Tautan-tautan Akses

Mantan PM GAM: Pelaksanaan MoU Helsinki Belum Tuntas


Pemerintah Indonesia masih memiliki PR terkait masalah Aceh. Demikian menurut mantan Perdana Menteri GAM, Malik Mahmud.
Pemerintah Indonesia masih memiliki PR terkait masalah Aceh. Demikian menurut mantan Perdana Menteri GAM, Malik Mahmud.

Meski sudah lima tahun berlalu, mantan Perdana Menteri GAM Malik Mahmud mengatakan pemerintah belum merealisasikan sejumlah hasil kesepakatan Helsinki.

Mantan Perdana Menteri Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Malik Mahmud mengakui masih ada sejumlah persoalan yang mengganjal, terkait penerapan Undang-Undang Pemerintahan Aceh. Namun, Mahmud menolak merinci lebih jauh, persoalan apa yang dimaksud, apakah menyangkut keamanan atau belum terbentuknya pengadilan HAM di Aceh. Ia hanya meminta seluruh masyarakat Indonesia mendukung perdamaian Aceh, yang tahun ini genap berusia lima tahun.

Malik Mahmud menyampaikan hal ini pada perayaan lima tahun penandatanganan Nota Kesepahaman Damai (MoU) Helsinki , di Jakarta Minggu malam.

“Kami harap semua pihak, dari pemerintah, juga rakyat semuanya menyokong perdamaian itu. Juga kami harap apa yang belum dipenuhi dalam MoU Helnsinki itu hendaklah dipenuhilah. Ada (memang) beberapa persoalan, saya tidak perlu bicarakan di sini,” kata Malik Mahmud.

Ia mengambil contoh ada beberapa hal yang tidak sinkron dalam UU Pemerintahan Aceh. Tetapi ia menolak menjawab apakah yang dimaksud adalah masalah KKR (Komite Kebenaran dan Rekonsiliasi), salah satu butir dalam MoU Helsinki yang wajib dibentuk pemerintah Indonesia.

Menanggapi adanya kamp teroris di Aceh, ia beranggapan itu merupakan elemen yang datang dari luar Aceh. Ia tidak menginginkan citra Aceh yang sudah damai akan rusak karena masalah tersebut.

Sementara itu, mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, menilai sebagian besar konflik bersenjata di Indonesia bermula dari tidak adanya keadilan sosial, ekonomi, dan politik, akibat pengaturan sumber daya alam yang kurang baik. Oleh sebab itu, kebijakan mendasar tentang pengelolaan sumber daya alam harus segera diperbaiki, agar konflik serupa tidak perlu terulang di wilayah lain.

Jusuf Kalla adalah salah satu juru runding damai antara pemerintah Indonesia dan GAM, yang disepakati pada 15 Agustus 2005. Menurutnya, “Kita tidak bisa hanya berpikir. Di Kalimantan, rakyat bertanya kemana batubara dan kayu-kayu kita, apa yang kita peroleh. Kita tidak ingin lagi ada MoU-MoU berikutnya untuk menyelesaikan konflik.”

Kalla berpendapat harus ada kebijakan mendasar yang merujuk pada UUD ’45 dalam masalah keadilan sosial, politik, dan ekonomi. Sehingga tidak ada yang mempertanyakan ke mana perginya hasil tambang daerah, seperti yang terjadi di Papua.

Pengamat dari International Crisis Group, Sidney Jones, meyampaikan kepada VOA tanggapannya atas pernyataan Kalla, dengan mengatakan masalah utama dari konflik di Indonesia adalah politik. Ia menilai kecil kemungkinan konflik bersenjata akan muncul lagi di Aceh. Namun, pemerintah Indonesia perlu memegang komitmen sesuai kesepakatan di Helsinki, yaitu membentuk Komite Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) serta Pengadilan HAM untuk Provinsi Aceh.

Jones berpendapat, pemerintah pusat dan daerah harus memastikan kapan mandat Komite Peralihan Aceh (KPA) selesai. Ini penting agar perdamaian tidak diganggu oleh orang-orang mantan GAM yang bermasalah. Jones bertanya, “Saya kira ada beberapa masalah dengan lembaga KPA, itu lembaga transisi tapi kapan selesai mandatnya?”.

Menurut Jones, mantan anggota GAM yang kembali melakukan kegiatan kriminal juga perlu diwaspadai. Ia menekankan, ini menjadi pekerjaan rumah baik bagi pemerintah Indonesia dan GAM.

XS
SM
MD
LG