Tautan-tautan Akses

Lima Pemimpin Protes Thailand Hadapi Tuduhan Cemarkan Raja


Pemimpin protes Parit "Penguin" Chiwarak mengenakan kostum karakter bebek berwarna kuning, yang telah menjadi simbol perlawanan yang lucu selama unjuk rasa anti-pemerintah di Bangkok, Thailand, saat memberikan keterangan kepada media, Rabu, 25 November 2020.
Pemimpin protes Parit "Penguin" Chiwarak mengenakan kostum karakter bebek berwarna kuning, yang telah menjadi simbol perlawanan yang lucu selama unjuk rasa anti-pemerintah di Bangkok, Thailand, saat memberikan keterangan kepada media, Rabu, 25 November 2020.

Lima pemimpin gerakan pro-demokrasi Thailand menghadap polisi, Senin (30/11), untuk mendengarkan tuduhan bahwa mereka mencemarkan nama baik raja, pelanggaran paling serius dari banyak tuduhan pelanggaran yang mereka hadapi.

Kelimanya adalah bagian dari gerakan mahasiswa yang selama beberapa bulan ini telah mengusahakan agar Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha dan pemerintahannya mundur, konstitusi diamandemen agar lebih demokratis; dan kerajaan direformasi untuk membuatnya lebih bisa dipertanggungjawabkan.

Tuntutan menyangkut kerajaan adalah yang paling radikal dan kontroversial, karena menurut tradisi lembaga tersebut dianggap tidak tersentuh dan merupakan unsur dasar nasionalisme Thailand.

Mengritik raja secara terbuka dianggap tabu, dan menghina atau mencemarkan nama baik anggota utama kerajaan dapat dihukum hingga 15 tahun penjara berdasarkan undang-undang lese majeste (penghinaan terhadap raja) yang dikenal sebagai Pasal 112.

Meski demikian, gerakan protes telah menekankan reformasi kerajaan sebagai tuntutan utama, dan menjadikannya tema dari beberapa aksi protesnya, yang telah menarik partisipasi ribuan orang. Mereka menuding raja memegang terlalu banyak kekuasaan dalam lembaga yang seharusnya menjadi kerajaan konstitusional demokratis.

“Sewaktu orang-orang mengkritik kerajaan dan kerajaan bersedia mendengarkan, orang-orang akan menganggap kerajaan berpikiran terbuka. Tetapi jika mereka menggunakan pasal 112 untuk menutup mulut kita, tidak hanya rakyat Thailand tetapi juga dunia akan tahu bahwa mereka takut pada kebenaran,'' kata Parit Chiwarak, seorang pemimpin gerakan, kepada wartawan sebelum melapor ke polisi. “Ini tidak akan menghentikan gerakan kami. Sebaliknya, itu akan membuat lebih banyak orang bergabung dengan kami.''

Pada masa lalu, Pasal 112 sering digunakan sebagai senjata dalam balas dendam politik. Selama tiga tahun terakhir, pasal itu tidak lagi digunakan setelah Raja Maha Vajiralongkorn memberi tahu pemerintah bahwa dia tidak ingin melihatnya digunakan. Raja belum secara terbuka mengomentari undang-undang tersebut sejak saat itu.

Tetapi setelah aksi protes pekan lalu yang menghadirkan banyak seruan dan grafiti yang dapat dianggap menghina raja, Prayuth menyatakan bahwa para pengunjuk rasa telah bertindak keterlaluan dan kini saat mereka dituntut atas tindakan mereka, termasuk dengan Pasal 112. Sementara pemimpin protes telah menghadapi puluhan dakwaan selama beberapa bulan terakhir, mereka umumnya dibebaskan dengan jaminan, dan belum ada yang sampai ke pengadilan.

Terlepas dari ancaman Prayuth, para pemimpin protes terus memasukkan kritik keras terhadap kerajaaan dalam aksi unjuk rasa.

Empat lainnya yang melapor Senin ke kantor polisi Chana Songkhram di Bangkok adalah Arnon Nampha, Panusaya Sithijirawattanakul, Panupong Jadnok dan Patiphan Luecha. Patiphan, penyanyi lagu tradisional yang juga dikenal sebagai Patiwat Saraiyaem, sebelumnya sempat menjalani hukuman 2 1/2 tahun penjara setelah ditangkap berdasarkan Pasal 112 pada 2014.

Sebagian besar pemimpin protes sudah menghadapi banyak dakwaan, mulai dari memblokir lalu lintas hingga penghasutan, yang dapat dihukum hingga tujuh tahun penjara. [ab/lt]

Recommended

XS
SM
MD
LG