Tautan-tautan Akses

Nelayan dan Greenpeace Hadang Tongkang Batubara di Karimunjawa


Aktivis Greenpeace menulis "Coral not Coal" di lambung tongkang batubara di Karimunjawa. (Foto: Greenpeace Indonesia).
Aktivis Greenpeace menulis "Coral not Coal" di lambung tongkang batubara di Karimunjawa. (Foto: Greenpeace Indonesia).

Batubara tidak hanya merusak alam ketika ditambang dan dibakar. Dalam pengangkutannya pun, komoditas ini merusak terumbu karang. Nelayan didukung Greenpeace bergerak menghadang. Berikut laporannya.

Pulau Jawa yang membutuhkan pasokan listrik besar kini tergantung pada batubara. Emas hitam ini sebagian besar dikirim dari Kalimantan, melintas Laut Jawa, menuju sejumlah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Rute kapal tongkang pembawa batubara ini, salah satunya melewati kawasan Kepulauan Karimunjawa, di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.

Karimunjawa adalah Taman Nasional dengan kekayaan terumbu karang yang luar biasa. Bagi David Burhan, nelayan di Karimunjawa, lewatnya tongkang batubara membawa banyak masalah. Kepada VOA dia berbagi cerita, tentang bagaimana terumbu karang rusak akibat jangkar tongkang itu.

Kawasan terumbu karang di Taman Nasional Karimunjawa (Foto: Greenpeace Indonesia)
Kawasan terumbu karang di Taman Nasional Karimunjawa (Foto: Greenpeace Indonesia)

“Dalam tiga bulan itu bisa ada lebih dari 50 tongkang, tetapi itu bergantian. Di musim tertentu, ombak dan angin itu besar, sehingga mereka melepas jangkar. Satu jangkar itu bisa ditempati lima tongkang. Nah, bahayanya seperti kejadian di Pulau Cilik dan Pulau Tengah, karena angin kuat, tali jangkarnya tidak kuat lalu putus dan hanyut,” kata David Burhan.

Selain mencari ikan, David Burhan juga menawarkan jasa wisata menyelam untuk menikmati terumbu karang di kawasan itu. Karenanya, bagi Burhan terumbu karang adalah juga penopang kehidupan keluarganya.

Dalam sejumlah insiden, pernah ada tongkang dengan batubara yang terbakar di tengah laut. Asap hitam memenuhi kawasan di mana nelayan mencari ikan dan mengantar wisatawan menyelam. Dalam kasus seperti ini, kata Burhan, mereka hanya bisa naik ke tongkang dan meminta awak kapal memadamkan api secepatnya.

Pada musim hujan, tragedi bertambah parah, karena air hujan merembes keluar tongkang. Berwarna hitam pekat, air bercampur bubuk batubara itu mengotori perairan.

“Kalau pas hujan, di sekitar kapal tongkang pembawa batubara itu seluruh airnya berwarna hitam. Saya tidak tahu mengapa, tetapi yang jelas itu air hujan terkena batubara dan mengalir ke laut dari lubang-lubang di tongkang,” jelasnya.

Nelayan Karimunjawa tidak mampu mengusir tongkang yang ukurannya ratusan kali lebih besar dari perahu mereka. Tindakan sudah beberapa kali dilakukan, tetapi tongkang selalu datang dan pergi meninggalkan kerusakan.

Dalam lawatan ke Indonesia, kapal Rainbow Warrior milik organisasi lingkungan Greenpeace minggu ini singgah ke Karimunjawa. Tentu saja, kehadiran mereka untuk membantu nelayan Karimunjawa melawan kehadiran tongkang-tongkang di wilayah mereka. Namun, kata Didit Haryo, juru kampanye iklim dan energi Greenpeace Indonesia, mereka datang juga untuk menyadarkan bahaya batubara itu sendiri.

“Perdagangan batubara telah menghancurkan salah satu wilayah terindah di Indonesia, area yang dilindungi pemerintah sebagai taman nasional. Keindahan alam Karimunjawa dan mata pencaharian penduduk yang bekerja di industri perikanan dan pariwisata lokal kini terancam oleh tongkang batubara yang secara rutin melintasi perairan ini,” kata Didit Haryo.

Dalam laporannya, Greenpeace menyebutkan bahwa Kepulauan Karimunjawa merupakan taman nasional yang kaya terumbu karang, rumput laut, hutan bakau, hutan pantai dan hutan hujan tropis dataran rendah. Kawasan ini merupakan rumah bagi tiga jenis penyu dan hampir 400 spesies fauna laut, termasuk ratusan ikan hias. Sejak lama, Karimunjawa telah menjadi salah satu tujuan wisata paling populer di Indonesia.

Aktivis Greenpeace mengkampanyekan bahasa batubara dan pengangkutannya di Karimunjawa (Foto: Greenpeace Indonesia)
Aktivis Greenpeace mengkampanyekan bahasa batubara dan pengangkutannya di Karimunjawa (Foto: Greenpeace Indonesia)

Taman Nasional Karimunjawa memiliki total luas kawasan 111.625 hektar, dengan 110.117 hektar diantaranya merupakan wilayah perairan. Data citra satelit yang dimiliki Greenpeace menunjukkan, luasan ekosistem terumbu karang di Taman Nasional Karimunjawa mencapai 713,11 hektar. Kawasan itu kini semakin terancam dengan aktivitas tongkang batubara.

Greenpeace mencatat, pada Januari dan Februari 2017, terjadi kerusakan besar terumbu karang di Karimunjawa akibat terdamparnya lima kapal tongkang pengangkut batubara.

Greenpeace kini sedang mengembangkan sistem pengawasan real time, di mana organisasi ini bekerja sama erat dengan nelayan, pelaku wisata lokal, dan Balai Taman Nasional Karimunjawa untuk terus mengawasi aktivitas tongkang di sana.

“Kita akan me-launching, nama platformnya adalah savekarimunjawa.org, di mana masyarakat bisa melihat langsung, ke depannya secara real time, apa yang sedang terjadi di Karimunjawa. Sehingga yang melakukan pemantauan tidak hanya kita tetapi publik secara luas. Dan kami sangat optimistis jika kita bersama-sama mampu melakukan pemantauan dan penekanan, dalam waktu singkat tidak akan ada lagi tongkang batubara yang hilir mudik di kawasan ini,” jelasnya.

Nelayan dan Greenpeace Hadang Tongkang Batubara di Karimunjawa
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:03:22 0:00

Greenpeace mencatat, polusi udara dari pembangkit listrik tenaga batubara di Asia Tenggara telah berkontribusi pada 20.000 kematian dini per tahun. Kawasan ini terus membangun PLTU berbahan bakar batubara, dan dikhawatirkan ancaman itu akan meningkat hingga 70.000 kematian dini per tahun.

Data itu diperoleh dari riset Universitas Harvard dan Greenpeace International, yang menyebut penyakit seperti kanker paru-paru, stroke, serta penyakit pernapasan, menjadi perantara kematian itu.

Indonesia menjadi tuan rumah konferensi batubara di Bali, 6-8 Mei lalu. Konferensi yang mempertemukan industri tambang dan konsumen batubara ini, membahas berbagai isu terkait bisnis komoditas tersebut. Pemerintah sendiri menegaskan, setidaknya sampai tahun 2050, sekitar 25 persen sumber energi Indonesia masih akan bergantung pada batubara. [ns/uh]

Recommended

XS
SM
MD
LG