Tautan-tautan Akses

Menang $15 Ribu, Sutradara Berdarah Indonesia Garap Film Pendek di AS


Sutradara berdarah Indonesia, Soma Helmi, di AS menggarap film pendek "Full Service" yang mengangkat tema Indonesia (dok: Soma Helmi)
Sutradara berdarah Indonesia, Soma Helmi, di AS menggarap film pendek "Full Service" yang mengangkat tema Indonesia (dok: Soma Helmi)

Sutradara berdarah Indonesia, Soma Helmi, di Los Angeles, California berhasil memenangkan dana $15 ribu dari kompetisi 'Julia S. Gouw Short Film Challenge.' Ia lalu menggarap film "Full Service" yang mengangkat tema Indonesia, yang seluruh bintangnya adalah aktor Amerika keturunan Indonesia.

Sutradara berdarah Indonesia, Soma Helmi di Los Angeles, California belum lama ini terpilih menjadi salah satu pemenang kompetisi 'Julia S. Gouw Short Film Challenge' di Amerika Serikat.

Kompetisi ini diselenggarakan oleh organisasi nirlaba Coalition of Asian Pacifics in Entertainment (CAPE) di Amerika Serikat yang mendukung sineas keturunan Asia Amerika dan kepulauan Pasifik, beserta Janet Yang Productions, yang didirikan oleh Janet Yang, produser film sekaligus presiden dari Academy of Motion Picture Arts and Sciences, yaitu pihak penyelenggara ajang Academy Awards atau Oscars.

Kompetisi yang khusus dibuka bagi para sineas perempuan Amerika keturunan Asia atau kepulauan Pasifik, juga sineas non-biner ini ikut didanai oleh diaspora Indonesia, Julia Suryapranata Gouw, yang adalah dewan pengawas untuk Academy Museum of Motion Pictures di Amerika Serikat.

“(Janet Yang) dan Julia (Gouw) suatu hari membahas (cara) untuk melakukan lebih banyak lagi untuk sineas perempuan dan non-biner. Mereka menyusun rencana ini dan mendatangi kami,” ujar Michelle K. Sugihara, direktur eksekutif CAPE di Los Angeles, California kepada VOA.

Michelle Sugihara menambahkan, mereka berpikir bagaimana jika seorang sineas tidak memiliki kesempatan atau biaya untuk menggarap film. Menurutnya kendala ini akan mempersulit para sineas dalam berkarya, menunjukkan karya mereka ke berbagai festival, dan memenangkan penghargaan.

"Kompetisi ini menyediakan biaya produksi, bantuan, dan bimbingan (agar mereka bisa berkarya). Inilah hal yang terpenting," kata Michelle.

(ki-ka) Julia Gouw, Janet Yang, Soma Helmi, Michelle Sugihara (dok: Julia Gouw)
(ki-ka) Julia Gouw, Janet Yang, Soma Helmi, Michelle Sugihara (dok: Julia Gouw)

Empat pemenang, yang terdiri dari Soma Helmi, Banban Cheng, Liz Sargent, dan Ragini Bhasin, berhasil terpilih dari sekitar 500 orang yang mendaftarkan naskah mereka.

Keempat pemenang ini masing-masing kemudian diberi dana $15 ribu atau setara dengan sekitar Rp234 juta, untuk menggarap film pendek mereka.

Selain mendapat kesempatan untuk berjejaring dengan produser Hollywood pemenang penghargaan Golden Globe dan Emmy, Janet Yang, keempat sineas ini, juga mendapat peluang untuk memasukkan film mereka ke berbagai festival dan menawarkannya ke calon pembeli film.

Kurangnya Representasi Perempuan Asia

Janet Yang menyadari bahwa jumlah perempuan Asia masih kurang terepresentasikan. Inilah yang juga mendorongnya untuk membuat kompetisi ini.

“Terkait dengan orang Asia, sering kali yang (terlihat) adalah pria dan kami hanya menyampaikan apa yang dapat kami lakukan untuk membantu hal ini, dimulai di industri hiburan, salah satu area yang paling terlihat," jelas Janet Yang kepada VOA.

"Kami berpikir, bagaimana menceritakan lebih banyak cerita dari perempuan Asia, untuk perempuan Asia, dengan perempuan Asia,” tambahnya.

