Tautan-tautan Akses

Moeldoko Minta Masyarakat Setop Perdebatan Soal Tes Wawasan Kebangsaan


Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko memberi isyarat saat wawancara dengan Reuters di kantornya di Jakarta, 28 Mei 2019. (Foto: REUTERS/Willy Kurniawan)
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko memberi isyarat saat wawancara dengan Reuters di kantornya di Jakarta, 28 Mei 2019. (Foto: REUTERS/Willy Kurniawan)

Pemerintah meminta masyarakat untuk tidak lagi memperdebatkan tidak lolosnya pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam tes wawasan kebangsaan (TWK). Dia mengatakan tes tersebut juga berlaku di semua lembaga negara.

Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko meminta masyarakat untuk tidak meributkan sejumlah pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK). Pasalnya, TWK berlaku di semua lembaga negara sebagai salah satu syarat peralihan alih status menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).

TWK, kata Moeldoko seharusnya dilihat sebagai bentuk penguatan wawasan kebangsaan bagi setiap pegawai pemerintahan. Menurutnya, wajar apabila ada yang tidak lolos dalam tes tersebut dimana hal ini juga terjadi di lembaga negara lainnya.

Kepala Staf Kepresidenan Republik Indonesia, Moeldoko usai konferensi pers di Jakarta, 3 Februari 2021 (Foto: Antara/Reuters)
Kepala Staf Kepresidenan Republik Indonesia, Moeldoko usai konferensi pers di Jakarta, 3 Februari 2021 (Foto: Antara/Reuters)

“Soal tidak lolos uji TWK sebenarnya tidak hanya di KPK. Tetapi juga di lembaga lain pernah terjadi seperti itu kondisinya. Bahkan di BPIP juga ada begitu TWK mereka dinyatakan tidak lolos. Kenapa itu tidak ribut? Kenapa yang di KPK begitu ribut?,” ungkap Moeldoko di Jakarta, Rabu (26/5).

Lanjutnya, agar mekanisme TWK semakin baik di masa yang akan datang, KSP merekomendasikan TWK untuk melibatkan organisasi keagamaan seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Moeldoko menilai kedua organisasi tersebut telah teruji mampu merajut simbol kebangsaan dan kebhinekaan Indonesia.

Moeldoko juga menyarankan KPK untuk memikirkan sejumlah skenario perbaikan untuk pegawai KPK yang wawasan kebangsaannya dirasa masih kurang, yakni melalui pendidikan kedinasan seperti yang diinginkan oleh Presiden Joko Widodo. Wawasan kebangsaan ini, kata Moeldoko perlu diperkuat dari waktu-ke-waktu karena bisa saja naik turun dan ancaman yang ada juga dirasa semakin keras.

“Untuk itu, penguatan sungguh sangat diperlukan. Kenapa kita mesti bertele-tele mendiskusikan sesuatu yang baik? Untuk kepentingan masa depan Indonesia? Bangsa ini sungguh kadang-kadang kehilangan akal sehat. Saya juga ingin menyampaikan bahwa sebaiknya kita sudahilah energi negatif dan praduga yang tidak konstruktif terhadap KPK,” paparnya.

Moeldoko Minta Masyarakat Setop Perdebatan Soal Tes Wawasan Kebangsaan
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:03:17 0:00

Maka dari itu,ia ingin masyarakat bisa memberikan kepercayaan penuh kepada KPK untuk bisa membenahi dan memperkuat diri agar bisa bekerja menindak koruptor dengan tidak pandang bulu, dan melakukan strategi pencegahan korupsi dengan baik dan benar.

Dalam kesempatan ini, Moeldoko kembali menegaskan bahwa alih status pegawai KPK menjadi ASN menunjukkan komitmen pemerintah untuk menjaga KPK agar dapat bekerja secara maksimal sesuai dengan tugasnya untuk memberantas korupsi di Tanah Air.

Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terlihat pada refleksi jendela melewati bendera nasional Indonesia di Jakarta pada 12 September 2017. (Foto: AFP)
Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terlihat pada refleksi jendela melewati bendera nasional Indonesia di Jakarta pada 12 September 2017. (Foto: AFP)

Batalkan Keputusan KPK

Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak Presiden Joko Widodo untuk membatalkan keputusan Pimpinan KPK dan Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) dengan tetap melantik seluruh pegawai KPK menjadi ASN. Desakan ini merupakan buntut pemecatan 51 dari 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK) beberapa waktu lalu.

Peneliti ICW Kurnia Ramadhana. (Foto: Kurnia)
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana. (Foto: Kurnia)

“(Mendesak) Presiden Joko Widodo memanggil, meminta klarifikasi, serta menegur Kepala BKN dan seluruh Pimpinan KPK atas kebijakan yang telah dikeluarkan perihal pemberhentian 51 pegawai KPK,” ujar Peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam siaran persnya di Jakarta, Rabu (26/5).

ICW, ujar Kurnia, juga mendesak Dewan Pengawas KPK unntuk segera menyidangkan dugaan pelanggaran kode etik seluruh Pimpinan KPK terkait pemberhentian pegawai dalam Tes Wawasan Kebangsaan ini.

Keputusan KPK dan BKN yang telah memecat 51 pegawai KPK ini, ujar Kurnia, telah melanggar ketentuan perundang-undangan. Menurutnya, sejak awal sudah ditegaskan bahwa penyelenggaraan TWK yang diikuti seluruh pegawai KPK bersifat ilegal. Sebab, TWK diselundupkan secara sistematis oleh Pimpinan KPK melalui Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 1 Tahun 2021 (Perkom 1/2021).

“Padahal, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 dan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2020 tidak mengamanatkan metode seleksi untuk alih status kepegawaian KPK,” jelasnya.

Lanjutnya, putusan untuk mengeluarkan 51 pegawai KPK telah menghiraukan putusan MK. Sebagaimana diketahui, dalam putusannya, MK sudah mengumumkan bahwa pengalihan status kepegawaian KPK tidak boleh melanggar hak-hak pegawai.

“Kemudian, jika tes tersebut dimaknai dengan metode seleksi, bukankah hal itu menimbulkan dampak kerugian bagi pegawai KPK? Mesti dipahami bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat serta tidak bisa ditafsirkan lain,” katanya.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid. (Foto: Sasmito/VOA)
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid. (Foto: Sasmito/VOA)

Sementara itu, menanggapi polemik ini Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid mengatakan pemberhentian ini merupakan pelanggaran atas hak kebebasan berpikir, berhati nurani, beragama dan berkeyakinan.

Usman menyoroti pertanyaan dalam tes mengenai kepercayaan, agama, dan pandangan politik pribadi, yang menurutnya tidak ada hubungan dengan kompetensi pegawai KPK.

“Berdasarkan standar hak asasi manusia international maupun hukum di Indonesia, pekerja harus dinilai berdasarkan kinerja dan kompetensinya,” kata Usman dalam siaran persnya di Jakarta, Rabu (26/5).

Ditambahkannya, pemecatan yang dilakukan berdasarkan tes ini juga jelas melanggar hak-hak sipil para pegawai dan juga hak-hak sebagai pekerja. Maka dari itu, Usman juga mendesak pimpinan KPK untuk segera menghentikan proses pemberhentian para pegawai tersebut sambil menunggu hasil penyelidikan Komnas HAM yang sedang berjalan.

Pemimpin KPK juga harus transparan menjelaskan kepada publik mengenai kriteria yang mengakibatkan 75 pegawai KPK itu tidak lolos dan pertanyaan masyarakat lainnya soal TWK, katanya. [gi/ft]

Recommended

XS
SM
MD
LG