Tautan-tautan Akses

KontraS: Hak Berkumpul di Era Jokowi Mengkhawatirkan


Para pendukung capres Prabowo Subianto berunjuk rasa dekat Mahkamah Konstitusi saat sidang sengketa hasil pilpres di Jakarta, 14 Juni 2019. (Foto: AP)
Para pendukung capres Prabowo Subianto berunjuk rasa dekat Mahkamah Konstitusi saat sidang sengketa hasil pilpres di Jakarta, 14 Juni 2019. (Foto: AP)

Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyatakan kebebasan berkumpul di era kepemimpinan presiden Joko Widodo mengkhawatirkan.

Dalam jumpa pers di Jakarta, hari Jumat (6/12), Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak kekerasan (KontraS) Yati Andriyani menjelaskan alasan pihaknya memantau tentang kebebasan berkumpul selama periode 2015-2018 karena KontraS khawatir soal hak berkumpul di masa pemerintahan Presiden Joko "Jokowi" Widodo.

Kebebasan berkumpul warga negara, lanjut Yati, merupakan hak fundamental dan terkait dengan hak-hak lainnya. Kalau hak untuk berkumpul dibatasi atau dilanggar, maka akan berdampak pada hak beorganisasi dan hak berpendapat.

Yati menambahkan sejak 2015 sampai 2018 terdapat 1.056 peristiwa pembatasan dan pelanggaran terhadap hak berkumpul yang terjadi di semua propinsi di Indonesia, yang sebagian diantaranya melibatkan aparat negara, yang ikut membatasi atau melarang warga berkumpul.

Dalam jumpa pers di Jakarta, Jumat, 6 Desember 2019, Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyatakan kebebasan berkumpul di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo mengkhawatirkan. (Foto: Fathiyah Wardah)
Dalam jumpa pers di Jakarta, Jumat, 6 Desember 2019, Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyatakan kebebasan berkumpul di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo mengkhawatirkan. (Foto: Fathiyah Wardah)

Aparat, menurut Yati, sering berpihak pada kelompok-kelompok yang menolak kebebasan berkumpul. Bahkan, tak jarang menggunakan cara-cara militer untuk membatasi atau melanggar kebebasan berkumpul.

Selain itu, kata Yati, pemahaman aparat negara soal hak berkumpul bagi warga negara masih minim sehingga mereka ikut berperan dalam membatasi atau melarang hak tersebut. Terutama dalam isu-isu tertentu, seperti isu LGBT yang dinilai bertentangan dengan norma agama. Atau isu-isu lain yang, menurut Yati, sengaja diciptakan oleh negara utuk menakut-nakuti warga, seperti isu komunisme. Aparat kerap menggunakan isu ini untuk menjustifikasi pembubaran atau pelarangan diskusi atau acara lain terkait komunisme.

Yati menekankan situasi kebebasan berkumpul di periode kedua pemerintahan Jokowi bisa saja jalan di tempat atau malah makin buruk. Ada sejumlah faktor yang menyebabkan hal itu bisa terjadi. Salah satunya adalah masih adanya sejumlah aturan yang membatasi hak kebebasan berkumpul, seperti undang-undang tentang organisasi kemasyarakatan, dimana pemerintah bisa membubarkan sebuah organisasi kemasyarakatan tanpa melalui proses peradilan.

Kontras: Hak Berkumpul di Era Jokowi Mengkhawatirkan
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:02:55 0:00

"Kita tidak melihat akan ada suatu aturanyang akan memberikan jaminan untuk hak kebebasan berkumpul secara lebih konkret, lebih kuat. Yang ada justru sebaliknya. Ada aturan-aturan yang sedang direncanakan dan itu dapat mengancam jika dilanjutkan," kata Yati.

Lebih jauh Yati Andriyani mencontohkan sejumlah pasal dalam Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang akan dapat mengancam kebebasan berkumpul dan berpendapat warga negara. Dia mencontohkan pasal pemidanaan terhadap tindakan yang dianggap menyerang kehormatan presiden.

Tiga Daerah Jadi Patokan Mengukur Situasi Kebebasan Berkumpul

Pada kesempatan yang sama, Rivanlee Anandar, Staf Biro Penelitian, Pemantauan, dan Dokumentasi KontraS, menjelaskan lembaganya menjadikan tiga daerah yang dijadikan patokan untuk mengukur situasi kebebasan berkumpul di Indonesia, yakni Jawa Barat, Yogyakarta, dan Papua. Ketiga daerah tersebut dijadikan sampel karena masifnya angka pembatasan kebebasan berkumpul secara damai dan terdapat kasus-kasus penting yang mendapat perhatian publik secara luas.

Rivanlee menambahkan selama 2015-2018 ada dua isu yang paling gencar dibatasi kebebasan berkumpulnya adalah isu LGBT dan komunis.

"Hampir selalu, ketika sebuah kelompok atau komunitas melangsungkan diskusi, atau nonton bareng, atau kumpul membahas mengenai komunisme dan LGBT, hampir selalu mendapatkan represifitas dari aparat berupa pembubaran, intimidasi, dan dan lain sebagainya. Pelakunya ini mayoritas dari aparat kepolisian yang kadang juga berelasi dengan ormas-ormas tertentu," ujar Rivanlee.

Para aktivis hak-hak LGBT berdemonstasi menentang rencana revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana di luar kompleks DPR/MPR di Jakarta, 12 Februari 2018. (Foto: AP)
Para aktivis hak-hak LGBT berdemonstasi menentang rencana revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana di luar kompleks DPR/MPR di Jakarta, 12 Februari 2018. (Foto: AP)

Menurut Rivanlee, KontraS juga menemukan sedikitnya ada tiga kampus di Jawa Barat dan Yogyakarta di mana kebebasan berkumpul di ketiga perguruan tinggi tersebut sudah terancam. Tahun ini bahkan ada rektor sebuah universitas melarang mahasiswanya turun ke jalan pada September lalu, tambahnya.

Universitas Padjadjaran, yang sempat menggelar diskusi mengenai Marxisme, kemudian diminta membubarkan acara karena karena ada ancaman dari kelompok tertentu yang akan menyerbu ke kampus itu.

Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden Ali Mochtar Ngabalin membantah adanya pembatasan dalam kebebasan berkumpul termasuk kebebasan menyatakan pendapat di muka umum. Meski demikian, semuanya itu ada aturan dan mekanisme. [fw/em]

Recommended

XS
SM
MD
LG