Tautan-tautan Akses

Lagi, Dua Waria Dipersekusi


Sebuah petisi di Change.Org menyebutkan pada 2017 saja terjadi 715 kekerasan terhadap waria. Angka ini diperkirakan meningkat pada 2018. (Foto ilustrasi). Courtesy : Rebecca Nyuei.
Sebuah petisi di Change.Org menyebutkan pada 2017 saja terjadi 715 kekerasan terhadap waria. Angka ini diperkirakan meningkat pada 2018. (Foto ilustrasi). Courtesy : Rebecca Nyuei.

Dua waria di Bekasi dipukuli dan salah seorang di antaranya ditelanjangi puluhan orang, yang juga melecehkan mereka dengan kalimat-kalimat bernada kebencian. Mengapa insiden semacam ini selalu berulang meskipun di atas kertas begitu banyak undang-undang dan surat edaran yang sedianya melindungi mereka?

Dua transpuan, C dan T yang sedang ‘mejeng’ di dekat Perumahan Jati Asih, Bekasi Selatan, Kota Bekasi, Selasa dini hari (20/11), merasa tidak berbuat salah ketika tiba-tiba mereka dikerubungi sekelompok pemuda berseragam putih yang membawa tongkat besi. Mereka dikejar, dipukuli, digunduli dan salah seorang di antaranya bahkan ditelanjangi.

Sebagian orang yang mempersekusi mereka mengeluarkan kalimat-kalimat melecehkan yang bernada kebencian. Hal ini terungkap dalam kesaksian tertulis yang disampaikan kepada VOA Sabtu pagi (24/11) dan dibenarkan oleh beberapa aktivis.

“Kamu lelaki khan? Temanmu banci? Tahu gak itu dosa?,” ujar para penyerang. Ketika C dan T menangis menyebut nama Tuhan, mereka membalas “gak ada Allah bagi kalian, gak usah sebut-sebut Allah. Kalian tidak pantas dilahirkan!”

Sejumlah warga, tukang ojek dan karyawan sebuah restoran di lokasi itu baru berani mendekat dan memberikan pakaian ketika kelompok penyerang sudah pergi. Warga juga menyarankan mereka melapor ke polisi.

Kelompok Waria Serukan Polisi Segera Tangkap dan Adili Pelaku

Vina, salah seorang aktivis transgender yang ikut mendampingi kedua korban, mengatakan kepada VOA bahwa keduanya sempat trauma dan baru melapor ke polisi hari Rabu (21/11) dan dilanjutkan ke Komnas Perempuan, Jumat (23/11).

“Kami ingin menyerukan kepada polisi untuk menangkap dan mengadili pelaku, serta memberi perlindungan yang setara kepada kami sebagaimana kepada warga negara lain. Bukankah polisi ini sedianya mengayomi, melindungi semua warga negara? Tentunya polisi tidak akan abai dan membiarkan perlakuan seperti ini merajalela. Jika dalam kasus hoaks, seperti menelusuri kasus Ratna Sarumpaet dll – polisi bisa bertindak cepat, kami berharap polisi dapat juga sigap menyelidiki kasus ini, apalagi para korban sudah melapor dan ada rekaman kamera CCTV di lokasi.’’

Human Rights Watch di Indonesia dan Komnas Perempuan Serukan Sikap Tegas Polisi

Peneliti senior Human Rights Watch di Indonesia Andreas Harsono juga ikut mendorong ketegasan polisi. “Polisi tak perlu ragu buat bertindak terhadap siapa pun yang lakukan kekerasan terhadap waria. Negara membayar mereka buat melindungi masyarakat dari preman,” ujarnya melalui pesan WhatsApp VOA.

Hal senada disampaikan Adriana Veny, salah seorang komisioner Komnas Perempuan, yang ditemui kedua korban.

“Kami merujuk korban yang mengalami trauma untuk menjalani konseling, dan mendorong polisi segera mencari pelaku.”

ICJR Kritisi Ketidakseriusan Pemerintah dan Banyaknya Perda Diskriminatif

Institute for Criminal Justice Reform ICJR dalam pernyataan tertulisnya menyatakan setidaknya ada dua hal yang memicu terus maraknya penganiayaan terhadap kelompok minoritas seksual.

“Pertama, tidak ada keseriusan dari negara untuk menindak tegas segala bentuk propaganda kebencian yang ditujukan terhadap kelompok minoritas tersebut sehingga membuat konflik horizontal dalam masyarakat semakin menguat dan tidak terkendali. Kedua, banyaknya peraturan-peraturan daerah yang bersifat diskriminatif atau yang secara langsung menyudutkan kelompok minoritas seksual sebagai kelompok yang terpinggirkan seakan-akan melegitimasi perlakuan-perlakuan masyarakat yang mengarah pada kekerasan terhadap kelompok minoritas seksual.”

