Tautan-tautan Akses

Museum Alkitab yang Kontroversial Dibuka di Washington


Pameran tentang perbudakan dan alkitab di AS dipajang di dalam Museum Alkitab, Senin, 30 Oktober 2017, di Washington.
Pameran tentang perbudakan dan alkitab di AS dipajang di dalam Museum Alkitab, Senin, 30 Oktober 2017, di Washington.

Sebuah museum yang didanai pihak swasta “Museum of the Bible” dibuka untuk publik akhir pekan lalu. Museum yang terletak di dekat gedung Kongres dan bernilai 500 juta dolar ini menghadirkan artefak kuno, benda-benda interaktif dan alkitab dari beberapa abad lalu.

Tidak mengherankan jika Museum Alkitab atau Museum of the Bible ini menghadirkan banyak kitab Injil yang bervariasi, lagu-lagu tentang kitab Injil, kisah yang menggunakan teks Hebrew seperti kisah "Laut Mati", bahkan busana kontemporer dengan tema kitab Injil. Bagi museum yang didirikan oleh seorang penganut Kristen-Evangelis konservatif, tidak terlalu banyak hal yang mengejutkan tentang Yesus.

Direktur Eksekutif Museum of the Bible Tony Zeiss mengatakan fokusnya adalah pada kitab Injil karena ajarannya membantu memberi pedoman dalam kehidupan.

Tony mengatakan, "Banyak pelajaran yang bisa dipetik. Jadi kami memusatkan perhatian pada sejarah, narasi dan dampaknya. Kami ingin hal-hal itu menjadikan orang yang taat menjadi lebih mempelajari ajaran kitab ini."

Tony menambahkan museum ini non-sektarian dan lebih dari 100 ilmuwan – yang mewakili beragam pandangan agama – merancang ruang-ruang pameran pada beberapa lantai di gedung yang luas ini. Ada pula sajian seni interaktif berwarna-warni, tidak saja untuk mendidik orang, tetapi juga menghibur mereka; di dalam lift sekali pun.

Mereka juga bisa mengikuti secara langsung penciptaan kembali Nazaret, kota di mana Yesus dibesarkan, lengkap dengan pohon-pohon yang dilukis tangan dan suara nyanyian burung-burung. Direktur Urusan Isi dan Materi Museum of the Bible Seth Pollinger mengatakan, "Ini bertujuan untuk menciptakan suasana yang Anda masuki. Anda akan merasa berada di tempat berbeda sebagaimana 2.000 tahun lalu."

Museum ini didirikan oleh Steve Green, seorang penganut Kristen-Evangelis konservatif yang menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk menyebarluaskan kisah tentang kitab Injil. Museum ini menghadirkan sejumlah artefak kuno yang mengesankan, sebagian dipinjam dari negara-negara di luar Amerika dan sebagian lainnya dari koleksi barang-barang antik yang luar biasa banyaknya milik keluarga Steve Green. Sebagian diantaranya bahkan diselundupkan keluar Irak dan dibeli keluarga itu, yang mengatakan mereka tidak tahu bahwa mereka membeli barang curian. Keluarga Green kehilangan benda-benda berharga itu dan bahkan harus membayar denda tiga juta dolar.

Green mengatakan museum itu bersedia mengembalikan artefak tersebut ke negara asal mereka.

"Jika ada artefak apapun milik kita yang diklaim mereka, itu tidak apa-apa," ujarnya.

Steve Green adalah Presiden Hobby Lobby, pengecer benda seni dan kerajinan tangan terbesar di dunia, yang didirikan oleh ayahnya. Pada tahun 2014, dengan alasan agama, perusahaan itu memenangkan sebuah kasus di Mahkamah Agung untuk menolak penggunaan kontrasepsi bagi pekerja di perusahaan-perusahaan milik keluarga itu.

"Sulit bagi kita – sebagai keluarga – untuk berupaya menyembunyikan apa yang kita percaya. Kami yakin kitab ini benar sebagaimana diklaim. Tetapi peran kita di sini adalah untuk menyajikan fakta-fakta tentang kitab Injil dalam tampilan yang lebih jurnalistik," jelasnya.

Tetapi hal ini dipertanyakan, ujar John Fea, seorang penganut Kristen-Evangelis liberal yang juga ketua departemen sejarah di Messiah College di Pennsylvania.

John mengatakan, "Sebesar apapun mereka ingin bersikap netral dan memberi tujuan keberadaan kitab Injil, akan sangat sulit untuk menyajikan/ mempresentasikan kitab Injil dengan cara itu, karena kitab Injil senantiasa seolah-olah tertutup dan begitu terkait dengan tradisi keagamaan tertentu dan cara mereka menafsirkannya."

Profesor Jacques Berlinerbrau di Universitas Georgetown yang juga seorang Yahudi, yakin museum itu memiliki agenda terselubung. Berlinerbrau memimpin program Peradaban Yahudi di universitas itu.

"Gagasan bahwa museum itu tidak bermaksud mengubah keyakinan orang untuk membaca kitab tentang Tuhan, atau Yesus Kristus, benar-benar tidak masuk akal," ujarnya.

John Fea juga melihat ada agenda terselubung di balik keputusan untuk menempatkan museum itu ibukota Amerika.

"Sulit melihat museum ini sebagai sesuatu yang lain selain upaya menyajikan nilai-nilai Kristiani dan ajaran kitab Injil sebagaimana dipahami penganut agama Kriste Protestan Evangelis seperti Green, ke pusat kehidupan politik dan kebudayaan warga Amerika," ungkap John.

Pejabat-pejabat Museum of the Bible menyambut baik skeptimisme itu dan mengajak orang untuk datang ke museum itu dan menilai sendiri makna museum itu bagi mereka. [em/al]

XS
SM
MD
LG