Tautan-tautan Akses

Menko Polhukam: Ada Pasal UU yang Dibeli dan Dipesan


Menteri Koordinator Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD usai menggelar rapat bersama TNI, BIN dan sejumlah kementerian soal pembebasan WNI yang disandera kelompok Abu Sayyaf, di Jakarta, Selasa, 17 Desember 2019. (Foto: VOA/Sasmito)
Menteri Koordinator Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD usai menggelar rapat bersama TNI, BIN dan sejumlah kementerian soal pembebasan WNI yang disandera kelompok Abu Sayyaf, di Jakarta, Selasa, 17 Desember 2019. (Foto: VOA/Sasmito)

Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menilai proses pembuatan aturan dan penegakan hukum di Indonesia masih bermasalah.

Menko Polhukam Mahfud MD menyebut pasal-pasal yang dibuat dalam sejumlah aturan hukum seperti undang-undang atau peraturan daerah dapat dipesan dan dibeli pihak tertentu. Akibatnya, kata dia, banyak peraturan di Indonesia yang tumpang tindih karena kekacauan dalam pembuatan aturan hukum tersebut.

Karena itu, kata Mahfud, presiden akan membuat Omnibus Law untuk menyelaraskan sejumlah undang-undang atau aturan hukum yang tumpang tindih. Omnibus Law dapat diartikan sebagai membuat satu undang-undang baru untuk mengamandemen beberapa UU sekaligus.

"Ada hukum yang dibeli, pasal-pasalnya dibuat karena pesanan itu ada. UU yang dibuat karena pesanan juga ada, perda juga ada. Disponsori oleh orang tertentu, aturan tertentu. Bahkan sekarang yang dikeluhkan pemerintah itu, banyak aturan yang tumpang tindih sehingga presiden sekarang bertekad membuat omnibus law," jelas Mahfud MD di Jakarta, Kamis (19/12).

Mahfud MD menjelaskan omnibus juga akan dibuat oleh kementerian keuangan karena masih adanya tumpang tindih aturan dalam bidang perpajakan. Menurutnya, pembuatan omnibus perpajakan juga menjadi prioritas pemerintah pada tahun ini.

Selain persoalan pembuatan aturan hukum, kata Mahfud, penegakan hukum di Indonesia juga masih bermasalah. Mahfud membagi penegakan hukum tersebut menjadi dua yakni penegakan hukum di pengadilan dan pelaksanaan aturan hukum di birokrasi-birokrasi pemerintah. Menurutnya, kedua penegakan tersebut masih bermasalah karena rasa keadilan masyarakat yang kerap dikalahkan dengan formalitas hukum dan birokrasi yang koruptif.

"Birokrasi kita dianggap sangat-sangat bermasalah, pertama masih sangat koruptif, malas dan tidak produktif dan sebagainya. Dia juga sering main tipu-tipu juga, lalu ada isu terpapar," tambah Mahfud.

Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara Suwahju mengatakan proses pembuatan undang-undang di Indonesia ada di tangan pemerintah dan DPR. Karena itu, kata dia, jual beli pasal semestinya dapat dicegah pemerintah sebagai salah satu pembuat undang-undang. Selain itu, ia juga mendorong Mahfud MD membuka undang-undang dan peraturan daerah yang diketahuinya lahir dari proses jual beli pasal.

"Ini kan membuka borok sendiri. Kan pesanan itu bisa berfungsi dua yakni positif dan negatif. Nah mungkin yang dimaksud ini adalah yang negatif," kata Anggara saat dihubungi VOA, Kamis (19/12).

Anggara juga tidak setuju dengan rencana pemerintah membuat Omnibus Law. Menurutnya pemerintah cukup menyederhanakan aturan hukum yang banyak di Indonesia dengan satu aturan hukum yang detail. Misalnya pada level nasional, cukup peraturan pemerintah, tanpa perlu membuat lagi peraturan menteri dan aturan turunan lainnya. Sedangkan di daerah, cukup peraturan daerah, tanpa perlu ada lagi peraturan gubernur, peraturan bupati atau wali kota.

"Jenis peraturan kita itu banyak sekali, berdasarkan jabatan. Ada UUD, ada TAP MPR, ada UU atau Perppu, ada PP, Perpres, Perda, peraturan menteri dan lembaga segala macam," imbuhnya.

Ia menambahkan konsep Omnibus Law juga tidak cocok dengan sistem politik Indonesia yang pembuat undang-undangnya adalah DPR dan pemerintah, sedangkan konsep Omnibus Law berasal dari negara yang sistem politik atau pembuat undang-undangnya hanya dari DPR, seperti di Amerika Serikat. [lt/ab]

Recommended

XS
SM
MD
LG