Julia Gouw, dewan pengawas untuk Academy Museum of Motion Pictures (dok: Julia Gouw)
Julia Gouw, dewan pengawas untuk Academy Museum of Motion Pictures (dok: Julia Gouw)

Julia Gouw mengatakan ia sangat bersemangat untuk membantu khususnya generasi perempuan Amerika keturunan Asia selanjutnya, agar mereka mengalami kesetaraan dalam hal kepemimpinan di perusahaan, korporasi, sebagai pengusaha dan juga di pemerintahan.

“Dengan fokus pada perempuan AAPI (Asian American and Pacific Islander -red) (dan menampilkan) perempuan sebagai pemimpin, pada akhirnya masyarakat Amerika akan menerima dan memberikan kesempatan, khususnya kepada generasi perempuan Amerika selanjutnya, bahwa mereka bisa menjadi pemimpin,” jelasnya kepada VOA.

Angkat Indonesia dalam “Full Service”

Berbekal dana $15 ribu, Soma Helmi lalu menggarap film pendek bertajuk “Full Service,” yang seluruh pemainnya adalah keturunan Indonesia.

Film berdurasi kurang dari 10 menit ini bercerita tentang seorang perempuan bernama Sylvie yang menyewa escort atau sosok yang berpura-pura menjadi pacar, untuk diajak ke pesta pertunangan sepupunya. Pasalnya, ia melakukan ini, karena lelah akan berbagai pertanyaan yang dilontarkan oleh bibi-bibinya mengenai kehidupan percintaannya.

Sutradara berdarah Indonesia, Soma Helmi, di AS menggarap film pendek "Full Service" yang mengangkat tema Indonesia (dok: Soma Helmi)
Sutradara berdarah Indonesia, Soma Helmi, di AS menggarap film pendek "Full Service" yang mengangkat tema Indonesia (dok: Soma Helmi)

“Film ini bertema komedi romantis,” jelas Soma Helmi kepada VOA belum lama ini.

“Inspirasinya berasal dari banyak percakapan dengan teman-teman saya yang orang Amerika keturunan Indonesia di (Amerika) dan di Jakarta, mengenai beberapa ekspektasi dan saya rasa tentang beberapa hal yang lebih spesifik yang dialami oleh orang-orang Indonesia, ekspektasi tentang kehidupan romantis Anda dan yang terjadi kedepannya,” tambahnya.

Bagi Soma yang terlahir dari ayah kelahiran Indonesia dan ibu yang berasal dari Polandia, sangatlah penting untuk mengangkat tema Indonesia ke dalam karyanya, karena Indonesia adalah bagian besar dari identitasnya.

Film “Full Service” menampilkan sederetan bintang keturunan Indonesia yang berkarir di Amerika Serikat, seperti Yoshi Sudarso yang terkenal lewat serial televisi ‘"Power Rangers" dan film “Buffalo Boys,” Michele Selene Ang, yang pernah tampil dalam serial layanan streaming Netflix, “13 Reasons Why," dan aktris Savira Windyani yang bermain dalam serial layanan streaming Netflix, "Boo, Bitch."

Tampilkan Bahasa Indonesia

Menurut Soma, salah satu hal yang paling menyenangkan saat menggarap film ini, khususnya di luar Indonesia, adalah ia bisa berbicara menggunakan bahasa Indonesia dengan para aktornya di lokasi syuting, di mana tidak semua krunya bisa berbahasa Indonesia.

“Kami bisa secara bebas membahas seputar karakternya. Khususnya, Yoshi dan saya, ketika kami sedang mengerjakan beberapa hal bersama, saya bisa memberinya catatan dalam bahasa Indonesia. Sangat menyenangkan, karena ini seperti hal pribadi, tapi saya tetap melakukannya di lokasi syuting,” kata sutradara yang juga pernah bekerja sama dengan aktris Tania Gunadi dan Lulu Antariksa di AS ini.

Tidak hanya berbicara menggunakan bahasa Indonesia dengan para aktornya, Soma bahkan memasukkan beberapa dialog dengan bahasa Indonesia dalam filmnya untuk membuat ceritanya menjadi lebih otentik.

"Kita sangat jarang melihat bahasa Indonesia diucapkan di layar (baik) di media barat atau di luar Indonesia, terutama dari Hollywood atau Los Angeles," jelas Soma.

"Jadi saya benar-benar ingin menampilkannya, karena saya ingin (film) itu terasa otentik. Kita semua berbicara sedikit bahasa Inggris dan sedikit bahasa Indonesia, terutama ketika kita tinggal di luar Indonesia," tambahnya.

