Tautan-tautan Akses

Limbah Tailing Freeport Rusak Lingkungan, Hancurkan Kehidupan  


Penduduk desa memisahkan emas dari endapan lumpur, dari limbah tailing operasi penambangan Emas dan Tembaga Freeport AS, di Timika, provinsi Papua, Indonesia, 21 Juli 2008. (REUTERS/Yan Rafsanjani)
Penduduk desa memisahkan emas dari endapan lumpur, dari limbah tailing operasi penambangan Emas dan Tembaga Freeport AS, di Timika, provinsi Papua, Indonesia, 21 Juli 2008. (REUTERS/Yan Rafsanjani)

Limbah tailing, yang merupakan sisa dari proses pengolahan hasil tambang PT Freeport Indonesia, telah merusak sungai-sungai di kawasan Mimika. Perwakilan masyarakat adat melaporkan kondisi ke DPR, yang berjanji akan segera memanggil perusahaan tersebut.

John NR Gobai, anggota DPR Papua dari daerah pengangkatan Meepago, menceritakan bagaimana perubahan terjadi di kawasan Kokonao, Kabupaten Mimika, untuk menggambarkan kerusakan lingkungan yang terjadi di kawasan itu. Kepada Anggota Komisi IV DPR yang menemuinya, dia mengatakan limbah tailing PT Freeport menyebar luas dan menimbulkan pengendapan hingga ke Mimika Barat.

“Pada waktu zaman Belanda, sebelum Freeport ada, misalnya di Kokonao, kapal bisa sandar di pinggiran Kokonao. Sekarang, orang mau berpergian, itu dia harus menghitung pasang surutnya air. Ini Kokonao jauh dari areal Freeport,” kata Gobai di gedung DPR, Rabu (1/2).

Limbah sisa aktivitas tambang PT Freeport selama puluhan tahun, terbawa melalui sungai-sungai di Mimika bahkan ke laut. Gobat menerangkan, terjadi pendangkalan di muara-muara sungai, baik yang ada di dalam area Freeport maupun yang di luar. Setidaknya, masyarakat di tiga distrik di Kabupaten Mimika, yaitu Mimika Timur Jauh, Jita dan Agimuga, merasakan dampaknya.

“Orang Sempan dan orang Mimika itu filosofi hidupnya tiga, sagu, sampan dan sungai. Sagu itu makanan mereka, kemudian sampan itu perahu dan juga sungai adalah tempat hidup mereka. Ini persoalan, sungai tempat penghidupan mereka terganggu oleh pembuangan dari tailing Freeport,” papar Gobai.

Dampak Meluas ke Masyarakat

Adolfina Kuum, koordinator umum Komunita Peduli Lingkungan Hidup (Lepemawi) Timika, telah memperjuangkan hak masyarakat adat sejak 2013 lalu. Limbah tailing yang mengisi sunga-sungai, membuat perahu nelayan tidak bisa bergerak dan banyak kesulitan hidup yang harus dihadapi masyarakat. Krisis air bersih juga terjadi di banyak kampung di kawasan itu.

“Bayangkan, satu hari mama-mama bisa habiskan lima jam untuk jalan, cari sumber air bersih untuk melakukan aktivitas air, sebagai pendukung kehidupan mama-mama dalam rumah tangga,” ujar Adolfina yang juga hadir di DPR.

Penduduk desa memisahkan emas dari endapan lumpur, dari limbah tailing operasi penambangan Emas dan Tembaga Freeport AS, di Timika, provinsi Papua, Indonesia, 21 Juli 2008. (REUTERS/Yan Rafsanjani)
Penduduk desa memisahkan emas dari endapan lumpur, dari limbah tailing operasi penambangan Emas dan Tembaga Freeport AS, di Timika, provinsi Papua, Indonesia, 21 Juli 2008. (REUTERS/Yan Rafsanjani)

Perahu-perahu nelayan juga mengalami kerusakan pada mesinnya, karena limbah tailing di sungai. Dalam enam pertemuan dengan PT Freeport, kata Adolfina, tidak ditemukan jalan keluar untuk mengatasi masalah itu. Bahkan, dia menyebut Freeport tidak bersedia membangun jembatan di atas sungai yang dipenuhi limbah tailing itu, agar masyarakat tetap dapat beraktivitas.

“Banyak mama-mama juga dari kampung. Mereka bawa jualan, jual ubi-ubian, hasil tangkapan mereka berburu, bawaan mereka itu hanyut tenggelam di lumpur ini. Persoalan pendangkalan sampai hari ini sudah tambah parah,” tegasnya.

