Tautan-tautan Akses

Meredam Ancaman Krisis Pangan Tahun Depan


Seorang petani melemparkan pupuk ke sawah di Subang, Jawa Barat, 20 Januari 2011.(Foto: REUTERS/Beawiharta)
Seorang petani melemparkan pupuk ke sawah di Subang, Jawa Barat, 20 Januari 2011.(Foto: REUTERS/Beawiharta)

Berulang kali Presiden Jokowi mengingatkan seluruh pihak untuk berhati-hati dengan kondisi tahun 2023. Salah satu fokus kekhawatiran ada di sektor pangan dengan perubahan iklim dan konflik menjadi faktor dominan.

Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo, menekankan bahwa sektor yang dipimpinnya adalah salah satu kunci penting, khususnya menghadapi situasi tahun depan. Perubahan iklim dan perang Rusia-Ukraina telah menimbulkan berbagai kekacauan di sektor pangan secara global. Tidak mengherankan jika pertemuan G20 di Bali pada November memberi penekanan besar terhadap sektor ini.

“Ekosistem perdagangan, ekosistem supply and demand, ekosistem kerja sama bilateral dan multilateral antarbangsa, ini akan bersoal. Dan kita akan hadapi ini, dalam waktu yang singkat, 2023-2024 ke depan. Tak ada satupun negara yang sangat firm menghadapi ini,” kata Syahrul dalam diskusi yang digelar lembaga Indef, Jumat (16/12).

Menteri Pertanian RI Syahrul Yasin Limpo dan Kementerian Pertanian mencanangkan gerakan tanam padi dan jagung serentak se-Indonesia. (Foto: Twitter/@Syahrul_YL)
Menteri Pertanian RI Syahrul Yasin Limpo dan Kementerian Pertanian mencanangkan gerakan tanam padi dan jagung serentak se-Indonesia. (Foto: Twitter/@Syahrul_YL)

G20 sudah sepakat untuk mengantisipasi krisis pangan. Dalam pertemuan Menteri Keuangan dan Menteri Pertanian G20 di Washington, Oktober 2022, topik ini turut dibahas.

“Semua negara resah terhadap krisis pangan, yang diakibatkan oleh multikompleks masalah dari tantangan yang ada,” tambah Syahrul.

Dalam pertemuan puncak di Bali, topik ini kembali dibahas dengan berbagai kesepakatan global untuk menghindari krisis pangan. Selain menjadikan pertanian dan ketahanan pangan sebagai prioritas, negara-negara G20 juga sepakat menjadikan akses pangan sebagai bagian dari hak asasi manusia.

Dunia sepakat, ketika terjadi krisis pangan tidak boleh ada negara yang menghambat akses komoditas untuk mengatasi persoalan itu. Selain itu, tidak boleh ada negara yang menetapkan kebijakan pangan yang membuat ekosistem perdagangan pangan bermasalah.

“Contohnya, kita sudah terlanjur makan gandum sangat besar di Indonesia. Kemudian ada negara sumber gandum yang menutup kemarin. Ini merusak ekosistem yang ada dan ini tidak boleh dibiarkan seperti itu,” kata Syahrul.

Perlu Kebijakan Pendukung

Peneliti Indef, Dr M Rizal Taufikurahman, optimis situasi pangan dalam negeri cukup aman tahun depan, apabila kebijakan yang ada dipertahankan, atau bahkan diperbaiki. Salah satu yang cukup baik adalah subsidi pupuk dan bantuan benih yang diberikan untuk petani.

Presiden mendorong pengembangan sorgum secara masih karena ancaman krisis pangan, khususnya gandum. (Foto: Setpres)
Presiden mendorong pengembangan sorgum secara masih karena ancaman krisis pangan, khususnya gandum. (Foto: Setpres)

“Ternyata bantuan yang selama ini diberikan oleh pemerintah punya impact positif terhadap produksi. Jadi seyogyanya itu direvitalisasi Pak Menteri. Memang perlu ditingkatkan kualitas, jangkauannya, sasarannya. Ini juga menjadi penting, plus juga mungkin manajemennya pemberian bibit atau benih,” kata Rizal.

