Tautan-tautan Akses

Pakar: Perpanjang Jabatan Kepala Daerah Jelang Pemilu 2024 


Seorang pemilih sedang menggunakan hak pilihnya di sebuah TPS dalam pilkada Tangerang, Banten, 27 Juni 2018. (Foto: AFP)
Seorang pemilih sedang menggunakan hak pilihnya di sebuah TPS dalam pilkada Tangerang, Banten, 27 Juni 2018. (Foto: AFP)

Sebanyak 272 kepala daerah, baik gubernur, bupati maupun wali kota, akan habis masa jabatan tahun ini dan tahun depan. Pemerintah merencanakan mengirim penjabat untuk mengisi kekosongan. Namun menurut pakar, memperpanjang masa jabatan pemimpin daerah saat ini, lebih tepat.

Kekosongan itu terjadi karena telah ada kesepakatan mengenai penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada serentak 2024. Seluruh daerah yang pemimpinnya habis masa jabatan, akan digantikan oleh penjabat yang ditunjuk presiden atau menteri dalam negeri. Pakar otonomi daerah, Prof Djohermansyah Djohan memandang, lebih baik masa jabatan gubernur, bupati atau wali kota yang habis sebelum Pemilu 2024, diperpanjang.

“Akan lebih kuat legitimasi, akan lebih aman dari bermacam-macam gangguan intervensi politik, juga akan lebih membuat pemerintahan efektif di daerah itu, kelanjutan pembangunan juga lebih terjamin kalau diperpanjang saja,” kata Djohan.

Perpanjangan Miliki Yurisprudensi

Mantan Dirjen Otonomi Daerah 2010-2014 itu berbicara dalam diskusi Transparansi Penunjukan Penjabat Kepala Daerah, yang diselenggarakan Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Rabu (26/1). Dalam bahasa hukum, Penjabat (PJ) adalah pengganti kepala daerah yang diangkat dari ASN, karena belum adanya pejabat definitif. Sedangkan pejabat sementara (PJs) digunakan untuk menyebut pengganti sementara yang dipilih, karena pejabat resmi menjalani kampanye Pilkada.

Pakar otonomi daerah, Prof Djohermansyah Djohan.(VOA)
Pakar otonomi daerah, Prof Djohermansyah Djohan.(VOA)

Djohan juga menyebut, langkah perpanjangan masa jabatan cukup dilakukan dengan melakukan revisi aturan hukum yang ada.

“Terobosan lebih cepat bisa memakai Perpu, karena sudah ada yang akan habis masa jabatan pada bulan Mei 2022. Kalau revisi biasa, akan repot di Senayan,” tambah Djohan.

Tidak perlu khawatir dengan keputusan ini, karena ada yurisprudensinya. Djohan mengatakan, pemerintah pusat pernah memperpanjang masa jabatan kepala daerah, yaitu masa jabatan Gubernur DIY, Sri Sultan HB X.

“Dia habis masa jabatannya pada 2009, lalu kita perpanjang ke 2011 atau dua tahun. Lalu karena UU Keistimewaan DIY belum juga jadi, diperpanjang lagi dari 2011 ke 2012. Jadi ada contoh perpanjangan masa jabatan, karena ketika itu bukan diturunkan penjabat dari ASN untuk memimpin DIY,”ujarnya lagi.

Pakar: Perpanjang Jabatan Kepala Daerah Jelang Pemilu 2024
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:02:32 0:00

Gubernur, bupati atau wali kota yang telah menjabat, dinilai lebih tepat karena sejumlah alasan. Djohan menyebut, mereka lebih mengenal kehidupan masyarakat yang dipimpinnya, mengerti tata kelola pemerintahan, dan menguasai penyelenggaraan pemerintahan daerah. Mereka juga telah menjalankan roda birokrasi daerah, berpengalaman mengatasi COVID-19, dan menghadapi dinamika politik lokal yang tidak mudah.

Sebenarnya, ada pilihan kedua yang bisa diambil, yaitu pemilihan melalui DPRD. Proses ini membuat legitimasi pemimpin daerah terjaga, meski punya kelemahan yaitu potensi politik uang, keterbatasan waktu dan belum tersedianya dasar hukum. Jika sangat terpaksa, pilihan ketiga yaitu memiih penjabat dari kalangan ASN, meski harus dilakukan dengan seleksi terbuka dan perlunya diberika pelatihan kepemimpinan.

