Tautan-tautan Akses

Pemerintah Perlu Pastikan Kerjasama Pabrik Vaksin dengan China Menguntungkan Indonesia


Pemerintah menargetkan vaksin Merah Putih produksi dalam negeri bisa dihasilkan Mei atau Juni tahun depan (foto: ilustrasi).
Pemerintah menargetkan vaksin Merah Putih produksi dalam negeri bisa dihasilkan Mei atau Juni tahun depan (foto: ilustrasi).

Mendorong pengembangan vaksin Merah Putih dinilai lebih strategis ketimbang membangun pabrik vaksin bersama China. Indonesia memiliki banyak pakar dan ahli laboratorium yang bisa mengembangkan sendiri vaksin COVID-19.

Dalam sebuah diskusi secara virtual Selasa lalu (24/8), Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan pada April tahun depan sudah akan ada pabrik di tanah air yang memproduksi vaksin COVID-19 jenis mRNA. Pabrik ini merupakan kerjasama antara perusahaan Indonesia dan China.

Luhut tidak menyebut nama kedua perusahaan tersebut.

Lebih jauh ia mengklaim pemerintah juga menargetkan vaksin Merah Putih produksi dalam negeri akan mulai dihasilkan pada Mei atau Juni 2022.

Menanggapi hal itu, pakar ilmu kesehatan masyarakat dari Universitas Indonesia Hermawan Saputra kepada VOA, Jumat (27/8), menjelaskan kerjasama antara kedua negara merupakan hal wajar. Apalagi China sudah banyak menanamkan investasi di berbagai bidang di tanah air , terutama di sektor infrastruktur.

Para pekerja laboratorium PT Bio Farma di Bandung (foto: dok). Bio Farma telah menandatangani MOU bekerja sama dengan perusahaan China.
Para pekerja laboratorium PT Bio Farma di Bandung (foto: dok). Bio Farma telah menandatangani MOU bekerja sama dengan perusahaan China.

Meski begitu, Hermawan menyebutkan ada hal yang harus betul-betul dipertimbangkan dan dikaji oleh pemerintah terutama soal bagaimana produk farmasi China, termasuk vaksin COVID-19, memiliki kualitas yang diakui oleh dunia internasional.

Keraguan masyarakat internasional terhadap kualitas produk farmasi China itu antara lain tampak dari lambatnya WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) menyetujui vaksin Sinovac dan Sinopharm untuk digunakan dalam program vasinasi COVID-19.

Masyarakat internasional masih meragukan kualitas vaksin produksi China, termasuk Sinovac, karena tingkat efikasinya yang rendah (foto: ilustrasi).
Masyarakat internasional masih meragukan kualitas vaksin produksi China, termasuk Sinovac, karena tingkat efikasinya yang rendah (foto: ilustrasi).

Selain itu, lanjut Hermawan, pengembangan vaksin COVID-19 juga membutuhkan keahlian sumber daya manusia yang mumpuni, material genetik terkait bahan baku vaksin dan etika China dalam riset-riset biomolekuler.

"Vaksin ini kan juga bagian dari riset-riset yang sifatnya biomolekuler. Sehingga aspek-aspek etika, aspek-aspek pengalaman masa lalu, dan pada akhirnya penggunaan meluas pada waktu-waktu ke depan itu harus menjadi rekam jejak yang harus dipelajari dari pengalaman investasi dari China ini," kata Hermawan.

Pertimbangan Geopolitik

Menurut Hermawan, walau vaksin COVID-19 merupakan produk kesehatan tapi secara geopolitik sangat berpengaruh. Sebab perdagangan vaksin COVID-19 melibatkan banyak negara di dunia. Karena itu, Hermawan menyarankan Indonesia tidak hanya berbicara soal pengembangan vaksin COVID-19 saja tapi juga mempertimbangkan aspek geopolitik di masa depan.

Hermawan menyebutkan sudah menjadi rahasia umum di dunia kesehatan bahwa China memiliki banyak produk kesehatan, namun belum secanggih alat kesehatan yang dihasilkan Amerika dan negara-negara Eropa.

Lebih jauh Hermawan menekankan jika kerjasama dengan China itu meliputi semua sumber daya manusia dari China – mulai dari pakar, ahli laboratorium hingga tenaga kerja pendukung dan petugas keamanan – maka kesepakatan tersebut harus dievaluasi. Dalam beberapa perjanjian investasi sebelumnya, China senantiasa ingin agar semua SDM berasal dari negara Tirai Bambu itu.

Mengingat Indonesia memiliki SDM yang tidak kalah kualitasnya, Hermawan menilai mendorong pengembangan vaksin Merah Putih lebih strategis ketimbang membangun pabrik vaksin barsama China. Ia mengutip seruan Presiden Joko Widodo yang juga mendorong kemandirian dalam pengembangan dan produksi vaksin.

Anggota DPR Setuju Kerjasama dengan China, Tapi Indonesia Harus Berdaulat

Dihubungi secara terpisah, anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Muchamad Nabil Haroen mengatakan pandemi COVID-19 telah membuka betapa sistem dan tata kelola kesehatan di Indonesia perlu segera dibenahi. Karena itu, pemerintah perlu mengatur ulang segala hal terkait mulai dari rumah sakit, tenaga kesehatan, inovasi teknologi hingga industri yang bergerak di bidang kesehatan agar ekosistem di bidang kesehatan membaik.

Nabil menilai kerjasama Indonesia dan China untuk membuka pabrik vaksin merupakan langkah bagus.

"Nanti harus dipastikan ini adalah investasi yang saling menguntungkan dan meningkatkan kualitas suber daya kesehatan di Indonesia. Pemerintah harus menyiapkan skema agar kita berdaulat di bidang kesehatan dan sektor strategis lain. Jangan sampai kita terlau bergantung dengan impor obat dan alat kesehatan," ujar Nabil.

Sebab, lanjut Nabil, Indonesia memiliki kekayaan ribuan tanaman khas yang bisa menjadi bahan riset untuk memproduksi obat-obatan. Di samping itu, terdapat banyak pakar dan peneliti di bidang kesehatan yang siap berinovasi. [fw/em]

Recommended

XS
SM
MD
LG