Tautan-tautan Akses

Kurangnya Koordinasi Persulit Pengusutan Kasus Pencucian Uang


Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang diatur dalam Pasal 26 UU No. 8 Tahun 2010.
Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang diatur dalam Pasal 26 UU No. 8 Tahun 2010.

Ketua PPATK Yunus Hussein mengakui bahwa koordinasi yang tidak maksimal menyebabkan kasus pencucian uang di Indonesia sulit dibongkar. Padahal, pihak luar negeri siap membantu.

Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Yunus Hussein, menilai koordinasi antar aparat di Indonesia tergolong rendah untuk pembongkaran kasus pencucian uang (money laundering). Padahal, negara-negara sahabat selalu ingin membantu Indonesia, kata Yunus Hussein, usai rapat koordinasi Komite Nasional Tindak Pidana Pencucian Uang, yang dipimpin Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Djoko Suyanto, di kantor Menkopolhukam, Rabu siang.

“Tadi sempat disinggung oleh Menlu (Marty Natalegawa), untuk permintaan tolong kepada luar negeri, misalnya untuk kasus Gurnsey dan beberapa kasus lain. Tetapi kadang-kadang, di sana (di negara yang bersangkutan) sudah serius mau membantu, tapi di sini kadang-kadang koordinasinya payah. Kalau di sini tidak ada tindakan hukum secara pidana dan perdata, bagaimana otoritas di luar negeri mau membantu?”

Yunus Hussein mengakui rapat koordinasi yang dipimpin oleh Menkopolhukam sekalipun, sulit menghasilkan kerjasama yang terpadu antara aparat hukum dan instansi terkait. Padahal, pertemuan rutin yang digelar selama ini mengikutsertakan pula Kapolri, Jaksa Agung, Menteri Hukum dan HAM, serta Menteri Luar Negeri.

“Kita sudah berusaha mendorong koordinasi, tetapi masih bermasalah. Padahal sudah ada Menko(polhukam). Contoh kasus banyak; ada kasus Gayus (Tambunan), kasus Hesham Rifat, dulu kasus Tommy Soeharto, dan lain-lain. Seperti biasa, ada ego-ego sektoral, ada pikiran maunya saya saja yang menangani. Ini rezeki saya, dan sebagainya,” ungkap Yunus.

Menyinggung sejumlah kasus penggelapan uang yang dilakukan para petinggi perbankan dan pejabat, Yunus Hussein menjelaskan bahwa sebetulnya pihak bank berhak menunda transaksi yang diduga berasal dari hasil tindak pidana, selambat-lambatnya selama lima hari. Ketentuan ini sudah jelas diatur dalam Pasal 26 UU No. 8 Tahun 2010, mengenai Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

“Ada kewenangan menunda transaksi yang oleh (pihak) bank ternyata belum banyak dipakai untuk menolong bank lain yang menjadi korban penggelapan. Begitu lari dari Citibank ke Bank lain, harusnya bank itu menahan agar uang itu tidak ditarik, tetapi itu tidak dilakukan. Dalam kasus Bank Mega, kita (PPATK) sempat menahan dua transaksi di bank sampai sekarang supaya tidak hilang uangnya. Begitu juga dalam kasus Sesmenpora. Ada uang salah satu tersangka yang jumlahnya miliaran, kita tahan,” jelas Yunus.

Anggota Komisi III DPR, Azis Syamsuddin, kepada VOA, Rabu malam, mengatakan pemerintah harus segera menerapkan Single Identity Number (KTP Tunggal), untuk mencegah pembuatan KTP palsu yang menyebabkan tersangka sulit dilacak. Tetapi, peraturan ini masih dibiarkan terkatung-katung di Kementerian Dalam Negeri.

“Itu gagasan sudah lama yang tidak terselesaikan oleh Kementerian Dalam Negeri, Itu kan sebetulnya tidak terlalu susah menerapkannya, tinggal menggunakan software. Software itu sudah banyak digunakan secara internal oleh kantor pajak,” ujar Azis.

Politisi Partai Golkar ini menambahkan, Pasal 26 UU No. 8 Tahun 2010, sebetulnya tidak hanya dapat dimaanfaatkan pihak bank, tetapi juga oleh Kepolisian dan Kejaksaan Agung. Sistem hukum yang tidak saling terhubung juga membuat masalah ini semakin rumit, kata Azis Syamsuddin.

XS
SM
MD
LG