Tautan-tautan Akses

Kondisi Rumah Sakit di Yogya Gawat Darurat


Seorang petugas kesehatan memegang sampel usap untuk tes antigen COVID-19, 3 Januari 2021. (Foto: Hendra Nurdiyansyah/Antara via REUTERS)
Seorang petugas kesehatan memegang sampel usap untuk tes antigen COVID-19, 3 Januari 2021. (Foto: Hendra Nurdiyansyah/Antara via REUTERS)

Lonjakan kasus COVID-19 memaksa rumah sakit menerapkan perubahan strategi layanan. Beberapa kondisi dapat mereka atasi, tetapi sebagian sangat bergantung pada kerja sama pihak lain. Langkah radikal dibutuhkan untuk menjaga kelangsungan operasional di tengah situasi darurat ini.

Direktur Rumah Sakit PKU Muhamadiyah Kota Yogyakarta, dr. H. Mohammad Komarudin, Sp.A memiliki gambaran sederhana untuk menceritakan kondisi saat ini.

Dalam sesi perbincangan dengan media, Senin (28/6), dia mengatakan saat ini jumlah pasien COVID-19 yang meninggal tidak berbeda banyak dengan jumlah pasien yang sembuh.

“Kalau di sepanjang 2020, kematian di rumah sakit itu 78 pasien. Di tahun ini, sampai bulan Juni ini sudah 206 pasien yang meninggal. Jadi rata-rata setiap hari 2-3 pasien meninggal di PKU Kota Yogya,” kata Komarudin.

Direktur Utama RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta, dr. H. Mohammad Komarudin, Sp.A. (Foto: RS PKU Muhammadiyah)
Direktur Utama RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta, dr. H. Mohammad Komarudin, Sp.A. (Foto: RS PKU Muhammadiyah)

Itu artinya, angka kematian dalam enam bulan terakhir, hampir tiga kali lipat jumlahnya dibanding periode sepuluh bulan pada 2020.

Kondisi itu tentu hanya gambaran akhir. Lonjakan angka kematian juga bermakna meningkatnya jumlah pasien yang dirawat. Rumah sakit yang tepat berada di pusat kota Yogya ini dalam sepekan terakhir harus membuka ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD) baru, untuk menerima gelombang pasien.

Pada Senin (28/6) kemarin, ruangan yang selama ini digunakan untuk layanan vaksinasi COVID-19, dialihfungsikan menjadi IGD. Sebelumnya pada Jumat (25/6) dan Sabtu (26/6) akhir pekan lalu, layanan IGD bahkan harus ditutup karena tak mampu lagi menerima pasien baru. Sejumlah rumah sakit lain di Yogyakarta juga harus menutup IGD karena alasan serupa.

Padahal di sisi lain, sumber daya manusia mereka berkurang akibat serangat COVID-19 juga. Komarudin mengatakan, baik dokter maupun perawat di rumah sakitnya turut terpapar dan jumlahnya terus meningkat.

“Hampir 20 persen perawat kami sudah terkonfirmasi positif. Senin pagi dapat laporan beberapa dokter jaga di IGD, setelah kemarin berkurang 7 dokter, beberapa dokter yang lain sudah muncul gejala dan dilakukan rapid antigen dan positif. Kita lakukan isolasi mandiri,” kata Komarudin.

Kekurangan Nakes

Dia mengakui, ketersediaan sumber daya manusia adalah persoalan yang paling mengkhawatirkan dalam mengatasi kasus COVID-19. Jika rumah sakit membutuhkan ruang tambahan, alih fungsi masih bisa dilakukan. Begitu pula layanan vaksinasi yang bisa dipindahkan ke tenda darurat. Namun kekurangan dokter dan perawat tidak mudah untuk diatasi.

“Shelter untuk pasien ringan yang lokasinya memanfaatkan asrama Pimpinan Pusat Aisyiah ini juga selalu penuh, sehingga terjadi antrian,” lanjut Komarudin.

Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta. (Foto: PKU Yogyakarta)
Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta. (Foto: PKU Yogyakarta)

Belum lagi, mereka terbelit persoalan pasokan oksigen yang pas-pasan. Akhir pekan lalu, stok oksigen PKU Kota Yogyakarta hanya tersedia dalam hitungan jam. Pihak rumah sakit telah mengupayakan penambahan pasokan dari berbagai sumber, termasuk di luar pemasok utama yang selama ini melayani mereka.

