Tautan-tautan Akses

Perempuan Penjaga Perdamaian: Dari Patroli, Layanan Kesehatan, Hingga Masak Rendang


Lettu Rima Eka Tiara (tengah) dan Serda Yazella Agustin (kanan) merupakan bagian dari satgas batalion Indonesia (Indobatt), Pasukan Penjaga Perdamaian PBB di Lebanon (UNIFIL). (Foto: PIO Indobatt XXIII-N/UNIFIL)
Lettu Rima Eka Tiara (tengah) dan Serda Yazella Agustin (kanan) merupakan bagian dari satgas batalion Indonesia (Indobatt), Pasukan Penjaga Perdamaian PBB di Lebanon (UNIFIL). (Foto: PIO Indobatt XXIII-N/UNIFIL)

Perempuan berperan penting dalam misi perdamaian dunia, seperti yang dilakukan oleh para prajurit perempuan Indonesia dalam United Nations Interim Force in Lebanon atau UNIFIL. Mereka membantu upaya pencegahan konflik hingga pembinaan masyarakat.

Berpatroli di area Blue Line (garis biru), garis demarkasi antara Lebanon dan Israel merupakan salah satu kegiatan rutin Lettu Rima Eka Tiara untuk menjaga keamanan. Mereka berpatroli dengan berkendara mobil atau berjalan kaki, dari desa ke desa, di Al Qusayr dan sekitarnya.

“Kami memastikan mereka tidak ada kontak fisik atau kontak mata dari negara sebelah (Israel) dengan negara Lebanon karena kami di sini bersifat imparsial sesuai mandat UN 1701. Kami hanya melakukan patroli dan observasi saja,” kata Rima.

United Nations Interim Force in Lebanon (UNIFIL), yang dibentuk pada 1978, bertujuan untuk menjamin gencatan senjata antara Lebanon dan Israel.

Bagi banyak prajurit perempuan Kontingen Garuda, berpatroli di sekitar wilayah yang rawan ini merupakan pengalaman pertama.

Seperti pengalaman Serda Yazella Agustin, yang sebelumnya dinas di Jakarta.

“Rasa khawatir pasti ada. Kami selalu harus bisa menenangkan rasa khawatir, tetap siaga dan hati-hati. Selama patroli aman terkendali karena kita masyarakat Indonesia oleh masyarakat Lebanon terkenal akan kehangatannya,” ujar Serda Yazella Agustin.

Kegiatan Sipil-Militer Terkendala Covid-19

Jika sedang tidak berpatroli atau menjaga pos, Rima dan Yazella yang tergabung dalam unit kerja sama sipil-militer (Civil-Military Cooperation/CIMIC), banyak melakukan kegiatan pembinaan masyarakat.

Sebelum pandemic Covid-19 melanda, imbuh Yazella, mereka rutin mengadakan layanan kesehatan kepada masyakarat di desa binaan.

“Itu rutin kita lakukan seminggu sekali. Masyarakat bisa datang ke (fasilitas) medis yang kita sediakan untuk memeriksakan diri,” papar Yazella.

Serda Yazella Agustin, Bintara Civil Military Cooperation (CIMIC) yang bertugas melakukan berbagai kegiatan pembinaan masyarakat di Lebanon selatan. (Foto: PIO Indobatt XXIII-N/UNIFIL)
Serda Yazella Agustin, Bintara Civil Military Cooperation (CIMIC) yang bertugas melakukan berbagai kegiatan pembinaan masyarakat di Lebanon selatan. (Foto: PIO Indobatt XXIII-N/UNIFIL)

Bintara itu menambahkan, mereka juga kerap mengadakan kegiatan sosialisasi, seperti pelatihan pengembangan diri, pelajaran memasak hingga pertunjukkan budaya.

“Kami mengajarkan tari-tarian. Kalau untuk memasak, kita sudah pernah mengajarkan bagaimana memasak rendang, tapi dikarenakan ada bahan-bahan tertentu yang tidak bisa ditemukan disini, rasanya tidak seperti saat kami memasak di Indonesia,” tutur Yazella.

Namun sejak virus corona merebak, banyak aktivitas yang melibatkan interaksi langsung dengan masyarakat ditangguhkan. Namun, ujar Yazella, mereka tetap berkomunikasi dengan ketua desa atau yang disebut 'mayor-mayor' di desa binaan.

Di tengah kekhawatiran dan keterbatasan akibat pandemi Covid-19, para srikandi itu tetap berada di garis depan dalam membantu masyarakat merespons penanganan Covid-19. Menurut Universitas Johns Hopkins, sudah lebih dari 7.700 orang terinfeksi virus corona di Lebanon dan sedikitnya 92 meninggal.

