Tautan-tautan Akses

Kontras: Kasus Penyiksaan di Indonesia Masih Tinggi


Para polisi melakukan pengawalan ketas atas Lapas Cebongan di Sleman, Yogyakarta (foto: dok). Menurut Kontras, tiga institusi yang paling sering melakukan penyiksaan adalah Polisi, TNI dan Sipir Lapas.
Para polisi melakukan pengawalan ketas atas Lapas Cebongan di Sleman, Yogyakarta (foto: dok). Menurut Kontras, tiga institusi yang paling sering melakukan penyiksaan adalah Polisi, TNI dan Sipir Lapas.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyatakan kasus penyiksaan di Indonesia masih tinggi. Tiga institusi yang dinilai paling sering melakukan penyiksaan adalah Polisi, TNI, dan Sipir lembaga pemasyarakatan.

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mendesak Presiden Joko Widodo untuk segera merumuskan aturan pidana yang melarang tindak penyiksaan dan perbuatan tidak manusiawi.

Staf Divisi Pembelaan Hak Sipil Politik Kontras Arif Nurfikri kepada VOA, Selasa (3/11) mengatakan Indonesia sudah sejak lama telah meratifikasi konvensi tentang anti penyiksaan tetapi hingga kini belum diadopsi dalam perundang-undangan. Hal ini, menurut Arif, menyebabkan kasus penyiksaan tetap tinggi di Indonesia. Sepanjang bulan Juli 2014 hingga Mei 2015 saja telah terjadi 84 kasus penyiksaan. Kasus-kasus penyiksaan pada tahun-tahun sebelumnya lebih tinggi lagi dan proses hukumnya kini belum berjalan sebagaimana mestinya.

Ditambahkannya, kasus kekerasan dan penyiksaan itu terutama dilakukan oleh tiga institusi yaitu Polisi, TNI dan petugas sipir penjara. Sedikitnya 9 orang tewas, 27 luka-luka dan satu lainnya luka ringan akibat disiksa polisi. Sementara TNI diketahui melakukan sembilan tindakan penyiksaan, disusul petugas sipir penjara dengan 15 tindakan penyiksaan.

"Praktek penyiksaan sebenarnya paling banyak terjadi ketika proses penyidikan. Dia itu (polisi) biasanya suka memaksa agar seseorang itu mengakui peristiwa yang disangkakan atau tindak pidana yang disangkakan,” ungkap Arif Nurfikri.

Lebih jauh Arif mengatakan bahwa jarang ada kasus penyiksaan yang ditindaklanjuti dengan pemberian sanksi terhadap pelaku. Kalau pun ada, maka sanksinya sangat minimal.

Untuk mencegah terjadinya penyiksaan dalam proses penyidikan, pimpinan polisi menurutnya harus memberlakukan aturan internal dan mekanisme khusus yang tegas guna memeriksa polisi yang diduga melakukan penyiksaan. Ini juga harus dilakukan oleh institusi yang masih melakukan tindakan penyiksaan.

Untuk memberikan perlindungan korban penyiksaan, Kontras telah meminta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mempermudah prosedur pengaduan korban penyiksaan. Korban penyiksaan selama ini tambahnya sulit mendapat perlindungan LPSK karena mereka harus terlebih dahulu melapor ke polisi.

Arif menambahkan, “Kadangkala korban-korban penyiksaan ini kan agak sulit untuk membuat laporan kasus penyiksaan di kepolisian karena pelaku penyiksaan paling banyak dilakukan di kepolisian.”

Dalam kesempatan terpisah, polisi meminta Kontras melaporkan oknum polisi yang diduga melakukan penyiksaan ketika menangani suatu perkara ke bagian profesi dan pengamanan polisi.

Kepala Bidang Penerangan Umum Mabes Polri Komisaris Besar Suharsono menegaskan hal ini kepada VOA. Menurutnya polisi akan menindak tegas jika ada anggotanya yang melakukan penyiksaan.

“Jadi ingin melihat sesuai prosedur atau tidak dalam penerimaan laporan atau melaksanakan tugasnya. Jika tidak akan kita berikan sanksi,” kata Suharsono.

Lebih lanjut Arif menjelaskan Jaringan Korban dan Pendamping Anti Penyiksaan memutuskan untuk membuat Gerakan Nasional Anti Penyiksaan yang akan diluncurkan di beberapa wilayah di Indonesia seperti Ambon, Papua, Sulawesi Tenggara, Sumatera Barat, Kalimantan Timur, NTT, NTB, dan DKI Jakarta.

Gerakan ini lanjutnya juga akan berfungsi sebagai wadah bersama mengadvokasi korban-korban penyiksaan di seluruh Indonesia. Gerakan ini juga akan menjadi tempat korban-korban penyiksaan saling bertukar informasi dan pemantauan kasus-kasus penyiksaan.

Menurut catatan Kontras, selain ketiga institusi tadi – Polisi, TNI dan sipir penjara – ada beberapa institusi lain yang masih kerap melakukan penyiksaan, yaitu: aparat pemerintah daerah dan kejaksaan negeri propinsi Aceh Darussalam. Mereka bahkan melakukannya secara terbuka, berupa hukuman cambuk. Meskipun hukum cambuk diatur dalam Qanun Jinayat atau hukum pidana dalam syariat Islam, tetapi Kontras menilai aturan itu melanggar hak asasi manusia. Sedikitnya 183 orang dijatuhi hukuman cambuk pada Juli 2014 hingga Mei 2015.

Recommended

XS
SM
MD
LG