Kissy Truchanowicz, salah seorang pemain di film pendek "Full Service." (dok: Kissy Truchanowicz)
Kissy Truchanowicz, salah seorang pemain di film pendek "Full Service." (dok: Kissy Truchanowicz)

Bagi diaspora Indonesia, Kissy Truchanowicz yang memerankan tokoh salah seorang bibi dari Sylvie, keterlibatannya dalam film “Full Service” ini “merupakan pengalaman yang berharga dan menyenangkan baginya.”

Ini adalah pertama kalinya Kissy terlibat dalam penggarapan film bersama aktor dan sutradara yang berdarah Indonesia di Amerika.

“Rasanya waktu syuting itu seperti saya di Jakarta. Kateringnya pun masakan Indonesia dan kita ngomong bahasa Indonesia,” ujar Kissy Truchanowicz kepada VOA.

Lokasi penggarapan film "Full Service" (dok: Kissy Truchanowicz )
Lokasi penggarapan film "Full Service" (dok: Kissy Truchanowicz )

Kissy yang tinggal di New York merasa sangat beruntung bisa bertemu dengan aktor-aktor berbakat berdarah Indonesia lain yang tinggal di bagian barat Amerika. Menurut Kissy, cerita dalam film ini bagus dan sangat mengena di hatinya.

“Bukan karena saya main di film ini,” kata Kissy sambil bercanda.

“(Ceritanya) lucu dan iseng. Dia menyentil hal-hal yang dialami oleh sebagian masyarakat Indonesia pada umumnya, yaitu kalau lagi di pesta keluarga selalu saja ada anggota keluarga lain yang pengin tahu urusan kita. 'Kapan kawin? Kapan punya anak? Kapan pacaran? Kapan kuliah? Ini siapa? Itu siapa? Kenalin dong.’ Sangat mengena di hati saya, karena saya juga mengalaminya,” tambahnya.

Keterlibatan Kissy dalam film ini merupakan pengalaman unik yang sangat berharga baginya, khususnya ketika bisa bekerja sama dengan orang-orang Indonesia di Amerika.

“Saya berharap bahwa masyarakat Indonesia talent-talent Indonesia di Amerika atau negara lain bisa berkumpul dan membuat sesuatu (yang) berharga seperti ‘Full Service,’ yang natinya bisa dinikmati oleh khalayak asing dan masyarakat Indonesia," ujarnya lagi.

Menurut Soma, kemenangan ini bagaikan sebuah pengakuan bahwa caranya bercerita, khususnya ketika mengangkat kisah warga Amerika keturunan Asia atau Indonesia ke layar lebar adalah hal yang penting.

Tidak hanya itu, kompetisi ini telah membuka kesempatan baginya untuk berjejaring dengan lebih banyak lagi sineas keturunan Indonesia di Los Angeles, juga aktor-aktor di seluruh Amerika Serikat, hingga Kanada.

“Saat proses pemilihan aktor berlangsung, kami bisa memberi tahu lebih banyak orang lagi di seluruh amerika. Kami menerima rekaman video dari (aktor) di Kanada dan ini merupakan pengalaman emosional yang luar biasa, karena orang-orang yang mengirimkan rekaman videonya kami minta untuk bercerita sedikit tentang ikatan mereka dengan Indonesia, dan beberapa dari mereka menjadi sangat emosional,” cerita Soma.

Para bintang dalam film "Full Service" (dok: Kissy Truchanowicz)
Para bintang dalam film "Full Service" (dok: Kissy Truchanowicz)

"Full Service" Versi Panjang

Untuk kedepannya, Soma akan mencoba untuk memasukkan film pendeknya ini ke berbagai festival dan juga membuat film ini dalam versi durasi yang panjang.

“Menurut saya ada banyak minat, terutama untuk cerita-cerita yang mengandung kebudayaan yang spesifik. Jadi sangat penting kalau Anda menulis cerita-cerita seperti itu dan menggarapnya menjadi film, karena orang-orang perlu menontonnya,” lanjut Soma.

Saat ini kompetisi Julia S. Gouw Short Film Challenge telah dibuka kembali untuk naskah film pendek live-action atau nyata, atau juga animasi yang menampilkan tokoh utama perempuan atau non-biner keturunan Asia dan Kepulauan Pasifik. Kali ini, empat pemenang yang nanti terpilih akan dihadiahi dana yang lebih besar, yang mencapai $25 ribu atau setara dengan Rp390 juta.

Melalui kompetisi ini, Julia Gouw berharap, suatu hari nanti warga Amerika keturunan Asia, termasuk yang perempuan bisa mendapatkan kesempatan yang sama seperti kelompok yang lain.

[di/aa]

Forum

XS
SM
MD
LG