Program kementerian untuk petani juga harus diperbaiki, sejak perencanaan, monitoring hingga evaluasi agar lebih terkontrol. Dengan semua itu, diyakini produksi sektor pertanian akan lebih baik.

Syarat lain agar keamanan pangan terjamin adalah kebijakan penyerapan produksi petani pada musim panen.

Peningkatan Produksi Memungkinkan

Sementara Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof Hermanto Siregar juga menyebar optimisme di tengah publikasi global yang cenderung memandang tahun 2023 sebagai masa suram.

Seorang petani menanam benih padi di sawah di Demak, 23 Oktober 2018. (Foto: Antara/Aji Styawan via REUTERS)
Seorang petani menanam benih padi di sawah di Demak, 23 Oktober 2018. (Foto: Antara/Aji Styawan via REUTERS)

“Indonesia, sebagai negara yang ada di daerah khatulistiwa, setiap bulan bisa melakukan penanaman. hampir di semua tempat, karena matahari terus ada, hujan terus ada. Oleh karena itu, yang diberitakan seperti akan terjadi krisis pangan, bagi Indonesia mungkin harus diubah menjadi sesuatu yang merupakan keberkahan,” tegas Hermanto.

Yang disebut berkah di tengah ancaman krisis pangan adalah potensi melakukan ekspor. Kuncinya, kata Hermanto, produksi yang saat ini sudah cukup memadai, harus ditingkatkan.

“Karena surplus yang ada itulah, yang nanti bisa membuat peranan Indonesia menjadi lebih baik di mata internasional. Karena bisa mengekspor atau mengirim ke negara-negara yang kekurangan itu,” tegasnya.

Padi siap panen di Sleman, DI Yogyakarta. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)
Padi siap panen di Sleman, DI Yogyakarta. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)

Senada dengan Rizal, Hermanto menyebut berbagai subsistem agribisnis di hulunya, misalnya bibit, pupuk hingga lahan perlu dioptimalkan. Peningkatan produksi akan menutup kebutuhan dalam negeri, dan membuka peluang ekspor dan penyerapan tenaga kerja.

Kondisi itu akan mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia di tengah situasi sulit, apalagi pertanian adalah sektor penyerap tenaga kerja terbesar. Jika dalam banyak prediksi pada tahun 2023 pertumbuhan Indonesia ada pada kisaran 4,8 persen, Hermanto yakin jika sektor pertanian baik maka bisa mendongrak angka itu hingga sedikit di atas 5 persen.

“Pertanian itu prospektif dan harus dijadikan sebagai instrumen, baik untuk mengendalikan inflasi maupun untuk mencegah pertumbuhan yang lebih rendah itu,” tambahnya.

Seorang petani di Sariharjo, Sleman, menyemprot tanaman padi. (Foto:VOA/ Nurhadi)
Seorang petani di Sariharjo, Sleman, menyemprot tanaman padi. (Foto:VOA/ Nurhadi)

Indonesia sendiri relatif mampu menjaga kebutuhan pangannya. Menurut Deputi Bidang Statistik Produksi, Badan Pusat Statistik (BPS) M. Habibullah, tahun ini Indonesia masih surplus beras.

“Secara total, potensi surplusnya adalah 1,7 juta ton,” kata dia dalam diskusi yang sama.

Sejumlah provinsi menyumbang capaian itu, yang terbesar adalah Sulawesi Selatan, diikuti oleh Jawa Tengah, Jawa Timur dan Lampung.

Namun, Indonesia adalah juga net importir untuk sejumlah komoditas lain yang membutuhkan penanganan. Empat komoditas impor utama misalnya adalah gandum, kedelai, bawang putih dan daging sapi. [ns/ab]

Forum

Recommended

XS
SM
MD
LG