Tautan-tautan Akses

Penembakan Atlanta Munculkan Ketakutan Baru Bagi Warga Asia-Amerika


Melissa Min (kiri) dan putranya James melakukan aksi solidaritas dengan komunitas Asia-Amerika setelah meningkatnya serangan terhadap komunitas tersebut sejak awal pandemi virus corona setahun yang lalu, di Philadelphia, Pennsylvania, AS, 17 Maret 2021. (
Melissa Min (kiri) dan putranya James melakukan aksi solidaritas dengan komunitas Asia-Amerika setelah meningkatnya serangan terhadap komunitas tersebut sejak awal pandemi virus corona setahun yang lalu, di Philadelphia, Pennsylvania, AS, 17 Maret 2021. (

Sebelum pandemi COVID-19 dimulai pada tahun lalu, Kyung Cho memperhatikan orang-orang terkadang menatapnya dengan pandangan aneh atau bahkan bertanya apakah dia bisa berbahasa Inggris.

Belakangan ini, kata Cho, sikap terhadap orang keturunan Asia-Amerika seperti dirinya menjadi lebih bermusuhan.

“Situasi menjadi lebih buruk,” kata Cho yang berusia 50 tahun itu saat dia berbelanja di toko kelontong Asia di pinggiran Kota Atlanta, Rabu (17/3). “Suatu hari saya berada di tempat parkir dan beberapa anak berteriak agar saya kembali ke China. Saya dari Korea.”

Di seluruh Amerika Serikat, banyak warga Asia-Amerika terkejut dengan berita tentang penembakan massal di tiga spa di sekitar Atlanta pada Selasa (16/3) malam yang menewaskan delapan orang, termasuk enam perempuan Asia. Pihak berwenang mengatakan tersangka penembakan, seorang pria kulit putih berusia 21 tahun, mengaku ia kecanduan seks dan serangan itu sepertinya tidak bermotif rasial.

Namun setelah satu tahun, di mana jumlah laporan kejahatan rasial terhadap orang Asia-Amerika meroket, penembakan di Atlanta itu memicu kemarahan, ketakutan, dan tuntutan agar pemerintah merespons kondisi tersebut.

Unjuk rasa "We Are Not Silent" melawan kebencian anti-Asia sebagai tanggapan atas kejahatan anti-Asia baru-baru ini di Chinatown-Distrik Internasional Seattle, Washington pada 13 Maret 2021. (Foto: AFP/Jason Redmond)
Unjuk rasa "We Are Not Silent" melawan kebencian anti-Asia sebagai tanggapan atas kejahatan anti-Asia baru-baru ini di Chinatown-Distrik Internasional Seattle, Washington pada 13 Maret 2021. (Foto: AFP/Jason Redmond)

“Kami terkepung,” kata Russell Jeung, Profesor Kajian Amerika Asia di San Francisco State University dan pendiri Stop AAPI Hate, sebuah koalisi yang melacak kekerasan anti-Asia selama pandemi. “Seluruh komunitas mengalami trauma.”

Dalam laporan yang dirilis pada Selasa (16/3) sebelum insiden penembakan terjadi, koalisi itu mengatakan menerima 3.795 laporan insiden kebencian antara Maret 2020 dan Februari 2021. Mayoritas diskriminasi terdiri dari pelecehan verbal dan pengucilan. Perempuan melaporkan insiden sekitar dua kali lebih sering daripada laki-laki.

Sebuah pusat penelitian nonpartisan, Center for the Study of Hate and Extremism, menerbitkan sebuah hasil studi pada awal bulan ini yang menunjukkan kejahatan rasial terhadap orang Asia-Amerika yang dilaporkan terjadi di 16 kota besar AS, naik 149 persen dari 2019 hingga 2020. Sementara kejahatan rasial secara keseluruhan turun 7 persen dalam periode waktu yang sama.

Para pendukung komunitas tersebut mengatakan lonjakan itu sebagian besar disebabkan oleh orang Asia-Amerika yang disalahkan karena wabah virus corona, yang pertama kali diidentifikasi di Wuhan, China, pada akhir 2019. Mantan presiden AS Donald Trump berulang kali menyebut COVID-19 sebagai "Virus China" dan "kung flu". Retorika yang dilontarkan itu dianggap beberapa orang mengobarkan sentimen anti-Asia.

Jajak pendapat Reuters/Ipsos terhadap 4.430 orang Amerika, yang dilakukan dari 18-24 Februari, menunjukkan bahwa 37 persen responden percaya bahwa COVID-19 dibuat di laboratorium di China, termasuk 24 persen pendukung Demokrat dan 54 persen pendukung Republik. Para peneliti masih mencoba mengidentifikasi asal-usul virus tersebut, tetapi tidak ada bukti yang dapat dipercaya yang menunjukkan bahwa virus itu secara tidak sengaja disebarkan dari laboratorium China.

Para pemimpin Asia-Amerika pada Rabu (17/3) meminta pejabat pemerintah untuk berbuat lebih banyak untuk melindungi dan mendukung komunitas mereka, dan tagar #StopAsianHate beredar luas di media sosial. Komite DPR AS merencanakan sidang pada Kamis (18/3) untuk membahas masalah tersebut

“Orang Asia Amerika takut meninggalkan rumah mereka, dan bukan hanya karena penyakit. Mereka takut meninggalkan rumah karena ada risiko nyata, hanya berjalan di jalanan, dan Anda akan disalahkan atas pandemi global dan orang-orang akan mengejar Anda,” kata Frank Wu, Presiden Queens College, City University of New York, yang mempelajari diskriminasi anti-Asia di Amerika Serikat.

Hampir setengah dari insiden kebencian anti-Asia yang dicatat oleh Stop AAPI Hate terjadi di California, di mana warga Asia-Amerika mencapai sekitar 15 persen dari populasi.

Ronald Lisam, seorang Tionghoa Amerika berusia 45 tahun yang sedang berbelanja bahan makanan di kawasan Pecinan di San Francisco pada Rabu (17/3), mengatakan dia mulai mempertanyakan keselamatannya di tempat umum.

“Setiap hari saya khawatir diserang, dirampok, diserang,” katanya. [ah/au/ft]

XS
SM
MD
LG