Perpanjangan Lebih Efektif

Guru Besar FISIP, Universitas Airlangga, Surabaya, Prof Ramlan Surbakti juga sepakat dengan Djohan.

“Kenapa tidak diperpanjang saja. Karena efektivitas pemerintahan daerah itu akan lebih terjamin. Saya tahu bahwa penjabat ini bisa membuat Perda atau APBD bersama DPRD, tetapi dia ASN. Dia mencerminkan aspirasi dari mana?” kata Ramlan.

Guru Besar FISIP, Universitas Airlangga, Surabaya, Prof Ramlan Surbakti.(VOA)
Guru Besar FISIP, Universitas Airlangga, Surabaya, Prof Ramlan Surbakti.(VOA)

Di samping itu, kata Ramlan, jika meneruskan masa jabatan kepala daerah tersebut masih memiliki keterikatan pada rakyat yang memilihnya. “Menurut saya itu lebih baik daripada alternatif lain. Walapun punya kelemahan,” tambahnya.

Ramlan mengingatkan, dalam UU tentang pemerintahan daerah, terdapat bagian yang secara khusus membahas partisipasi masyarakat. Bagian itu, ujarnya lagi, sampai saat ini belum terwujud.

“Hasil penelitian menunjukkan, otonomi yang berkembang di Indonesia adalah otonomi vertikal. Otonomi itu hanya urusan kepala daerah, DPRD dan aparat pemda saja. Yang horizontal, yaitu partisipasi masyarakat, belum muncul,” katanya lagi.

Mau tidak mau, kekosongan kepala daerah di 272 wilayah ini memang buah dari skenario yang disusun sejak lama. Indonesia menginginkan sistem pemilihan yang lebih sederhana dan efektif.

“Saya berharap, ini yang terakhir. Ada penjabat yang jumlahnya begitu banyak,” tambah Ramlan.

Persoalan Lebih Kompleks

Direktur PSHK UII Yogyakarta, Allan FG Wardhana menyebut sejumlah larangan yang dikenakan bagi penjabat kepala daerah. Diantaranya adalah mereka tidak boleh melakukan mutasi pegawai, membatalkan perijinan, membuat kebijakan terkait pemekaran daerah, dan membuat kebijakan yang bertentangan dengan kebijakan sebelumnya.

“Tetapi ada pengecualiannya. Ketentuan ini dapat dikecualikan, kalau sudah ada izin tertulis dari mendagri,” kata Allan.

Jika tidak ada izin menteri dalam negeri, Allan menilai tidak banyak yang bisa dilakukan penjabat kepala daerah. Misalnya terkait Anggaran Pendapatan dan Belanda Daerah, masih muncul pertanyaan terkait sejauh mana kewenangan pembahasan dan pengesahannya.

Direktur PSHK UII Yogyakarta, Allan FG Wardhana.(VOA)
Direktur PSHK UII Yogyakarta, Allan FG Wardhana.(VOA)

“APBD itu ditetapkan setahun sekali. Kalau misalkan Penjabat itu menjabat 20 bulan, maka ada dua kali pembahasan APBD di tahun yang berbeda,” tambahnya.

Di luar soal APBD, juga ada banyak persoalan kebijakan kepala daerah, jika memang benar-benar tidak boleh berubah. Allan memberi contoh, di tingkat pusat ada perubahan regulasi yang cukup cepat, misalnya terkait UU Cipta kerja dan UU Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah.

“Semua daerah harus menyesuaikan mengenai pajak retribusi. Belum mengenai Dana Desa, rencana pembangunan industri, rencana tata ruang dan wilayah. Banyak sekali dan kompleks,” kata Allan.

Wajar jika kemudian muncul kekhawatiran di sebagain masyarakat, terutama yang daerahnya tidak memiliki kepala daerah definitif. Dalam konteks hubungan pemerintah dengan rakyat, ada potensi rakyat di daerah tersebut tidak mendapatkan kebijakan sesuai yang diinginkan. Atau, lanjut Allan, jikapun ada, kebijakan itu berbeda dengan aspirasi mereka. [ns/ab]

Recommended

XS
SM
MD
LG