Tautan-tautan Akses

Menengok Gang Dolly yang Kehilangan Gairahnya


Gang Dolly berdiri di Jalan Kupang Gunung Timur
Gang Dolly berdiri di Jalan Kupang Gunung Timur

Sebelum 2014, Gang Dolly di Surabaya, Jawa Timur, menjadi primadona bagi pria dewasa yang berhasrat untuk sekedar plesir sesaat. Konon, Gang Dolly pernah menjadi kawasan prostitusi terbesar di Asia Tenggara. Tak heran jika pesona Dolly menyihir tidak saja warga lokal, tetapi juga tamu-tamu dari luar kota dan mancanegara.

Berbagai wisma -- sebutan untuk tempat lokalisasi di Dolly -- berderet sepanjang jalan. Yang paling terkenal dan menonjol adalah Wisma Barbara. Bagaimana tidak, Barbara berdiri paling tinggi menjulang di balik tembok-tembok perumahan warga di gang-gang sempit sepanjang Dolly. Dengan tinggi enam lantai dan dilengkapi dengan lift, Barbara sering disebut warga setempat sebagai wisma dengan servis termahal.

Wisma Barbara di Gang Dolly
Wisma Barbara di Gang Dolly

Ida, seorang warga yang sudah setengah abad tinggal di gang itu, berkisah bagaimana ramainya Dolly dulu. “Apalagi kalo lagi [kapal] sandar di pelabuhan, turis-turisnya juga ke sini. Sampe masuk ke kampung-kampung juga, salah jalan ‘mister mau kemana? Oh yes’ haha, ” cerita Ida.

Warga dan PSK berkumpul memprotes penutupan Dolly
Warga dan PSK berkumpul memprotes penutupan Dolly
Aksi protes warga Surabaya yamg kontra dengan kehadiran Dolly
Aksi protes warga Surabaya yamg kontra dengan kehadiran Dolly

Namun pemandangan Gang Dolly kini berubah 180 derajat setelah Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini pada 2014 memutuskan untuk menutup kawasan itu dan membersihkan prostitusi.

Meski terbilang berhasil mengubah Dolly, penutupan gang yang memiliki nama asli Jalan Kupang Gunung Timur itu bukannya tanpa tantangan. Pada hari penutupan, Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya mendapat perlawanan dari ratusan serikat warga dan PSK yang menentang keputusan itu. Alasannya satu. Mereka kehilangan satu-satunya mata pencaharian.

Dari Lokalisasi jadi Pusat Wisata

Dolly kini tidak sebergairah dulu. Saat VOA menyambangi lokasi ini, jalanan sedang diperbaiki. Beberapa gedung bekas lokalisasi masih berdiri. Namun terbengkalai dan lusuh dengan plang ‘dijual’ terpasang. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, Pemkot Surabaya telah membangun beberapa taman ramah anak. Beberapa wisma bahkan sudah dibeli langsung oleh pemkot. Salah satu proyek terdekat, yakni membangun pasar burung.

Ruang terbuka ramah anak di Dolly
Ruang terbuka ramah anak di Dolly

Ery Cahyadi, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya, memaparkan pembangunan pasar burung itu adalah upaya membuka lapangan kerja baru untuk warga Dolly yang kehilangan pekerjaan akibat penutupan bisnis 'esek-esek' itu. Misalnya, seperti para juru parkir dan petugas pengamanan di wisma-wisma.

“Yang perlu kita pikirkan ketika kita menutup sebuah lokalisasi adalah bagaimana membuat tempat tersebut jadi tempat wisata. Di sana itu terkenal lomba burungnya. Orang Surabaya pasti suka ngumpul burung, pertandingan suara terenak,” jelas Ery Cahyadi saat ditemui VOA di tengah kegiatannya.

Beberapa wisma di Dolly dibeli pemkot untuk diahlifungsikan. Wisma Barbara tak terkecuali. Pemkot membeli bangunan itu seharga Rp 9 miliar. Gedung megah itu kini disulap menjadi pusat pelatihan dan penjualan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) yang memproduksi tas, sepatu, sandal, dan sandal hotel. Ida adalah salah satu pekerjanya. Sebelumnya, Ida hanya warga biasa yang mengurus rumah tangga sampai akhirnya bergabung ke program ini dari awal dibentuk.

