Tautan-tautan Akses

Perizinan Tidak Sinergi Penyebab Dwelling Time Lambat


Suasana di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta (Foto: dok).
Suasana di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta (Foto: dok).

Banyaknya perizinan tidak sinergi dari Kementerian dan Lembaga Negara menjadi penyebab lambatnya proses masa tunggu bongkar muat peti kemas atau dwelling time di pelabuhan di Indonesia.

Ketua Asosiasi Logistik dan Forwader Indonesia, Widjiyanto menilai wajar jika akhir-akhir ini masalah lambatnya dwelling time di Indonesia semakin menjadi sorotan karena maraknya oknum yang menyalahgunakan proses dwelling time sudah lama terjadi dan harus segera dibenahi. Hal tersebut disampaikannya di Jakarta, Kamis.

Menurutnya banyaknya perizinan di Kemeterian dan Lembaga Negara atau KL yang harus diproses para pengusaha membuat dwelling time lambat dan berakibat negatif pada perdagangan dalam negeri yang seharusnya menjadi andalan penopang pertumbuhan ekonomi.

“Masih banyaknya tumpang tindih masalah perizinan yang dikeluarkan oleh KL- KL sehingga ini juga merupakan satu hambatan untuk terjadinya dwelling time, masalah ini kita harapkan ada kebijakan-kebijakan dari pemerintah, dari bea cukai bagaimana supaya barang yang masuk dalam proses kementerian itu bisa dikeluarkan dari pelabuhan, sehingga tidak menyebabkan penumpukan,” kata Widjiyanto.

Ketua Asosiasi Logistik dan Forwader Indonesia, Widjiyanto (Foto: VOA/Iris Gera)
Ketua Asosiasi Logistik dan Forwader Indonesia, Widjiyanto (Foto: VOA/Iris Gera)

Widjiyanto menambahkan, jika fungsi pelabuhan dikembalikan seperti semula, dwelling time di pelabuhan-pelabuhan di Indonesia tidak akan lambat.

“Fungsi dari pada pelabuhan itu agar dikembalikan sebagai tempat bongkar muat saja, pelabuhan yang ada di Indonesia ini adalah termahal di dunia,” kata Widjiyanto.

Sebelumnya anggota Kamar Dagang dan Industri atau Kadin DKI Jakarta, Adil Karim menyatakan hal sama. Terlalu banyak perizinan yang harus diproses eksportir dan importir membuat dwelling time lambat. Ia memberi contoh impor makanan kemasan seharusnya cukup mendapat izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan atau BPOM.

“Impor terkadang harus melewati beberapa instansi untuk perizinannya, sebelum sampai dokumen ke bea cukai, misalnya saya impor saus ikan, kita sudah dapat izin dari Badan POM karena dia menangani ikan, tetapi karena ada bahan bakunya dari ikan sertifikat kita yang dari negara asal kita bawa lagi kita ajukan dokumen, harus ada pelepasan dari karantina ikan, kalau kita bicara masalah importasi kita bicara masalah waktu ke waktu, setiap waktu bergeser itu sudah cost,” kata Adil Karim.

Menanggapi banyaknya pihak terlibat dalam proses dwelling time, Deputi Menko Perekonomian bidang Perniagaan dan Industri, Edy Putra Irawady mengakui banyak pungutan liar dan premanisme di pelabuhan-pelabuhan di Indonesia. Hal tersebut menurutnya tidak dapat terus dibiarkan agar tidak mengganggu kinerja perekonomian di dalam negeri.

“Ndak bisa kita biarkan kondisi seperti ini, itu kenyataan, fakta dan fenomena yang saya hadapi sehingga saya ditugaskan melakukan penegakan hukum, pungli-pungli, premanisme itu lebih dahsyat lagi,” kata Edy Putra Irawady.

Sementara itu kepolisian sudah menahan lima tersangka terkait dugaan tindak pidana pencucian uang atau TPPU dalam proses dwelling time. Langkah kepolisian tersebut dilakukan setelah Presiden Joko Widodo marah dan kecewa saat melihat lambatnya dwelling time di pelabuhan Tanjung Priok beberapa waktu lalu.

Presiden meminta dwelling time di Indonesia yang selama ini rata-rata 14 hari dipersingkat menjadi 4,7 hari. Target tersebut masih lebih lambat dibanding Singapura yang hanya satu hari, dan Malaysia selama dua hari.

Lambatnya dwelling time di Indonesia menurut presiden merugikan negara sekitar Rp 780 trilyun per tahun akibat banyaknya waktu dalam sektor perdagangan terbuang.

Recommended

XS
SM
MD
LG