Tautan-tautan Akses

Pemberontak Suriah Khawatir Kehilangan Dukungan AS di Era Trump


Para pemberontak dari Lasykar Pembebasan Suriah menembakkan roket dari kota Halfaya, provinsi Hama ke arah posisi pasukan Suriah pendukung Presiden Bashar al-Assad (foto: ilustrasi).
Para pemberontak dari Lasykar Pembebasan Suriah menembakkan roket dari kota Halfaya, provinsi Hama ke arah posisi pasukan Suriah pendukung Presiden Bashar al-Assad (foto: ilustrasi).

Ketika pasukan Rusia dan Suriah melanjutkan serangan udara di Aleppo, kekhawatiran pasukan pemberontak Suriah pun meningkat tidak lagi akan didukung Amerika begitu presiden terpilih Donald Trump menjabat Januari nanti.

Di seluruh Timur Tengah, negara-negara yang saling bersaing berupaya mencerna dampak kemenangan Trump terhadap kawasan itu, yang masih dilanda konflik di Suriah, Irak, Yaman, dan Libya.

Pesawat-pesawat tempur Rusia dan Suriah menghantam bagian timur Aleppo yang dikuasai pemberontak. Awal pekan ini Rusia menyatakan operasi besar-besaran terhadap pemberontak ketika pesawat-pesawat tempurnya melancarkan serangan dari Laut Tengah.

“Untuk pertama kali dalam sejarah angkatan laut Rusia, pesawat-pesawat dari kapal induk terlibat dalam aksi tempur,” kata Sergei Shoigu.

Amerika menuduh Rusia dan sekutu-sekutu pemerintah Suriah menyebabkan jatuhnya korban sipil, tetapi presiden terpilih Donald Trump mengisyaratkan sikap yang lebih lunak dalam kampanyenya.

Janet Kinnimont dari badan riset Chatham House mengatakan, “Trump cukup positif atas tindakan Rusia di bawah pimpinan Vladimir Putin dan peran Rusia di Suriah sebagai pasukan yang melawan ISIS.”

Meningkatnya kekhawatiran di kawasan bahwa pemerintah Trump mungkin akan menarik dukungan terhadap kelompok pemberontak yang beraliran Sunni, dan memberi keuntungan besar bagi pemerintah Suriah serta para pendukung dari kelompok Syiah di Iran.

Sebaliknya, perjanjian nuklir Iran – yang telah mencabut beberapa sanksi sebagai imbalan terhadap pembatasan aktivitias nuklir – bisa dibatalkan oleh Trump, yang menyebut perjanjian itu sebagai “bencana”. Sikap ini telah membuat Trump mendapat dukungan dari sejumlah negara-negara beraliran Sunni di kawasan.

“Obama sangat tidak disukai oleh para elit di Timur Tengah, terutama karena perjanjian yang dibuat dengan Iran. Mereka menilai Obama bersikap lunak dan naif terhadap Iran. Dan gaya bahasa keras yang digunakan Donald Trump selama ini cukup baik, tetapi tetap ada ketidakpastian tentang pelaksanaannya nanti,” tambah Janet.

Presiden Perancis Francois Hollande hari Rabu (16/11) mengingatkan Trump supaya jangan mundur dari perjanjian dengan Iran itu.

“Perjanjian ini memberi kita jaminan. Tanpa perjanjian dampaknya akan sangat serius,” ujar Hollande.

Tidak banyak petunjuk tentang arah kebijakan luar negeri Trump pada masa depan, sambil ia mempertimbangkan siapa yang akan duduk dalam kabinetnya. Tetapi sebagian besar analis mengatakan pendekatan Trump akan jauh berbeda dengan Barack Obama.

“Selama bertahun-tahun Trump telah memberikan kesan bahwa ia menghargai model pemerintahan dengan presiden yang kuat, apakah itu di China atau di Rusia, dan ia telah melihat diktator-diktator di Timur Tengah setidaknya sebagai kekuatan melawan teroris”.

Dengan masih terus berkecamuknya konflik di Yaman hingga ke Libya, Timur Tengah tampaknya masih akan menjadi ujian pertama atas janji Donald Trump untuk mengubah strategi kebijakan luar negeri Amerika. [em/ii]

XS
SM
MD
LG