Tautan-tautan Akses

Dituduh Cemarkan Kerajaan, Pemimpin Pro-Demokrasi Thailand Temui Polisi


Aktivis pro-demokrasi menunjukkan hormat tiga jari saat mereka memprotes setelah putusan Mahkamah Konstitusi atas kasus konflik kepentingan Perdana Menteri Prayuth Chan-Ocha, di Bangkok, Thailand, 2 Desember 2020. (Foto: Reuters)
Aktivis pro-demokrasi menunjukkan hormat tiga jari saat mereka memprotes setelah putusan Mahkamah Konstitusi atas kasus konflik kepentingan Perdana Menteri Prayuth Chan-Ocha, di Bangkok, Thailand, 2 Desember 2020. (Foto: Reuters)

Empat pemimpin gerakan pro-demokrasi Thailand tetap menunjukkan sikap membangkang mereka, Selasa (8/12), ketika tiba di sebuah kantor polisi dekat Bangkok untuk menjawab tuduhan mencemarkan nama baik kerajaan.

Jika terbukti bersalah mereka bisa menghadapi hukuman penjara hingga 15 tahun.

Sekitar 100 pendukung tampak hadir menyambut kedatangan mereka saat tiba di kantor polisi Nonthaburi. Para pemimpin gerakan itu -- Parit Chiwarak, Panusaya Sithijirawattanakul, Panupong Jadnok dan Shinawat Chankrajang -- datang dengan berkalungkan rangkaian bunga berwarna kuning sambil menunjukkan salam tiga jari yang dipopulerkan oleh gerakan tersebut.

Ditanya apakah tuduhan-tuduhan yang mereka hadapi akan melemahkan atau mengintimidasi para pengunjuk rasa, Parit Chiwarak, salah seorang pemimpin gerakan prodemokrasi, membantahnya.

"Saya kira ini tidak akan mempengaruhi gerakan kami, secara keseluruhan. Ini justru akan mendorong lebih banyak orang berpartisipasi dalam gerakan kami,” katanya.

Tuduhan-tuduhan itu terkait dengan komentar-komentar yang disampaikan mereka pada serangkaian demonstrasi baru-baru ini. Mereka dinyatakan melanggar pasal 112 undang-undang pidana, yang juga dikenal sebagai Undang-undang Lese Majeste.

Undang-undang itu mengkriminalisasi setiap kecaman terhadap raja, ratu, dan keluarga mereka. Pada praktiknya, undang-undang itu sering dianggap sebagai perlindungan "serba guna" bagi keluarga kerajaan.

Reformasi kerajaan, termasuk menghapus pasal 112, telah menjadi salah satu tuntutan inti dari gerakan protes yang dimulai sejak Juli lalu. Mereka juga menuntut pengunduran diri Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha dan meminta konstitusi baru.

“Menurut kami tidak perlu ada undang-undang khusus ini,” kata Panusaya Sithijirawattanakul, seorang pemimpin lainnya. "Jika kerajaan tidak senang ketika seseorang menghina mereka, mereka dapat menggunakan hukum yang sama dengan yang digunakan orang-orang biasa."

Setelah tidak digunakan selama beberapa tahun, undang-undang lese majeste belakangan ini mulai kembali digunakan polisi sebagai upaya nyata untuk meningkatkan tekanan pada gerakan protes.

Sejumlah pemimpin gerakan prodemokrasi telah dikenai tuduhan terkait pasal 112 itu.

Setelah berbicara dengan petugas polisi selama lebih dari satu jam, keempat pemimpin itu diizinkan pergi. [ab/uh]

Recommended

XS
SM
MD
LG