Tautan-tautan Akses

Manusia Merasa ‘Terusik’, Perlukah Harimau Sumatera Ditranslokasi?


Jae-Jae, Harimau Sumatera di kebun Binatang ZSL London, Inggris, 23 Agustus 2018. (REUTERS/Henry Nicholls).
Jae-Jae, Harimau Sumatera di kebun Binatang ZSL London, Inggris, 23 Agustus 2018. (REUTERS/Henry Nicholls).

Konflik harimau Sumatera dengan manusia kembali terjadi di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara (Sumut). Dalam kurun waktu dua bulan terakhir, sedikitnya 11 hewan ternak milik warga diterkam harimau Sumatera. Permintaan warga untuk translokasi harimau Sumatera itu pun mencuat. Namun, apakah translokasi menjadi kunci untuk mengakhiri konflik harimau dengan manusia di kawasan tersebut?

Berdasarkan catatan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sumut, telah terjadi konflik harimau Sumatera dengan manusia di Kabupaten Langkat, tepatnya di Kecamatan Besitang dan Bahorok sebanyak lima kali sejak Desember 2020 hingga saat ini. Akibatnya, belasan hewan ternak seperti sapi milik masyarakat dimangsa harimau Sumatera. Kepala BBKSDA Sumut, Hotmauli Sianturi mengatakan atas kejadian itu masyarakat mendesak agar harimau tersebut ditranslokasi atau dipindahkan ke kawasan lain.

BBKSDA Sumut pun memasang dua kandang jebak untuk menangkap harimau Sumatera yang nantinya akan ditranslokasi.

“Kemarin situasi sempat memanas ada nada ancaman dari masyarakat kalau tidak ditranslokasi akan meracuni harimau. Kami tetap berpikir untuk keselamatan harimau juga, jadi untuk saat ini karena situasinya sedikit memanas terpaksa opsinya ditranslokasi,” katanya saat ditemui VOA di Medan, Senin (11/1).

Manusia Merasa ‘Terusik’, Perlukah Harimau Sumatera Ditranslokasi?
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:02:44 0:00

Lanjut Hotmauli, dalam melakukan translokasi harimau ada beberapa aspek yang harus diperhatikan. Salah satunya kondisi harimau Sumatera harus benar-benar dalam keadaan sehat.

“Rencana kami sepanjang harimaunya sehat begitu dapat akan ditranslokasi dan dilepasliarkan ke kawasan TNGL,” ujarnya.

Perilaku Masyarakat Berubah, Konflik Tak Terhindarkan

Konflik harimau Sumatera dengan manusia di kawasan itu mulanya terjadi pada saat ada perubahan perilaku masyarakat setempat. Awalnya masyarakat hanya berkebun. Namun, lambat laun beternak menjadi pola baru masyarakat untuk mendongkrak perekonomian selain berkebun.

Sayangnya, kawasan yang dijadikan masyarakat untuk melepas hewan ternaknya merupakan area jelajah dari harimau Sumatera. Kawasan itu berbatasan langsung dengan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) yang diketahui merupakan habitat dari harimau Sumatera.

Hewan ternak milik warga yang dimangsa harimau Sumatera di Kecamatan Bahorok, Kabupaten Langkat, Sumut, Senin 11 Januari 2021. (Courtesy: BBKSDA Sumut).
Hewan ternak milik warga yang dimangsa harimau Sumatera di Kecamatan Bahorok, Kabupaten Langkat, Sumut, Senin 11 Januari 2021. (Courtesy: BBKSDA Sumut).

Hotmauli menjelaskan, selama ini masyarakat memelihara hewan ternak namun tidak memiliki kandang. Hewan-hewan ternak itu dibiarkan begitu saja dilepas di kawasan hutan yang merupakan wilayah jelajah dari harimau Sumatera.

“Dulu tidak terjadi di sana walaupun itu (hutan) telah terkonversi menjadi kebun sawit atau karet. Tapi tidak terjadi konflik karena masyarakat belum beternak. Sekarang masyarakat ada ternak sapi dan celakanya ternak sapi ini tidak pakai kandang. Sekarang lagi marak punya ternak sapi tapi dibiarkan saja di kawasan itu bahkan ada yang diikat di pohon sawit. Nah, harimau malam-malam dia akan mencari mangsa atau berburu, dilihat ada mangsa ya diterkam,” jelasnya.

Translokasi Jadi Solusi?

Translokasi mungkin menjadi pilihan sementara guna mencegah terjadinya konflik harimau Sumatera dengan manusia. Namun, konflik itu masih akan terus terjadi apabila masyarakat tidak mengubah pola dalam memelihara hewan ternaknya. Masyarakat pun diminta untuk tak lagi melepas begitu saja hewan ternaknya di kawasan hutan penyangga dari TNGL.

“Sepanjang mereka tetap beternak dan tidak dikandangi ini akan terus berulang terjadi. Kalau pun ingin beternak jangan terlalu masuk ke dalam hutan dan harus ada kandang. Sekarang karena lagi marak harimau turun jangan beraktivitas terlalu pagi atau sore dan usahakan berkelompok jangan sendiri.

Kalau ada tanda-tanda harimau jangan bertindak sendiri, hubungi BBKSDA Sumut supaya tepat penanganannya,” ucap Hotmauli.

Sementara, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumut, Doni Latuparisa mengatakan translokasi harimau Sumatera merupakan pilihan tepat karena berkaitan dengan keselamatan masyarakat dan satwa itu sendiri.

“Tapi di samping itu juga perlu diperhatikan bahwa sebelum melakukan translokasi perlu diidentifikasi penyebab dari akar permasalahan konflik satwa dengan manusia,” katanya saat dihubungi VOA.

Meski kawasan yang dijadikan masyarakat untuk melepas hewan-hewan ternak merupakan wilayah jelajah harimau. Namun menurut Doni, perlu diketahui faktor penyebab harimau Sumatera itu turun mendekati kawasan masyarakat.

Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) di Kabupaten Langkat, Sumut, yang tertangkap kamera pengintai sedang memangsa hewan ternak milik warga, Jumat 25 Desember 2020. (Courtesy: BBKSDA Sumut).
Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) di Kabupaten Langkat, Sumut, yang tertangkap kamera pengintai sedang memangsa hewan ternak milik warga, Jumat 25 Desember 2020. (Courtesy: BBKSDA Sumut).

“Bukan salah masyarakat ketika melepas hewan ternak di dalam kawasan hutan tapi justru karena ini anomali. Ada kerusakan hutan di hulu yang perlu diinvestigasi lebih dalam dan kami sedang melakukan itu. Kami sedang akan melakukan investigasi lebih dalam penyebab dari kerusakan di hulu hutan yang membuat satwa turun ke wilayah masyarakat,” ungkapnya.

Aktivis satwa dan lingkungan, Manohara Odelia Pinot mengatakan kepada VOA, dalam kasus yang tepat translokasi dapat sangat membantu. Ia mencontohkan dalam sebuah studi kasus seperti translokasi serigala dari Kanada ke Taman Nasional Yellowstone di Amerika Serikat. Translokasi mampu menyelamatkan satwa ketika berada dalam keadaan terancam.

Namun, pada saat dilakukan translokasi juga harus memperhatikan habitat baru yang aman dan tidak mengancam keberlangsungan hidup satwa.

“Sebagai manusia kita harus berhati-hati ketika memperkenalkan spesies (ke habitat baru) tidak merusak flora dan fauna lokal atau berbahaya bagi hewan itu sendiri,” ucap Manohara. [aa/em]

Recommended

XS
SM
MD
LG