Tautan-tautan Akses

Muktamar IMSA: Menghadapi Perlakuan Berbeda Terhadap Muslim


Suasana Muktamar IMSA 2019. (Foto: Karlina Amkas/VOA)
Suasana Muktamar IMSA 2019. (Foto: Karlina Amkas/VOA)

Tantangan berhijrah bagi Muslim tidak hanya datang dari kelompok luar melainkan dari sesama Muslim. Dr. Nadeem Siddiqi, pakar psikologi klinis, membeberkan apa yang bisa dilakukan Muslim untuk mengatasi hal itu pada hari ke-2 Muktamar IMSA ke-20 di Chicago, Illinois, yang mengangkat tema Hijrah.

Sebagai negara dengan penduduk yang sangat beragam, kerap timbul masalah di Amerika yang dilatarbelakangi budaya. Dan di dalam cakupan yang lebih kecil, komunitas Muslim, masalah pun tidak sedikit. Pasalnya, muslim di Amerika datang dari berbagai negara, dan masing-masing membawa latar belakang sendiri.

Tidak mungkin menyamakan semua, ujar Dr. Nadeem Siddiqi, pakar psikologi klinis, dalam sesi pembahasan perlakuan berbeda yang dihadapi Muslim, pada hari kedua Muktamar ke-20 Masyarakat Muslim Indonesia di Amerika (Indonesian Muslim Society in America/IMSA) di Chicago, Illinois. Selalu akan ada situasi di mana seseorang merasa diperlakukan berbeda, kata Siddiqi.

Menghadapi situasi itu, ia mengatakan ada dua tingkatan aksi, dari luar dan dari dalam. Yang pertama, “Aktif berpartisipasi dalam berbagai upaya yang ada,” ujar Siddiqi.

Dr. Nadeem Siddiqi, pakar psikologi klinis,mengajak Muslim berkaca dan peduli pada sesama Muslim pada Muktamar IMSA di Chicago, Illinois, 26 Desember 2019. (Foto: VOA/Karlina)
Dr. Nadeem Siddiqi, pakar psikologi klinis,mengajak Muslim berkaca dan peduli pada sesama Muslim pada Muktamar IMSA di Chicago, Illinois, 26 Desember 2019. (Foto: VOA/Karlina)

Apa saja upaya yang ada dan dilakukan komunitas, bisa kita ikuti. Kemudian, kita bisa membicarakan masalah itu, berdoa, dan terakhir mempunyai pemikiran yang positif bahwa mungkin itu sudah ketentuan Allah.

Sedangkan dari dalam, kata Siddiqi, umat muslim berusaha mengendalikan diri agar tidak menghakimi orang lain.

Di luar itu, ia mengajak Muslim mengenali sesama Muslim yang dekat dan ada di sekitar mereka. Dengan kepedulian, umat muslim akan mudah menangkap hal di luar kebiasaan orang itu, yang sesungguhnya memberitahu kita bahwa ada masalah dengannya.

Siddiqi menegaskan, isu ini sangat serius dan harus dihadapi. Ia mengingatkan, apa pun yang kita lakukan, pada akhirnya kita akan mempertanggungjawabkannya di hadapan Pencipta. Kepada orang yang menjadi korban perlakuan berbeda, ia menyatakan hal yang sama.

Muktamar IMSA: Menghadapi Perlakukan Berbeda Terhadap Muslim
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:04:29 0:00

“Kalau menyaksikan kejadian yang tidak menyenangkan, mendengar seseorang mengatakan sesuatu yang tidak patut, melakukan sesuatu yang tidak patut, kalian harus sampaikan, dan menghentikannya. Setidaknya, itulah yang bisa kita lakukan,” imbuh Siddiqi.

Siddiqi menegaskan, bukan hanya orang yang menjadi korban ketidakadilan yang harus ditolong. Itu, menurutnya, sudah jelas. Tetapi, yang tidak kalah pentingnya adalah membantu orang yang menindas supaya tidak lagi menindas. Ia mengakui, tidak mudah melakukan itu dan harus tahu kapan melakukannya, tetapi harus dilakukan.

Bobby yang mendapat bekal berhijrah dari Muktamar IMSA ke-20 di Chicago, Illinois, 26 Desember 2019. (Foto: VOA/Karlina)
Bobby yang mendapat bekal berhijrah dari Muktamar IMSA ke-20 di Chicago, Illinois, 26 Desember 2019. (Foto: VOA/Karlina)

Yang tidak kalah penting untuk dilakukan Muslim agar tidak menjadi korban penindasan atau menjadi penindas adalah berkaca pada diri sendiri, mengkritik diri, dan menerima kritikan orang lain. Setiap orang, menurut Siddiqi, punya blind-spot,hal yang melemahkan.

Peserta dari Chicago, Illinois, Bobby, mengaku puas atas topik yang dibahas. Baginya, topik itu membekalinya berhijrah. Ia mengakui Muslim saat ini banyak menghadapi masalah, bukan hanya dengan non Muslim, tetapi juga dengan sesama Muslim.

“Menurut saya ini topik yang sangat penting dan trying to push ourselves forward for change,” ujar Bobby.

Beberapa poin yang penting untuk disoroti, menurut Bobby, pertama, semua upaya dikembalikan sebagai muslim. Artinya, sebagai muslim harus mempertanggungjawabkan perbuatan masing-masing di hadapan Allah.

“Poin kedua yang juga penting, kita harus educate ourselvesbahwa kita punya blind spots supaya kita tidak tanpa sengaja, tidak menghargai sesama Muslim,” tambahnya.

Lia Amelia yang pernah diperlakukan berbeda oleh sesama Muslim membagi kisahnya di Muktamar IMSA, di Chicago, Illinois, 26 Desember 2019. (Foto:VOA/Karlina)
Lia Amelia yang pernah diperlakukan berbeda oleh sesama Muslim membagi kisahnya di Muktamar IMSA, di Chicago, Illinois, 26 Desember 2019. (Foto:VOA/Karlina)

Peserta lain, Lia Melia dari Pittsburgh mengatakan hal serupa. Ia mengungkapkan pengalaman pribadi, dinilai kurang agamis oleh sesama Muslim hanya karena tidak memakai jilbab panjang dan masih mengenakan jeans. Ia merasa tidak nyaman diperlakukan berbeda dan tidak tahu harus berbuat apa. Kini ia tahu bahwa dia harus berani bicara.

“Kita perlu meng-educate orang itu. Mungkin ada hal-hal yang tidak dia pahami. Jadi, memang perlu ada orang yang menegur,” ujar Lia.

Pembahasan topik tersebut, menurut Lia, membuatnya semakin berhati-hati dalam bergaul, bahkan dengan sesama Muslim senegara supaya tidak menyinggung. Seringkali, kata Lia, kita berasumsi bahwa sesama Muslim kita sudah saling mengenal dan tidak akan menghadapi masalah. Ternyata itu salah.

Muktamar IMSA akan berlangsung hingga 28 Desember, membahas berbagai isu yang membekali Muslim berhijrah, sesuai tema tahun ini, Hijrah: Transforming Oneself in Challenging Times.[ka]

XS
SM
MD
LG