“Saya berkoordinasi dengan otoritas lokal, bertanya soal kondisi desa seperti apa, apalagi dengan masalah Covid seperti ini. Bagaimana mereka atasi Covid. Apakah ada yang terjangkit atau bagaimana, apakah perlu sesuatu dari kami, dari UNIFIL,” ujar Rima

Peran Penting Perempuan dalam Pasukan Perdamaian

Kemampuan merangkul masyarakat lokal merupakan kelebihan prajurit perempuan. Hal ini diakui oleh pemerintah Indonesia.

“Pasukan kita bisa komunikasi, ikut dalam kegiatan kultural, bisa tenangkan mereka yang jadi korban konflik,” kata Duta Besar RI untuk PBB, Dian Triansjah Djani.

Oleh karena itu pemerintah bertekad akan menambah jumlah prajurit perempuan di masa mendatang.

Menurut juru bicara Kontingen Garuda, saat ini ada 1.234 personel Indonesia di Lebanon. Enam puluh di antaranya adalah prajurit perempuan yang tersebar di beberapa satgas.

Meski jumlahnya kurang dari 5 persen, tetapi angka itu lebih banyak dibanding sebelumnya. Rima menekankan pentingnya untuk menciptakan kesetaraan gender dalam pasukan penjaga perdamaian, seperti yang digaungkan PBB.

Rima menambahkan selama melaksanakan misi perdamaian, mereka harus memajukan peran perempuan.

“Dan peran perempuan disini bukan hanya sebagai ‘pemanis atau pelengkap saja’, tapi juga melakukan yang dilaksanakan prajurit pria, seperti patroli, jaga, diskusi, kumpul. Kami juga bekerja tidak ada bedanya,” kata Rima menegaskan.

Berdasarkan data PBB, hingga Juni 2020 terdapat 9.740 pasukan dari seluruh dunia yang tergabung dalam UNIFIL, termasuk 584 perempuan.

Lettu Rima Eka Tiara, Perwira Civil Military Cooperation (CIMIC) yang bertugas melakukan berbagai kegiatan pembinaan masyarakat di Lebanon selatan. (Foto: PIO Indobatt XXIII-N/UNIFIL)
Lettu Rima Eka Tiara, Perwira Civil Military Cooperation (CIMIC) yang bertugas melakukan berbagai kegiatan pembinaan masyarakat di Lebanon selatan. (Foto: PIO Indobatt XXIII-N/UNIFIL)

Sejumlah upaya telah dilakukan PBB untuk memajukan peran perempuan dalam UNIFIL. Seperti pembentukan Female Assessment/Analysis and Support Team (FAST) pada November 2015. FAST bertujuan untuk meningkatkan kegiatan masyarakat yang melibatkan perempuan dan anak-anak.

Selain itu, imbuh Rima, para prajurit perempuan penjaga perdamaian dari berbagai negara sering mengadakan pertemuan untuk membahas kesetaraaan gender dan peran-peran perempuan.

“Kami merasa lebih semangat karena dari negara-negara lain pasti punya sisi tabu perempuan sebagai peacekeeper atau perempuan sebagai korban seperti apa. Kami bertukar pikiran, bertukar pengalaman dan informasi.”

Selama pandemi virus corona, pertemuan tersebut ditangguhkan untuk sementara.

Suka Duka Tinggal di Wilayah Rawan

Rima dan Yazella telah menjalani delapan bulan dari 12 bulan masa tugas di UNIFIL. Meski bertugas di wilayah yang rawan,mereka mengaku lebih banyak suka dibandingkan dukanya.

“Bisa dapat pelajaran baru, bisa lihat keadaan masyarakat di daerah yang rawan seperti ini. Kami juga bisa dapat hal baru, contohnya mengenai budaya, tradisi, kebiasaan dan hal-hal yang tak ditemukan di Indonesia,” ujar Yazella.

Namun, tak dipungkiri, berada di tempat yang jauh dari Indonesia, membuat mereka rindu dengan tanah air dan keluarga.

“Bukan hanya dari segi makanannya saja tapi situasinya, dengan kondisinya Indonesia meskipun panas tapi lebih ramai di Indonesia daripada di Lebanon,” ujar Rima

Yazella menambahkan keluarganya selalu berpesan agar menjaga kesehatan fisik dan mental serta tetap memotivasi diri.

Pada awal Agustus, mereka dikejutkan oleh ledakan besar yang menewaskan sedikitnya 178 orang dan melukai ribuan lainnya di sebuah pelabuhan di Beirut. Lokasi ledakan hanya sekitar 1,5 jam dari pangkalan mereka.

Duta Besar RI untuk Lebanon Hajriyanto Y. Thohari di Beirut mengatakan kepada VOA bahwa seluruh anggota Kontingen Garuda selamat. Menurut Hajriyanto, KRI Hasanuddin yang biasanya bersandar di pelabuhan itu, sedang berlayar menuju Turki saat ledakan terjadi.

Juru bicara Indobatt mengatakan kepada VOA pasca insiden itu kegiatan patroli ditingkatkan. [vm/em/hj]

Recommended

XS
SM
MD
LG