Tautan-tautan Akses

Mahkamah Internasional PBB akan Putuskan Langkah Darurat Kasus Genosida Rohingya


Pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi meninggalkan Mahkamah Internasional PBB (ICJ) tentang kasus genosida etnis Rohingya di Den Haag, Belanda 11 Desember 2019 (foto: dok).
Pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi meninggalkan Mahkamah Internasional PBB (ICJ) tentang kasus genosida etnis Rohingya di Den Haag, Belanda 11 Desember 2019 (foto: dok).

Mahkamah Internasional PBB (ICJ), Rabu (15/1) mengatakan minggu depan akan menyampaikan keputusan mengenai apakah langkah-langkah darurat harus diberlakukan terhadap Myanmar terkait dugaan genosida terhadap Muslim Rohingya.

Keputusan itu dikeluarkan sebulan setelah pemimpin sipil Myanmar dan peraih Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi pergi ke Den Haag untuk membela penumpasan berdarah 2017 oleh pasukan negaranya terhadap Rohingya.

Negara di Afrika yang mayoritas penduduknya Muslim, Gambia, membawa kasus terhadap Myanmar ke Mahkamah Internasional (ICJ) setelah sekitar 740.000 orang Rohingya melarikan diri melintasi perbatasan ke Bangladesh, dan melaporkan terjadinya perkosaan, pembakaran, dan pembunuhan massal secara luas.

"Mahkamah Internasional Kamis 23 Januari 2020,... akan menyampaikan keputusannya terhadap permintaan diambilnya langkah-langkah darurat yang diajukan Gambia," kata ICJ dalam sebuah pernyataan dan menambahkan keputusan itu akan disampaikan pukul 10:00:00 (0900 GMT).

Kementrian Kehakiman Gambia telah mengumumkan tanggal tersebut di Twitter Rabu pagi.

Gambia mengajukan kasus terhadap Myanmar yang mayoritas beragama Budha dengan dukungan dari Organisasi Kerjasama Islam. Kanada dan Belanda sejak itu juga memberikan dukungannya.

Pada persidangan bulan Desember, Gambia menuduh Myanmar melanggar Konvensi Genosida PBB 1948, yang berarti kasus itu bisa diajukan ke ICJ, badan peradilan tertinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Uganda juga mengatakan ada "risiko serius dan nyata akan berulangnya genosida" dan menyerukan "langkah sementara" yang mendesak untuk mencegah Myanmar melakukan kekejaman lebih jauh atau menghapus bukti-bukti kejahatannya.

Tidak jelas seberapa spesifik tindakan darurat itu nantinya, tetapi menegakkan keputusan tersebut kemungkinan akan sulit.

Jika ICJ memutuskan mendukung Gambia, ini akan merupakan langkah pertama dalam kasus yang kemungkinan akan berlangsung selama bertahun-tahun.

Diperkirakan 600.000 warga Rohingya masih tinggal di negara bagian Rakhine, barat Myanmar dalam kondisi yang oleh Amnesty International disebut sebagai kondisi "apartheid".

Penyelidik PBB mengatakan tindakan Myanmar adalah genosida.

Suu Kyi mengakui ketika hadir di pengadilan itu, tentara mungkin menggunakan kekuatan berlebihan terhadap Rohingya, tetapi mengatakan kasus itu didasarkan pada klaim "menyesatkan dan tidak lengkap", dan menyerukan agar dibatalkan.

Suu Kyi, usia 74 tahun yang pernah dianggap sebagai ikon HAM di Barat, juga mengatakan kasus itu berisiko memicu menghidupkan kembali krisis.

Para hakim ICJ, baru satu kali memutuskan terjadi genosida, yaitu dalam pembantaian Srebrenica 1995 di Bosnia.

Pembelaan Suu Kyi atas tindakan para jenderal dikecam secara luas di Barat, tetapi terbukti populer di dalam negeri dengan publik yang sebagian besar tidak bersimpati dengan penderitaan warga Rohingya. (my/jm)

Recommended

XS
SM
MD
LG