Tautan-tautan Akses

Media Sosial Dinilai Ikut Bertanggung Jawab dalam Penyerbuan Kongres


Para pendukung Presiden Donald Trump menyerbu Gedung Capitol pada aksi protes yang berakhir dengan kerusuhan di Washington DC (6/1).
Para pendukung Presiden Donald Trump menyerbu Gedung Capitol pada aksi protes yang berakhir dengan kerusuhan di Washington DC (6/1).

Serangan atas gedung Kongres di Washington DC kembali memicu kecaman terhadap media sosial dan dugaan perannya dalam menghasut kekerasan. Meskipun Facebook dan Twitter telah memblokir akun Presiden Trump, tetap ada pertanyaan tentang peran yang seharusnya dimainkan media sosial secara lebih sehat.

Penyerbuan gedung Kongres AS oleh para pendukung Presiden Trump hari Rabu 6 Januari lalu terjadi setelah pernyataan Presiden Donald Trump dan lainnya di media sosial, yang dinilai ikut memanas-manasi situasi. Facebook adalah salah satu wadahnya.

Jesse Lehrich, wakil pendiri Accountable Tech mengatakan, "Ketika tiga miliar orang berada di sebuah platform yang memungkinkan keterlibatan secara maksimal tanpa pengawasan dari pemerintah, begitulah jadinya."

Perusahaan media sosial raksasa seperti Facebook, Twitter, dan Snap menanggapi penyerbuan gedung Kongres itu dengan menangguhkan atau langsung memblokir akun Presiden Trump dan beberapa pendukungnya. Ada upaya untuk menghapus ungkapan-ungkapan yang digunakan sebelumnya, seperti "hentikan pencurian (hasil pemilu)", sebuah hasutan yang ditujukan kepada mereka yang beranggapan bahwa Trump benar-benar telah memenangkan pemilu presiden dan bahwa ia telah dicurangi.

Amazon Web Services, web yang menjadi wadah bagi Parler – sebuah pilihan media komunikasi untuk kelompok konservatif selain Twitter – telah memblokir aplikasi itu dari layanannya. Sementara Google dan Apple menghapus menghapus fasilitas pengunduhan aplikasi Parler dari app store-nya.

Mereka yang kehilangan media komunikasi itu mengecam langkah tersebut. Sementara sebagian pihak lainnya mengatakan langkah pemblokiran ini terlambat dan tidak cukup.

Kini muncul seruan baru untuk menyusun undang-undang yang mengatur pengungkapan pendapat di Internet dan tekana untuk mengurangi kekuatan yang dimiliki perusahaan teknologi.

Para pakar mengatakan setelah terjadinya apa yang disebut “deplatforming" atau langkah pengekangan baik oleh individu, kelompok, maupun organisasi yang bertujuan menghentikan pembicara atau ungkapan yang kontroversial; diperlukan lebih banyak perhatian pada isu ini.

Pakar teknologi komputer di Elon University, Megan Squire, yang mempelajari aktivitas online kelompok ekstremis mengatakan, “Itulah fase yang kini kita hadapi dan bisa sangat berbahaya jika kita tidak memperlakukan hal itu secara serius. Tidak cukup dengan sekedar mengabaikan orang-orang ini dan mengatakan: Ya, mereka sudah tidak ada di platform saya lagi.”

"Apa yang terjadi selanjutnya bisa diramalkan, " tambah Squire.

Perpindahan ke situs alternatif atau "alt-tech" seperti Telegram telah melonjak akibat kebijakan pemblokiran oleh para pelaku media sosial utama.

“Beberapa saluran yang saya amati berkembang hingga 100 sampai 200 persen,” ujarnya.

Selagi AS masih mencermati kekacauan di ibu kota negara ini, masa depan untuk menyampaikan pendapat secara online masih menjadi pertanyaan besar. [ps/jm]

XS
SM
MD
LG