Anak-anak juga mengalami gatal-gatal, sementara orang tua mereka tidak kuasa membawanya ke rumah sakit. Karena sungai yang makin penuh limbah tailing, perjalanan menjadi panjang dan mahal.

“Mereka harus menempuh laut dan biaya BBM yang dulunya dari pelabuhan ke kampung Otakwa atau Omoga dan sekitar itu, dulu hanya dibutuhkan 40 liter, sekarang dibutuhkan 90 liter, karena hampir tiga hingga empat jam mereka di lautan,” imbuh Adolfina.

Dalam catatan Lepemawi, sekurangnya 6 ribu warga terdampak oleh limbah ini. Dalam laporannya kepada DPR, Adolfina juga menayangkan video rekaman yang menunjukkan ribuan ikan mati, pendangkalan muara, serta pepohonan yang mati di tepi sungai.

Karena itulah, masyarakat adat di 23 kampung, di tiga distrik yaitu Agimuga, JIta dan Manasari meminta DPR, Presiden, DPRD Papua dan seluruh pihak terkait untuk segera bertindak.

“Kami mendesak agar segera ada audit menyeluruh atas operasional PT Freeport Indonesia. Lalu lakukan penegakan hukum yang tegas, serta pemulihan atas seluruh kerusakan lingkungan hidup, baik bagi warga di wilayah lingkar tambang, wilayah pesisir Mimika yang ada di tiga distrik,” urai Adolfina.

Masyarakat adat juga mendesak pemerintah dan DPR, segera memerintahkan PT Freeport Indonesia untuk mengganti kerugian yang dialami warga dan lingkungan.

Paulus Kemong, Yayasan Lorents juga menguatkan apa yang disampaikan Adolfina. “Freeport ini selalu mengelak dan selalu menghindari dari setiap persoalan-persoalan yang telah terjadi, terutama terkait masalah lingkungan yang saat ini sedang masyarakat hadapi,” ucapnya.

“Kita bisa bayangkan, hampir setiap hari itu berapa ton metrik yang dibuang tailing oleh PT Freeport. Dan itu terus terjadi di daerah-daerah pesisir yang saat ini sedang mengalami situasi kondisi yang sangat memprihatinkan,” imbuh Paulus.

DPR Akan ke Papua

Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Dedi Mulyadi menjanjikan dua hal. Pertama, mereka akan melakukan investigasi langsung ke lokasi yang terdampak limbah tailing PT Freeport Indonesia.

“Kita berkunjung area yang menjadi sumber malapetaka bagi masyarakat itu. Karena proses advokasi kita jauh lebih mudah, apabila kita berkunjung dan kita bisa menunjukkan kepada Freeport langsung, ini loh dampak yang diakibatkan apabila memang itu dilakukan oleh PT Freeport,” tegasnya.

Truk diparkir di tambang terbuka kompleks tambang tembaga dan emas Grasberg milik PT Freeport dekat Timika, di wilayah timur Papua, 19 September 2015 (REUTERS/Muhammad Adimaja/Antara Foto)
Truk diparkir di tambang terbuka kompleks tambang tembaga dan emas Grasberg milik PT Freeport dekat Timika, di wilayah timur Papua, 19 September 2015 (REUTERS/Muhammad Adimaja/Antara Foto)

Sedangkan langkah kedua, dalam waktu dekat Komisi IV akan mengundang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta PT Freeport Indonesia untuk memberikan konfirmasi di rapat resmi komisi tersebut.

Diizinkan Pemerintah

PT Freeport telah beroperasi sejak 1967 di Kabupaten Mimika, Papua. Tahun 2019, pemerintah mengambil alih kepemilikannya, melalui proses divestasi 51 persen saham.

Dalam dokumen Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, tercatat bahwa PT. Freeport sejak tahun 1974 hingga 2018 telah mengalirkan limbah tailing melalui sungai Aghawagon dan sungai Ajkwa. Limbah ini kemudian ditempatkan di Modified Ajkwa Deposition Area (ModADA) seluas 230 kilometer persegi.

Pembuangan tailing melalui dua sungai ini ternyata diizinkan oleh Pemerintah Propinsi Papua, melalui surat keputusan Gubernur Nomor 540 tahun 2002. Ada empat sungai yang masuk dalam izin itu, yaitu Aghawagon, Otomona, Ajkwa dan Minajerwi.

Dokumen ini juga menyebut, dalam perhitungan limbah tailing yang dihasilkan Freeport adalah 167 juta metrik ton perhari. [ns/ab]

Forum

Recommended

XS
SM
MD
LG