Tautan-tautan Akses

PBB Khawatirkan Nasib Warga Sipil di Perbatasan Suriah-Turki 


Warga sipil di Suriah utara menonton konvoi militer Turki melintasi daerah mereka, Rabu (9/10).
Warga sipil di Suriah utara menonton konvoi militer Turki melintasi daerah mereka, Rabu (9/10).

Turki hari Rabu (9/10) memulai operasi militer terhadap pemberontak Kurdi di bagian utara Suriah, beberapa hari setelah Amerika mengumumkan penarikan pasukan dari wilayah itu. Badan PBB Urusan Pengungsi (UNHCR) sebelumnya mengingatkan bahwa “zona aman” yang diusulkan di sepanjang perbatasan Turki-Suriah tidak akan melindungi warga sipil.

UNHCR mengatakan pihaknya prihatin dengan prospek apa yang disebut sebagai “zona aman” di sepanjang perbatasan Turki dengan kantong yang dikuasai Kurdi di bagian timur laut Suriah. Gagasan ini awalnya diusulkan oleh Presiden Amerika Donald Trump dan telah disetujui oleh mitranya, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan.

Untuk mengantisipasi serangan militer yang kini sedang berlangsung, disiapkan “zona aman” seluas 32 kilometer di sisi perbatasan Suriah. Menurut rencana zona itu akan digunakan untuk menampung warga Kurdi yang ada di perbatasan Suriah-Turki dan sekaligus sebagian dari 3,6 juta pengungsi Suriah yang saat ini ditampung di Turki.

Pemerintah Turki menganggap pasukan Kurdi sebagai teroris. Sebaliknya negara-negara Barat menilai pasukan Kurdi sebagai mitra utama dalam perang melawan kelompok teroris ISIS.

UNHCR mengatakan para pengungsi yang ada di dalam wilayah geografis itu membutuhkan perlindungan internasional. Juru bicara UNHCR Adrian Edwards mengatakan kepada VOA, “zona aman” itu tidak memberikan perlindungan bagi warga sipil.

“Jika kita melihat sejarah atas apa yang terjadi di zona aman, seperti di Balkan dan tempat-tempat lain, maka jelas terlihat bahwa kawasan yang disebut sebagai zona aman itu tidak memberi perlindungan. Jadi sangat penting untuk membentuk perlindungan alternatif pada siapa pun yang terlantar, dan bahwa keselamatan mereka merupakan hal yang paling penting dan utama,” kata Edwards.

Adrian Edwards merujuk pada tragedi di Srebrenica sebagai contoh apa yang disebutnya sebagai “zona aman,” tetapi yang kemudian terjadi justru sebaliknya. Pada tahun 1993 PBB menyatakan kota Srebrenica di Bosnia-Herzegovina yang terkepung sebagai “zona aman.” Dua tahun kemudian, kelompok nasionalis Bosnia-Serbia membantai lebih dari delapan ribu laki-laki dan anak laki-laki Muslim Bosnia yang berlindung di zona itu.

UNHCR mencatat bahwa di tengah-tengah konflik, upaya kemanusiaan tidak akan mampu melindungi warga sipil di suatu daerah sudah dinyatakan sebagai daerah terlindung.

“Saya pikir kita harus menempatkan keselamatan orang sebagai hal utama dalam pikiran kita. Dalam konteks ini kita harus melihat dengan tepat apa perlindungan yang dibutuhkan, dan mencari solusinya. Hal terakhir yang ingin kita lihat adalah terulangnya sejarah yang buruk,” tambahnya.

Adrian Edwards mengatakan kekuatan yang mendorong konflik ini bersifat politis dan harus diselesaikan di tingkat politik. Tanpa solusi atau jaminan keselamatan, ia mengingatkan bahwa warga sipil akan berisiko menjadi korban dalam tindakan militer itu. (em/aa)

XS
SM
MD
LG