Tautan-tautan Akses

Pakar: Polemik RKUHP Harus Diperbaiki dengan Melibatkan Masyarakat


Tangan narapidana terlihat dari dalam sel saat para narapidana menunggu persidangan di Pengadilan Negeri Batam, Kepulauan Riau, 19 Oktober 2015. (Foto: REUTERS/Beawiharta)
Tangan narapidana terlihat dari dalam sel saat para narapidana menunggu persidangan di Pengadilan Negeri Batam, Kepulauan Riau, 19 Oktober 2015. (Foto: REUTERS/Beawiharta)

Sejumlah pakar mengimbau pemerintah dan DPR untuk melibatkan masyarakat dalam isu-isu yang masih menjadi polemik dalam RUU KUHP. Meski demikian, mereka sepakat pembahasan RUU tersebut dapat tetap dilanjutkan sampai disahkan.

Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indnesia (Peradi) Luhut Pangaribuan sepakat dengan kritikan yang menyebut Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) terlalu banyak memiliki pasal tentang hukuman pidana.

Dia menjelaskan RUU KUHP yang sedang dibahas oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) itu terdiri dari dua buku dengan total 632 pasal. Buku kedua tentang tindak pidana berisi 452 pasal. Sedangkan buku satu mengenai aturan umum mencakup 187 pasal.

Padahal, lanjutnya, hukuman pidana mestinya menjadi tindakan paling terakhir untuk menciptakan keamanan dan ketertiban di masyarakat. Kritikan yang lebih tajam adalah konsep dekolonisasi dalam proses rumusan RUU KUHP sudah tidak berhasil karena jumlah delik pidananya lebih banyak ketimbang KUHP warisan Belanda yang dipakai di Indonesia saat ini.

Mengutip kritikan yang disampaikan Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (ELSHAM), Luhut mengatakan dalam buku dua RUU KUHP setidaknya terdapat 555 pasal yang secara khusus mengatur tentang tindak pidana dan 1.251 perbuatan yang diancam pidana. Dari 1.251 perbuatan tersebut, perbuatan yang diancam pidana penjara sebanyak 1.154, pidana denda (882 perbuatan), hukuman mati (37 perbuatan).

Karena itu, ELSHAM berkesimpulan RUU KUHP ini bukan menjadi sebuah instrumen untuk penguatan terhadap perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan sipil warga negara. Sebaliknya, justeru menjadi instrumen penguatan kuasa negara yang hegemonik dan represif.

"Selain itu, sekaligus mengindikasikan penggunaan pidana penjara masih merupakan pilihan utama," kata Luhut, dalam diskusi bertajuk Kontroversi Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang digelar oleh Program Studi Doktor Ilmu Hukum Universitas Trisakti, Jakarta, Sabtu (16/7).

“Dengan demikian, semangat dekolonisasi yang diniatkan menjadi isi penyusunan (RUU KUHP) tidak berhasil. Kenyataannya, dengan RUU KUHP ini, negara masih berniat menghegemoni warga negara agar tunduk terhadap kehendak negara melalui hukuman pidana sebagai alat kontrol sosial,” lanjutnya.

Lebih lanjut ia mengatakan setuju pembahasan RUU KUHP dilanjutkan hingga disahkan oleh DPR. Namun dia menekankan kontroversi yang berkembang saat ini perlu direspons sepatutnya. Pemerintah dan DPR perlu memberikan peluang seluas-luasnya kepada kalangan yang lebih luas untuk ikut memberi masukan bagi perbaikan atas naskah RUU KUHP.

Aktivis yang tergabung dalam Jangkar KPtPA Jawa Timur melakukan aksi tolak RUU KUHP di Gedung DPRD Jawa Timur. (Foto VOA/Petrus Riski)
Aktivis yang tergabung dalam Jangkar KPtPA Jawa Timur melakukan aksi tolak RUU KUHP di Gedung DPRD Jawa Timur. (Foto VOA/Petrus Riski)

Menurutnya perlu ada tenggat karena rencana pembuatan RUU KUHP sudah dilaksanakan sejak 1963. Dia menambahkan Undang-undang KUHP sangat dibutuhkan karena KUHP yang digunakan selama ini buatan Belanda dan itu pun berdasarkan terjemahan tidak resmi.