Padahal menurut ICJR ada aturan hukum yang lebih tinggi dari peraturan yang sedianya menjadi payung hukum. ICJR juga menyebut keberadan Surat Edaran Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor SE/6/X/2015 Tahun 2015 tentang “Penanganan Ujaran Kebencian” (hate-speech) untuk mengakomodir kelompok-kelompok yang rentan berdasarkan suku, agama, aliran keagamaan, keyakinan/kepercayaan, ras, antargolongan, warna kulit, etnis, gender, kaum difabel (cacat), dan orientasi seksual. Belum jelas apakah di lapangan, surat edaran semacam ini masih menjadi dokumen yang melindungi kelompok minoritas.

Tak Banyak Pilihan, Waria Hanya Dapat Bekerja di Sektor Informal

Aktivis transgender Vina secara terbuka mengatakan bukannya mereka tidak ingin memiliki keahlian atau pekerjaan yang sektor formal, tetapi peluangnya hampir tidak ada.

‘’Orang tidak tahu atau bahkan tidak mau tahu kehidupan kami di jalan, yang selalu dianggap meresahkan dan mengganggu ketertiban umum. Tetapi kenapa ini terjadi, karena memang tidak banyak pilihan yang tersedia bagi teman-teman transgender supaya bisa bersekolah tinggi dan bekerja di sektor formal. Sekolah atau kuliah di kampus, harus berhadapan dengan aturan-aturan diskriminatif," jelasnya.

"Bekerja di perusahaan dengan skill yang bagus, diharuskan berpenampilan sesuai identitas mereka. Jadi akhirnya kami hanya bisa bekerja di sektor informal, di salon atau jadi pengamen di jalan dan pekerja seks; karena memang hanya ruang itu yang tersisa untuk kami. Itu pun masih diusik. Padahal jika bisa memilih, siapa sii yang mau bekerja di jalanan dengan nyawa sebagai taruhan, atau kehormatan dan martabat kami, tapi mau bagaimana lagi karena memang pilihannya sedikit sekali,” imbuh Vina.

Vina mengatakan hampir semua teman-teman waria memahami bahwa hukum memandang mereka sebelah mata.

“Kami ingin sekali ruang-ruang sekolah atau pekerjaan bisa diakses oleh siapapun, terlepas dari orientasi seksual dan identitas gender mereka. Tapi ternyata tidak bisa. Gak usah ditanya soal ‘betapa keras hidup kami’ karena hidup kami memang keras dan kami menyadari itu karena memang pemahaman orang tentang kelompok transgender sangat lemah, informasi minim, dan tidak ada kesempatan sekolah atau bekerja yang setara di sektor formal. Apalagi hukum pun memandang kami sebelah mata. Jadi ya gak heran jika kekerasan terhadap kami kami tinggi, dan kehidupan kami memang keras Mbak,” jelasnya.

Dua waria kembali dipersekusi di Bekasi Selasa dini hari (20/11) oleh sekelompok orang berseragam putih. Polisi didesak usut tuntas kasus ini. (Foto ilustrasi). Courtesy : Rebecca Nyuei.
Dua waria kembali dipersekusi di Bekasi Selasa dini hari (20/11) oleh sekelompok orang berseragam putih. Polisi didesak usut tuntas kasus ini. (Foto ilustrasi). Courtesy : Rebecca Nyuei.

Petisi Serukan Penghentian Aksi Kekerasan terhadap Waria Meluas

Sebuah petisi yang disebarluaskan dua hari lalu yang menuntut dihentikannya aksi kekerasan terhadap waria, sejauh ini sudah ditandatangani oleh 840 orang. Petisi ini menyebutkan beberapa aksi kekerasan yang dialami waria sepanjang tahun 2018 ini, antara lain aksi penggerebekan enam salon di Aceh Utara pada 28 Januari, pelecehan terhadap tiga waria di Lampung pada awal November, pelecehan dan tindakan mempermalukan empat waria di Padang pada 4 November, pengusiran paksa tujuh waria di Klender Jakarta Timur pada 9 November dan aksi kekerasan bernuansa kebencian terhadap dua waria di Bekasi pada 20 November.

Petisi ini menyatakan pada tahun 2017 saja ada 715 waria menjadi korban kekerasan. Tetapi Human Rights Watch di Indonesia yang dihubungi VOA mengatakan belum dapat mengukuhkan jumlah tersebut, meskipun mengakui ada trend yang meningkat. Peningkatan jumlah aksi kekerasan terhadap kelompok minoritas seksual ini juga diakui Komnas Perempuan.

Itulah sebabnya Komnas Perempuan dan ICJR sama-sama menyerukan kepada otorita berwenang untuk bersikap tegas dan mengusut tuntas aksi-aksi kekerasan yang terjadi “agar dapat memberi pesan yang kuat kepada masyarakat bahwa segala bentuk tindak kekerasan, khususnya penganiayaan, tetap merupakan tindak pidana, dengan tanpa melihat siapa korban dan apa status sosialnya.” [em]

Recommended

XS
SM
MD
LG