Tautan-tautan Akses

Pasien Ebola Kongo Habiskan Saat Terakhir di Persekutuan Doa


FOTO ARSIP – Pekerja World Health Organization (WHO) melakukan vaksinasi dalam peluncuran kampanya yang ditujukan untuk menanggulangi wabah Ebola di kota pelabuhan Mbandaka, Republik Demokratik Kongo, 21 Mei 2018 (foto: REUTERS/Kenny Katombe/Foto Arsip)
FOTO ARSIP – Pekerja World Health Organization (WHO) melakukan vaksinasi dalam peluncuran kampanya yang ditujukan untuk menanggulangi wabah Ebola di kota pelabuhan Mbandaka, Republik Demokratik Kongo, 21 Mei 2018 (foto: REUTERS/Kenny Katombe/Foto Arsip)

Dua pasien Ebola yang sudah dalam keadaan parah dibawa rumah sakit di Kongo oleh para kerabat mereka dengan menggunakan sepeda motor, kemudian diajak ke sebuah persekutuan doa dengan 50 orang lainnya, yang berpotensi membuat semua yang hadir terpapar pada virus yang mematikan, ujar seorang pekerja bantuan senior hari Kamis.

Kedua pasien itu muntah-muntah dan berpotensi untuk menularkan virus kemudian meninggal beberapa jam setelah pelaksanaan persekutuan doa tersebut di kota pelabuhan yang terletak di tepi sungai, Mbandaka, ujar Dr. Jean-Clement Cabrol, seorang koordinator medis darurat untuk Medecins Sans Frontieres (Dokter Tanpa Batas).

Republik Demokratik Kongo bergegas untuk mencegah penyebaran wabah penyakit tersebut, yang menyebar lewat kontak dengan cairan tubuh dari mereka yang terinfeksi termasuk muntahan dan keringat.

Kementrian Kesehatan mengatakan Kamis petang sebuah kasus baru telah dipastikan di kota Bikor dan satu lagi di daerah sekitarnya yaitu desa Iboko, di mana epidemi diperkirakan berawal.

Dengan demikian total jumlah kasus yang sudah dipastikan menjadi 31, ujar lembaga itu dalam sebuah pernyataan, dari 52 terduga kasus.

Wabah ke-9 di Kongo

Wabah penyakit kesembilan yang tercatat di Kongo diperkirakan telah menewaskan paling tidak 22 orang sejauh ini, menurut angkat pemerintah yang dirilis hari Rabu, lebih rendah dari pekiraan terakhir yaitu 27 orang, setelah beberapa dari penyebab kematian diketahui bukan disebabkan oleh Ebola.

“Pelarian itu diorganisir oleh para kerabat mereka, dengan enam sepeda motor karena kondisi pasien yang sangat parah dan tidak mampu berjalan,” ujar Cabrol dalam sebuah penjelasan kepada media di Jenewa setelah kembali dari kawasan yang terjangkit penyakit. “Mereka dibawa ke sebuah ruangan doa dimana di situ ada 50 orang lain yang tengah berdoa.”

“Mereka ditemukan jam dua pagi, satu diantaranya sudah meninggal dan satu lagi dalam kondisi kritis. Dengan kejadian itu berarti ada 50-60 oran yang berpotensi terpapar virus. Para pasien berada dalam fase aktif penyakit, dan muntah-muntah.” Pasien keluar dari bangsal isolasi hari Senin.

Laporan awal tidak mencantumkan rincian dari pelarian mereka atau kemana mereka pergi setelahnya. Pasien ketiga yang meninggalkan bangsal itu masih dapat bertahan hidup.

Para pejabat kesehatan mulai mencoba untuk melacak para pengendara sepeda motor dan orang lain yang berinteraksi dengan pasien segera setelah pelarian itu dilaporkan, ujar Dr. Peter Salama, kepala tanggap darurat pada World Health Organization (WHO) kepada Reuters hari Kamis.

“Sejak saat mereka melarikan diri, ujar kementrian kesehatan, World Health Organization (WHO) dan para mitranya telah memantau secara cermat semua interaksi yang ada,” ujarnya.

'Sulit diprediksi’

Anggaran tiga bulan World Health Organization (WHO) untuk krisis itu telah digandakan menjadi $57 juta untuk melakukan operasi yang kompleks di kawasan terpencil dan berhutan, ujar Salama.

“Hanya butuh satu orang yang terinfeksi untuk menjelajah Sungai Kongo dan kita akan melihat wabah penyakit tersebar di berbagai lokasi berbeda … hal ini dapat terjadi kapan saja. Sulit untuk diprediksi,” ujarnya, merujuk pada kaitan antar sungai dan pusat perdagangan di Mbandaka hingga ke ibukota Kinshasa, dengan populasi 10 juta orang.

“Butuh waktu berminggu-minggu dan kemungkinan berbulan-bulan sebelum kita dapat mengendalikan wabah sepenuhnya,” ujar Salama.

Sudah ada banyak kemajuan besar dalam metode pengobatan virus itu sejak virus itu merajalela di Afrika Barat antara tahun 2014-2016, termasuk pemanfaatan vaksin eksperimental untuk melindungi staf medis.

Skeptisisme lokal tentang bahaya dan kebutuhan untuk mengisolasi pasien yang terinfeksi terus mempersulit berbagai upaya untuk mencegah penyebaran virus. Dalam kondisi wabah di masa lampau, kerabat yang berduka telah tertular penyakit yang menyebabkan pendarahan ini dengan menyentuh jasad mereka yang dikasihi yang sangat mampu menularkan virus, kadang-kadang dengan meletakkan tangan mereka yang sehat pada jasad-jasad itu untuk mengucapkan selamat tinggal. [ww]

XS
SM
MD
LG