Dia mengungkapkan dirinya bersama tiga pakar hukum pidana lainnya pernah dipanggil oleh Presiden Joko Widodo di periode 2014-2019. Mereka berempat setuju RUU KUHP disahkan, tetapi dengan memberikan kesempatan perbaikan sebelumnya dengan batasan waktu.

Dalam diskusi tersebut, pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Dr. Asep Iwan Iriawan juga sepakat agar pembahasan RUU KUHP tetap dilanjutkan sampai disahkan. Namun dia mengingatkan agar isu-isu masih menjadi polemik perlu diperbaiki dengan melibatkan partisipasi publik sebelum RUU KUHP itu menjadi undang-undang.

Dia menyoroti sejumlah kontroversi dalam RUU KUHP yang melanggar asas hukum. Dia terkejut ternyata ada pasal mengenai tindak pidana jabatan mengatur militer. Padahal KUHP itu mestinya mengatur warga sipil.

Asep juga mengkritik kenapa KUHP yang mestinya mengatur tindak pidana umum, tetapi dalam RUU KUHP malah terdapat delik pidana khusus, yakni korupsi, terorisme, narkotika, dan hak asasi manusia. Padahal, dia menegaskan ada banyak jenis tindak pidana khusus.

"Saya taat asas. Kalau memang sepakat KUHP ini (mengatur tindak pidana) umum, terus di belakangnya khusus, kalau memang (prinsipnya) kodifikasi, unifikasi, seluruh tindak pidana tarik, copy paste, simpan di situ (RUU KUHP)," ujar Asep.

Menurut Asep sekarang ini sudah ada kesepakatan bahwa tindak pidana khusus harus ditangani oleh undang-undang khusus karena ini masalah kompetensi. Dia mencontohkan korupsi ditangani pengadilan korupsi, pengadilan hak asasi manusia menangani kasus pelanggaran hak asasi manusia.

Asep mengkritik pula perjudian masuk ke dalam pasal tentang kesusilaan dalam RUU KUHP, padahal judi tidak termasuk kesusilaan.

Aliansi Nasional Reformasi KUHP juga sudah menyatakan ada banyak pasal bermasalah, bukan 14 pasal saja seperti yang diklaim oleh pemerintah. Aliansi Nasional Reformasi KUHP juga menyoroti banyak pasal tentang penghinaan terhadap penyelenggara negara.

Menurut Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Ibrani Julius kepada VOA pada bulan lalu, pasal tentang penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden yang masuk dalam RUU KUHP sekarang merupakan adopsi langsung atas pasal mengenai penghinaan terhadap raja dan ratu berdasarkan Pasal 111 hukum pidana Belanda. Padahal Indonesia merupakan negara dengan sistem republik, bukan menggunakan sistem kerajaan seperti Belanda.

Dia menambahkan kedaulatan dalam negara kerajaan berada di tangan raja atau ratu. Sedangkan Indonesia merupakan negara demokratis kedaulatannya berada di tangan rakyat, bukan di tangan presiden atau wakil presiden.

Dalam praktiknya, lanjut Julius, pasal penghinaan terhadap presiden ini sudah banyak memakan korban karena mengkritik presiden lewat ucapan, gambar, dan sebagainya tanpa ada laporan dari presiden.

Julius memperingatkan pasal penghinaan terhadap penyelenggara negara atau kekuasaan umum dalam sejarahnya selalu digunakan penguasa untuk membungkam dan menindas rakyatnya. Tentu saja pasal penghinaan tersebut makin melegalisasi penindasan terhadap demokrasi. nantinya akan makin banyak warga negara dikriminalisasi gara-gara pasal tentang penghinaan itu.

Sementara itu, Tim Sosialisasi RKUHP Kemenkumham Pujiyono meminta masyarakat memahami terlebih dahulu 14 isu krusial yang tengah menjadi polemik di masyarakat.

Menurutnya dalam pencapaian draft akhir 2019 kala itu, RUU tersebut telah melewati berbagai macam aspek termasuk dalam hal aspirasi dari masyarakat. [fw/ah]

Forum

Recommended

XS
SM
MD
LG