“Kami mendatangkan oksigen dari Surabaya, bahkan dari Denpasar. Satu truk dengan 220 tabung dari Denpasar dan konsentrat dari Surabaya. Ini berimbas pada biaya transportasi oksigen yang jauh dari Yogya,” ujarnya.

45 Nakes Positif

Hingga akhir pekan lalu, sekitar 45 orang tenaga kesehatan telah terkonfirmasi positif COVID-19. Pada Senin (28/6), beberapa dokter jaga IGD dan nakes lain juga terkonfirmasi positif. RS PKU Muhammadiyah Kota Yogyakarta sudah menerima 40 perawat baru, tetapi hanya 14 yang bersedia bekerja saat ini.

Peningkatan kasus paparan COVID-19 di lingkungan tenaga kesehatan juga terjadi di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) dr Sardjito, Yogyakarta. Direktur utama rumah sakit ini, dr. Rukmono Siswishanto, M.Kes.,Sp.OG(K) menyebut pada Februari hingga Mei 2021 lalu, rata-rata dalam satu bulan ada 30 orang SDM mereka terpapar.

“Di bulan Juni ini SDM kita yang terpapar 204 orang. Dari jumlah itu 185 orang isolasi mandiri di rumah, 15 orang isolasi di fasilitas milik rumah sakit, dan yang 4 dirawat inap karena kondisinya berat,” ujar Rukmono.

Para pegawai dinas pemakaman dengan mengenakan alat pelindung diri (APD) sedang memakamkan jenazah pasien COVID-19 di tempat pemakaman umum di Badran, Yogyakarta, 22 Juni 2021. (Foto: Hendra Nurdiyansyah/Antara Foto via Reuters)
Para pegawai dinas pemakaman dengan mengenakan alat pelindung diri (APD) sedang memakamkan jenazah pasien COVID-19 di tempat pemakaman umum di Badran, Yogyakarta, 22 Juni 2021. (Foto: Hendra Nurdiyansyah/Antara Foto via Reuters)

Untuk memenuhi kebutuhan SDM, RSUP dr Sardjito telah merekrut relawan. Mereka terdiri dari dokter, perawat, radiografer dan beberapa yang lain, dengan total 143 orang. Pemerintah pusat juga membantuk dalam penyediaan relawan, tapi rumah sakit juga melakukan proses perekrutan sendiri khususnya untuk tenaga perawat.

“Tetapi, bagaimanapun mau diiyak-iyuk (dikelola-red) tetap tidak cukup, kalau tenaganya kurang,” tambah Rukmono.

Untuk memberikan layanan baik kepada pasien COVID-19, rasio perawat pada ruang-ruang perawatan itu berbeda dengan rasio kebutuhan perawat di bangsal non-COVID. Karena itu, meski rumah sakit bisa memaksimalkan penggunaan ruang atau menambah jumlah ruang layanan, persoalan pokoknya tetap pada ketersediaan SDM, terutama dokter dan perawat.

Kondisi Rumah Sakit di Yogyakarta Gawat Darurat
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:02:26 0:00

Sementara itu untuk ketersediaan oksigen, RSUP dr Sardjito cukup tertolong karena memiliki tabung berkapasitas 4.500 galon untuk menyimpan oksigen cair. Selain itu, ada cukup banyak tabung oksigen berukuran lebih kecil yang bisa dipakai untuk menyimpan sekaligus melayani pasien.

Sayangnya, kebutuhan oksigen belakangan ini memang melonjak drastis, seiring jumlah pasien yang berlipat.

“Untuk tabung kapasitas 4.500 galon, biasanya kita mengisi lima hari sekali, kalau keadaan normal. Sekarang ini setiap hari harus mengisi. Karena itu kita juga was-was, mungkin akan kesulitan pemasoknya kalau harus mengisi sehari dua kali,” tambah Rukmono.

Rukmono mengingatkan, untuk mengatasi masalah ini jalan keluarnya hanya memastikan ada pasokan oksigen yang lebih banyak. [ns/em]

Recommended

XS
SM
MD
LG