Tautan-tautan Akses

Krisis Meningkat, Israel Tuding Masalah Distribusi Bantuan di Gaza


Anak-anak pengungsi Palestina antre sambil membawa panci dan wajan saat para sukarelawan membagikan makanan hangat di Khan Yunis di Jalur Gaza selatan, 23 November 202. (Mahmud HAMS/AFP)
Anak-anak pengungsi Palestina antre sambil membawa panci dan wajan saat para sukarelawan membagikan makanan hangat di Khan Yunis di Jalur Gaza selatan, 23 November 202. (Mahmud HAMS/AFP)

Kementerian Kesehatan Palestina mengatakan korban tewas di Gaza melampaui 25 ribu, sementara pejabat PBB memperingatkan bahaya kelaparan dan penyakit yang semakin besar di Jalur Gaza. Tetapi Israel mengatakan pihaknya mengizinkan makanan masuk ke Gaza dan masalahnya adalah distribusi di pihak Gaza.

PBB mengatakan situasi kemanusiaan di Gaza semakin genting di mana kekurangan makanan dan perebakan penyakit mengancam penduduk sipil.

Sekjen PBB Antonio Guterres mengatakan,“Orang tewas bukan saja karena bom dan peluru, tetapi kekurangan makanan dan air bersih, RS yang tidak ada aliran listrik dan obat-obatan, dan perjalanan sulit ke tempat-tempat semakin kecil guna melarikan diri dari pertempuran.”

PBB memperingatkan bahwa 2,3 juta orang di Gaza berada di tepi jurang kelaparan dan sekitar 380 ribu dihadapkan pada kekurangan pangan yang parah.

Tetapi satuan militer Israel, COGAT, yang menangani isu-isu warga sipil Palestina, melakukan segalanya dalam batas kemampuannya guna memungkinkan bantuan kemanusiaan dalam jumlah besar masuk ke Gaza, termasuk membuka pelintasan kedua guna mempercepat pemeriksaan keamanan.

Kata COGAT masalah distribusi ada di pihak Gaza, bahwa militan Hamas mencuri bantuan itu dan badan PBB tidak efisien dalam mendistribusikannya.

“Kami tahu bahwa situasi kemanusiaan di Gaza lebih baik dari apa yang dikatakan Hamas. Saya juga ingin mengatakan bahwa ada hambatan dan masalah di dalam Gaza, di dalam wilayah di mana organisasi kemanusiaan beroperasi,” jelas Yotam Shefer, petugas COGAT.

Baik Hamas maupun PBB tidak menanggapi pertanyaan dari VOA untuk laporan ini.

Pejabat COGAT mengatakan bahwa sebelum perang, 400 sampai 500 truk, termasuk sekitar 70 sampai 80 yang dimuati makanan, masuk ke Gaza dari Israel setiap hari.

Kini rata-rata sekitar 200 truk masuk ke Gaza setiap hari dan sekitar 150 sepenuhnya dimuati bantuan makanan. Selain itu tepung gandum dalam jumlah besar dikapalkan lewat Ashdod, pelabuhan Israel, sekitar 20 mil arah utara dari Gaza, dalam sebuah persetujuan yang baru-baru ini diumumkan oleh pemerintahan Biden. Bantuan ini akan memasok pabrik-pabrik roti di Gaza yang menghasilkan 2 juta roti pita setiap hari dan dikoordinir bersama Progam Pangan Dunia.

Warga Palestina antre untuk mendapatkan makanan gratis selama serangan udara dan darat Israel yang sedang berlangsung di Rafah, Jalur Gaza, 9 Januari 2024. (AP Photo/Hatem Ali)
Warga Palestina antre untuk mendapatkan makanan gratis selama serangan udara dan darat Israel yang sedang berlangsung di Rafah, Jalur Gaza, 9 Januari 2024. (AP Photo/Hatem Ali)

Selain kekurangan makanan, pejabat Palestina memperingatkan bahwa penyakit menyebar akibat dipadatinya sekolah dan tempat perlindungan PBB oleh hampir satu setengah juta orang Palestina di Gaza Selatan dan kurangnya sanitasi yang memadai.

“Mengingat jumlah penduduk yang besar, beberapa penyakit mulai menyebar. Ini termasuk penyakit pencernaan pada orang dewasa dan anak-anak, serta juga penyakit sistem pernapasan, penyakit kulit seperti kudis dan penyakit lain,” jelas seorang dokter anak di Gaza, Said Salah.

Krisis kemanusiaan ini paling parah di kalangan 1 juta warga Palestina yang melarikan diri ke Gaza Selatan ketika militer Israel mulai melancarkan ofensif militernya di utara daerah kantong itu. Militer Israel mengatakan masih belum aman untuk orang-orang ini pulang. Malahan andaikan pertempuran berakhir, sebuah laporan baru dari Bank Dunia mengatakan, hampir setengah dari semua bangunan rumah telah hancur atau terlalu berbahaya untuk ditinggali.

Alaa Bakhit, pengungsi Palestina yang kini tinggal di Rafah mengatakan, anak-anak di Gaza tidak memiliki masa depan. “Tidak ada yang tertinggal di negara ini, tidak ada sekolah, universitas, layanan kesehatan. Coba Anda renungkan masa depan anak-anak ini, seperti apa? Bagaimana mereka bisa hidup sesudah perang ini,” keluhnya.

Sementara perang masih terus berlangsung, krisis kemanusiaan yang semakin besar telah meningkatkan seruan internasional bagi penyelenggaraan gencatan senjata. [jm/lt]

Forum

XS
SM
MD
LG