Tautan-tautan Akses

'Pandemi Kelaparan' Jadi Efek Samping Krisis COVID-19 Selanjutnya


Anak-anak mengantre bantuan makanan sambil menerapkan aturan menjaga jarak aman di badan amal Hunger Has No Religion, di Westbury, Johannesburg, Afrika Selatan, 19 Mei 2020.
Anak-anak mengantre bantuan makanan sambil menerapkan aturan menjaga jarak aman di badan amal Hunger Has No Religion, di Westbury, Johannesburg, Afrika Selatan, 19 Mei 2020.

Program Pangan Dunia (World Food Program/WFP) dalam analisis terbaru mengatakan 265 juta orang di seluruh dunia diperkirakan menghadapi krisis pangan yang parah tahun ini karena pandemi virus corona.

Angka tersebut lebih dari dua kali lipat dari angka 130 juta yang diperkirakan mengalami kekurangan bahan pangan tahun lalu.

Analisis dari April 2020 itu datang minggu ini, tepat sebelum World Hunger Day atau Hari Kelaparan Dunia, sebuah inisiatif dari Hunger Project berbasis di New York.

Bahaya kelaparan yang berkepanjangan itu diperkirakan memperburuk situasi yang sudah memprihatinkan - 1 dari 9 orang saat ini tidak memiliki cukup makanan, yang berarti 820 juta orang menghadapi kelaparan yang terus berlanjut.

"Kami sadar hal ini bukan terbatas pada kesehatan seseorang, ini telah menjadi sebuah krisis kelaparan dan memakan banyak korban," kata juru bicara Hunger Project, Sara Wilson.

"Pandemi kelaparan" terkait wabah COVID-19 diperkirakan akibat kesulitan ekonomi, kenaikan harga, dan gangguan dalam rantai pasokan makanan.

"Belum ada kelaparan sejauh ini," Direktur Eksekutif WFP David Beasley mengatakan kepada Dewan Keamanan PBB. Namun, David menambahkan, "kita bisa menghadapi beberapa bencana kelaparan yang besar hanya dalam kurun beberapa bulan."

Virus corona mengganggu rantai pasokan makanan karena para petani dan sejumlah pekerja tidak dapat bertani atau bepergian. Keterbatasan transportasi dalam distribusi juga menyebabkan kelangkaan sumber daya, seperti misalnya di Amerika Serikat, pabrik-pabrik pengolahan daging yang terpaksa tutup.

Pekerjaan musiman mengalami gangguan sehingga pengiriman uang ke luar negeri diperkirakan menurun tajam di banyak negara, termasuk Haiti, Nepal, dan Somalia, papar Beasley lebih lanjut. Pembatasan perjalanan di seluruh dunia, kurangnya pendapatan dari para wisatawan dapat merugikan sejumlah negara seperti Etiopia di mana penerimaan pariwisata menyumbang 9,4 persen pada produk domestik bruto.

Di negara-negara seperti Sudan Selatan, produksi minyak menyumbang 98,8 persen dari total ekspor, dan harga minyak yang anjlok dapat menghancurkan perekonomian negara itu. Jika krisis ekonomi semakin parah maka sumbangan dari negara-negara kaya diperkirakan mengalami penurunan. Hal ini berarti lebih sedikit sumber daya yang digunakan sebagai bantuan untuk menyelamatkan orang-orang, Beasley menjelaskan lebih jauh.

Situasi ini diperburuk dengan tingkat pengangguran global yang memuncak dan harga pangan di banyak negara terus meningkat. [mg/jm]

XS
SM
MD
LG