Tautan-tautan Akses

Pemerintah Mengada-ada Soal Sertifikasi Perkawinan


Sepasang kekasih di Solo, berfoto di depan poster Pangeran Harry dan istrinya, Meghan Markle, 20 Mei 2018. (Foto: AFP)
Sepasang kekasih di Solo, berfoto di depan poster Pangeran Harry dan istrinya, Meghan Markle, 20 Mei 2018. (Foto: AFP)

Pemerintah berencana akan membuat program sertifikasi perkawinan, yang merupakan salah satu syarat jika ingin menikah. Wakil Ketua Komisi VIII DPR Marwan Dasopang menilai pemerintah sangat mengada-ada soal sertifikasi pernikahan ini.

Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) berencana membuat program sertifikasi perkawinan, yang merupakan salah satu syarat jika ingin menikah apapun agamanya.

Mereka yang ingin menikah harus mengikuti bimbingan pranikah jika ingin mendapatkan sertifikasi itu. Jika lulus bimbingan, mereka berhak menikah. Sebaliknya, jika tidak lulus, mereka tidak dapat menikah.

Program tersebut rencananya akan berlaku pada 2020. Pemerintah tidak akan memungut biaya untuk program itu.

Wakil Ketua Komisi VIII DPR yang membidangi bidang agama dan sosial, Marwan Dasopang Senin (18/11) menilai pemerintah sangat mengada-ada soal sertifikasi pernikahan ini. Menurutnya, pemerintah terlalu mencampuri persoalan privat masyarakat.

Marwan bilang, tugas pemerintah adalah memperkuat atau mempersiapkan ketahanan keluarga lewat fondasi agama atau pemahaman agama yang baik, mengamalkan adat istiadat dan budaya. Bukan melalui sertifikasi.

Marwan mengatakan tidak ada jaminan dengan sertifikasi, pasangan suami-istri akan terhindar dari perceraian.

Sertifikasi perkawinan ini, kata Marwan, akan memunculkan persoalan baru. Antara lain, korupsi, karena orang akan berusaha bagaimana caranya untuk mendapatkan sertifikat tersebut.

Dia juga mempertanyakan siapa yang akan mengeluarkan sertifikat perkawinan. Menurutnya pemerintah perlu membina masyarakat tapi jangan diukur lewat sertifikat. Pembinaan, kata Marwan, tidak bisa hanya dilakukan selama tiga bulan tetapi terus menerus.

“Pertanyaannya, kalau dia sudah dapat sertifikat, anaknya masih stunting, boleh tidak digugat lembaga penerbit sertifikat itu. Kalau karena banyaknya perceraian, sudah lulus dia, ada sertifikatnya masih cerai dia, boleh tidak digugat itu,” kata Marwan.

Sepasang pengantin dalam upacara nikah massal di Jakarta, 31 Desember 2017. (Foto: AP)
Sepasang pengantin dalam upacara nikah massal di Jakarta, 31 Desember 2017. (Foto: AP)

Hal yang sama juga diungkapkan Komisoner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Beka Ulung Hapsara. Menurutnya, sertifikasi perkawinan baik tetapi tidak wajib untuk syarat menikah.

“Artinya, kursus atau pelatihan itu baik tetapi kalau sertifikasinya menjadi syarat wajib untuk menikah, belum perlu,” kata Beka Ulung.

Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan menyatakan sertifikasi terhadap pasangan yang akan menikah penting agar mereka mengetahui bagaimana membangun keluarga. Antara lain untuk menciptakan sumber daya manusia sehat, seperti bebas dari stunting atau kerdil karena malnutrisi, cacat dan lainnya.

Pemerintah Mengada-ada Soal Sertifikasi Perkawinan
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:02:51 0:00

Bimbingan tersebut akan dilakukan selama tiga bulan. Yang melatih adalah pihak dari Kementerian Agama dan Kementerian Kesehatan.

Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengatakan sertifikasi pernikahan antara lain pembekalan bagi pasangan calon rumah tangga terkait pemahaman agama, kesehatan reproduksi hingga ekonomi keluarga.

“Setiap calon pengantin baru sebelum melaksanakan pernikahan baik secara keagamaan maka dia harus mengikuti semacam pembekalan dulu. Pembekalan sebagai calon pasangan rumah tangga,” ujar Muhadjir. [fw/ab/ft]

Recommended

XS
SM
MD
LG