot yang masih hijau. Mereka harus memiliki pengalaman bertahun-tahun, bahkan mereka harus memiliki lisensi pilot komersial berikut pelatihan instrumen. Mereka membutuhkan total minimum 1.000 jam terbang, 100 jam pengalaman instrumen, dan 200 jam terbang dengan pesawat bermesin lebih dari 200 tenaga kuda. Jadi, pilot yang kami rekrut memiliki pengalaman, dan mereka masih harus menjalani pelatihan selama setahun melalui MAF. Joyce terbang solo untuk pertama kalinya dengan MAF, meskipun dia pernah menjadi instruktur pilot, dengan lisensi pilot. Mengapa kami melakukan terbang solo? Pesawat yang kami miliki berjenis Cessna caravan dan pesawat yang disebut Kodiak, yang merupakan pesawat yang mampu lepas landas dan mendarat di landasan pendek,” ujarnya.

Brad Hoaglun mengatakan walaupun memiliki dua tempat duduk, pesawat-pesawat itu benar-benar dirancang untuk dapat dikendalikan sepenuhnya oleh satu orang pilot. Hal itu memungkinkan pesawat terbang ke landasan-landasan di daerah-daerah terpencil dengan lebih banyak kargo, lebih banyak persediaan untuk desa-desa tujuan. “Jadi, kecuali ada kebutuhan seperti penerbangan jarak jauh, kami biasanya tidak terbang dengan dua pilot,” katanya. Penerbangan yang dilakukan oleh Joyce pagi itu dijadwalkan menempuh waktu satu jam ke desa Mamit.

Brad Hoaglun menyebut Joyce Lin sebagai pribadi yang luar biasa.

Pilot Joyce Lin (foto courtesy: MAF).
Pilot Joyce Lin (foto courtesy: MAF).

“Joyce adalah seorang individu ideal seperti yang diinginkan dari semua orang yang bekerja di MAF, bahwa semua karyawan seperti dia. Dia luar biasa berbakat. Dia berdedikasi tinggi untuk melayani orang. Dia memiliki dua gelar dari Massachusetts Institute of Techonolgy. Dia pernah kuliah di seminari teologi dan memiliki gelar Master dari sana. Dia pernah berdinas di Angkatan Udara Amerika, Dia pernah bekerja untuk bagian teknologi dan keamanan siber di sebuah perusahaan swasta selama beberapa tahun. Semua itu dia tinggalkan setelah melakukan magang dengan MAF sepuluh tahun sebelumnya, karena dia ingin melayani orang-orang di sini. Dia mengatakan, ‘inilah panggilan saya untuk melayani sesama,’ dan apa yang kita cari adalah orang-orang yang merasa terpanggil untuk melayani.”

Brad Hoaglun menambahkan, seorang pilot dapat menghasilkan lebih banyak uang dengan menjadi pilot di salah satu maskapai besar, tetapi di Papua para pilot menerbangkan pesawat kecil ke desa-desa terpencil, dalam cuaca yang sering tidak bersahabat, selain juga udara yang panas dan lembab dan pekerjaan yang berat. Namun, “para pilot kami bertemu dengan orang-orang yang sangat baik dan kami bersyukur bisa membantu kehidupan mereka,’ ujarnya.

Joyce Lin berbagi kasih dengan membawa berbagai perbekalan untuk penduduk terpencil di Papua (courtesy: MAF).
Joyce Lin berbagi kasih dengan membawa berbagai perbekalan untuk penduduk terpencil di Papua (courtesy: MAF).

Brad Hoadlun mengatakan, MAF punya sejarah panjang melayani penduduk di daerah-daerah terpencil dan ikut menyumbang dalam pembangunan daerah-daerah tertinggal di Papua.

“MAF memiliki sejarah panjang melayani di tempat yang sekarang dikenal sebagai Papua. Kami sebenarnya memulainya pada tahun 1952 ketika Papua dikenal sebagai Nugini Belanda dan kami mengerjakan program pertama di sana dengan suku Dani. Sejak saat itu MAF telah memperluas operasi, menjangkau desa-desa terpencil lainnya. Bagian dari pekerjaan kami adalah respons bencana. Pada tahun 1976 Papua mengalami gempa bumi dahsyat. Tim bencana kami turun tangan dengan peralatan dan kami melakukan banyak penerbangan bantuan, evakuasi medis, dan hal-hal semacam itu. Selama bertahun-tahun kami memiliki lima pangkalan di Papua dan kami terbang ke sekitar 150 lapangan terbang di Papua. Orang-orang di sana luar biasa dan perjalanan ke sana, karena medan, sangat sulit. Warga desa-desa terpencil harus berjalan selama beberapa hari untuk mencapai kota, tetapi dalam penerbangan kami, kami dapat membawa perawat dan dokter jika tidak ada klinik di sana atau jika evakuasi medis diperlukan. Itulah jenis pelayanan yang kami lakukan dan terus kami lakukan di Papua sejak 1952,” tambahnya.

Dia mencontohkan bagaimana Joyce Lin sangat tekun dengan pekerjaannya dengan rasa kemanusiaan yang tinggi.

Warga desa Mamit meletakkan bunga dan catatan untuk pilot Joyce Lin di ujung landasan (courtesy: MAF).
Warga desa Mamit meletakkan bunga dan catatan untuk pilot Joyce Lin di ujung landasan (courtesy: MAF).

Misalnya, suatu ketika Joyce harus membawa seorang wanita yang sakit keras yang tidak mampu duduk di pesawatnya. Joyce tidak segan-segan membantu wanita yang telah berada dalam keadaan kritis itu untuk diantarkan ke kota. Dia merebahkannya ke lantai pesawat, mengikatkan sabuk pengaman, dan mulai mendoakan wanita itu. “Air matanya mengalir dan suaranya pecah saat dia melakukan itu semua, tetapi itu bukan air mata kesedihan — itu adalah air mata pengharapan,” ujar Hoaglun.

Pilot Joyce Lin meninggalkan kedua orang tuanya, dua saudara perempuan, serta semua sahabat baik di MAF maupun di tempat belajar dan tempat dia bekerja sebelumnya, dan terutama mereka yang pernah disentuhnya di tempat-tempat terpencil, di lereng-lereng terjal di pegunungan Jayawijaya. [lt/ii]

Pilot AS Tewas ketika Angkut Kargo Alat Uji Cepat Covid di Papua
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:05:44 0:00


Recommended

XS
SM
MD
LG