Tautan-tautan Akses

Mahkamah Konstitusi: Sistem Pemilu Tetap Proporsional Terbuka


Warga menyaksikan petugas penyelenggara pemilu menunjukkan surat suara saat penghitungan suara di TPS di Jakarta, 9 April 2014. (Foto: REUTERS/Beawiharta)
Warga menyaksikan petugas penyelenggara pemilu menunjukkan surat suara saat penghitungan suara di TPS di Jakarta, 9 April 2014. (Foto: REUTERS/Beawiharta)

Majelis hakim Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sehingga sistem pemilu proporsional terbuka tetap berlaku.

Dalam persidangan, Hakim Mahkamah Konstitusi Saldi Isra menyatakan dalil para pemohon yang menyatakan penyelenggaraan pemilihan umum yang menggunakan sistem proporsional terbuka telah mendistorsi peran partai politik merupakan hal yang berlebihan. Pasalnya, kata Saldi, sejauh ini parpol masih memiliki peran sentral yang memiliki otoritas penuh dalam proses seleksi dan penentuan bakal calon termasuk penentuan urut calon legislatif.

Terlebih lagi, lanjutnya, fakta menunjukan sejak penyelenggaraan pemilu setelah perubahan UUD 1945, partai politik menjadi satu-satunya pintu masuk bagi warga negara yang ingin mencalonkan diri menjadi anggota DPR/DPRD. Parpol juga memiliki kewenangan untuk melakukan evaluasi terhadap anggotanya yang diduduk di DPR/DPRD melalui mekanisme pergantian antar waktu.

Selain itu mengenai peluang terjadinya politik uang dalam sistem proporsional terbuka, Saldi menjelaskan bahwa pilihan terhadap sistem pemilu apapun sama-sama berpotensi memicu munculnya politik uang.

Seorang petugas pemilu memegang surat suara saat penghitungan suara pemilihan presiden di Makassar, Sulawesi Selatan, 9 Juli 2014. (Foto: REUTERS/Yusuf Ahmad)
Seorang petugas pemilu memegang surat suara saat penghitungan suara pemilihan presiden di Makassar, Sulawesi Selatan, 9 Juli 2014. (Foto: REUTERS/Yusuf Ahmad)

“Misalnya dalam sistem proporsional dengan daftar tertutup, praktik politik uang sangat mungkin terjadi di antara elite partai politik dengan para calon anggota legislatif yang berupaya dengan segala cara untuk berebut nomor calon jadi agar peluang atas keterpilihannya semakin besar,” ungkap Saldi.

Menurut Saldi, harus ada langkah konkrit yang diambil secara simultan untuk mencegah politik uang. Parpol-parpol dan calon anggota DPR/DPRD, katanya, harus memperbaiki dan meningkatkan komitmen untuk tidak terjebak praktek itu dalam semua tahapan pemilu. Saldi mengatakan, upaya ini dapat terwujud melalui pendidikan politik dan penegakan hukum secara tegas.

Dia mengatakan perbaikan dan penyempurnaan dalam pemilu dapat dilakukan dalam berbagai aspek mulai dari sistem kepartaian, budaya politik, kesadaran dan perilaku pemilih dan hak kebebasan bereskpresi serta mengemukakan pendapat, kemajemukan ideologi, kaderisasi dalam tubuh parpol hingga kepentingan dan aspirasi masyarakat yang direpresentasikan oleh partai politik.

Seusai sidang, Anggota DPR dari Partai Golongan Karya Supriansa menegaskan keputusan Mahkamah Konstitusi yang menolak perubahan dari sistem proporsional terbuka menjadi tertutup merupakan gambaran kepada seluruh rakyat Indonesia bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat dan rakyatlah yang menentukan siapa yang akan dipilih untuk duduk menjadi anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.

"Terlepas dari kekurangan masing-masing sistem tertutup dan terbuka, maka ini adalah kesempatan terbaik. Kalau misalnya sistem terbuka kita laksanakan dan masih ada praktek-praktek politik uang di tengah masyarakat, maka ini adalah peran misalnya Bawaslu boleh bekerja sampai ke bawah," ujar Suprinasa.

Mahkamah Konstitusi: Sistem Pemilu Tetap Proporsional Terbuka
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:02:55 0:00

Dia mengakui sistem proporsional terbuka jauh lebih baik ketimbang sistem proporsional tertutup. Sebab memberikan kesempatan kepada rakyat untuk memilih calonnya sendiri dan mendekatkan rakyat dengan calon anggota legislatif. Jika menggunakan sistem proporsional tertutup, katanya, rakyat kadang tidak bisa mengetahui siapa yang menjadi calon anggota legislatif karena yang menentukan partai politik.

Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini. (Dokumentasi: Titi)
Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini. (Dokumentasi: Titi)

Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilihan Umum dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengaku sudah dapat menduga Mahkamah Konstitusi akan menolak perubahan sistem pemilihan umum dari proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup.

Titi berharap dengan keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi, semua pihak bisa fokus pada persiapan tahapan Pemilihan Umum 2024, pengawasan integritas dan profesionalitas penyelenggara, dan pelaksanaan pemilihan umum yang adil dan kompetitif.

Menurut Titi, satu hal yang harus ditindaklanjuti serius oleh partai politik adalah berbenah diri.

"Sistem pemilu itu hilir, hulunya ada di demokrasi internal partai. Sistem pemilu yang baik bisa menjadi buruk kalau partainya tidak demokratis. Oleh karena itu penekanan pada kaderisasi, praktek politik yang antikorupsi, bersih, dan antipolitik uang, menjadi penekanan yang banyak sekali disebut oleh Mahkamah Konstitusi," tutur Titi.

Perekrutan calon anggota legislative, kata Titi, harus berbasis kaderisasi. Dia mencontohkan calon anggota DPR sudah harus menjadi anggota partai politik sedikitnya selama tiga tahun sebelum mendaftarkan diri.

Dalam sejarah Indonesia, sistem proporsional tertutup pernah diterapkan dalam pemilu tahun 1955 dan tahun 1999. Sejak 2004 hingga kini, Indonesia menerapkan sistem proporsional terbuka. [fw/ab]

Forum

Recommended

XS
SM
MD
LG