“Ini dibentuk seperti Yogja, Bali gitu lho. Jadi wisata UKM-UKM. Jadi kalau ada turis itu bisa beli suvenir di sini, gitu lho,” kata Ida.

Menurutnya, tempat pelatihan UMKM itu sebenarnya dibuat untuk menampung para pekerja seks komersial yang berhenti bekerja karena penutupan kawasan.

“Tetapi tidak ada yang mau. Dulu ada satu-dua yang mau. Kalau saya kan warga terdampak. Akhirnya dilempar (tawaran kerjanya) ke warga terdampak,” cerita Ida.

Wisma Barbara yang kini jadi pusat pelatihan dan penjualan UMKM
Wisma Barbara yang kini jadi pusat pelatihan dan penjualan UMKM

Bagi Ida dan para warga terdampak lainnya, bekerja di pusat UMKM ini sudah seperti rumah kedua sembari meraup pendapatan tambahan. Ida terlebih dahulu menjalani pelatihan selama sebulan. Baru kemudian mulai membuat ratusan pesanan sandal hotel. Pekerjaan itu dilakukan enam hari dalam seminggu, mulai Senin hingga Sabtu. Dalam sehari, Ida bisa membuat 500 pasang sandal dengan upah Rp 200 rupiah pasang.

Selain upaya pemugaran oleh pemerintah, bangunan bekas wisma lainnya di Dolly beralihfungsi secara alami menjadi berbagai tempat usaha, misalnya rumah kos. Salah satu warga mengontrak salah satu tempat bekas wisma untuk usaha isi ulang air. Harga sewa bangunan yang tidak kecil itu relatif murah. Berkisar antara Rp 15-Rp 20 juta setahun.

Dampak Penutupan Dolly Dirasakan Warga Lain

Iktikad baik Pemkot Surabaya untuk mengkaryakan para eks PSK Dolly tidak membuahkan hasil. Mereka menolak untuk mengikuti program yang disediakan pemerintah. Sebagian warga menyebut mereka masih melanjutkan praktiknya di lokasi berbeda.

“Ya sebenarnya masih ada, mas. Pindah ke kos-kos gitu. Jadi online,” tukas Ida.

Petugas parkir dan petugas pengaman Dolly yang juga menjadi sasaran pemerintah, tidak tertarik berpartisipasi. Hasil yang ditawarkan tidak sebanding dengan apa yang mereka telah peroleh pada masa jaya Dolly

Yani pedagang dan warga terdampak di Gang Dolly
Yani pedagang dan warga terdampak di Gang Dolly

Seperti Yani, yang telah lebih dari dua dekade menjalankan warung miliknya dengan memanfaatkan keramaian Dolly. Ia sempat memanfaatkan lahan dan menarik keuntungan parkir kendaraan bermotor disamping usaha warung kecilnya. Berkat usahanya tersebut ia sudah berhasil menyekolahkan keempat anaknya bahkan hingga ke jenjang perkuliahan.

Pada hari-hari sibuk, seperti akhir pekan, lahan parkir dadakan milik Yani bisa menampung 50 sepeda motor. Dengan tarif parkir Rp 5.000 per sepeda, Yani bisa mengantongi Rp 800 ribu hingga Rp 1 juta di akhir pekan.

“Kalau hari-hari biasa, ya, 300 ribu. Kalo kayak dulu kan, cewek-ceweknya beli minum kaya gini kan 5.000, wes ga susuk (tidak minta kembalian). Makan 15 ribu 20 ribu. Tapi kan sekarang cewek-ceweknya sudah tidak ada,” tutur Yani.

Yani mengaku mengetahui ada program kompensasi pemerintah untuk warga terdampak seperti dia. Namun dia menolak berpartisipasi karena upah kerja yang minim. Meski kini hanya bisa mengumpulkan rata-rata 50 ribu hingga 300 ribu sehari, Yani memilih menerima nasib. Dia tetap melanjutkan berdagang di warung kecilnya yang sekarang berdiri tepat di depan tempat pengajian Alquran bekas tempat lokalisasi.

“Dibilang sedih ya sedih, dibilang senang ya senang, mas. Namanya juga rakyat kecil. Ya kita bisa buat apa,” ujar Yani. [rw/fw]

Recommended

XS
SM
MD
LG