Tautan-tautan Akses

Komnas Perempuan Kecam Aturan Tentang Posisi Duduk Perempuan Aceh


Dua perempuan Aceh berboncengan di atas sepeda motor dekat Mesjid Baiturrahman di Banda Aceh (3/1). (Reuters/Junaidi Hanafiah)
Dua perempuan Aceh berboncengan di atas sepeda motor dekat Mesjid Baiturrahman di Banda Aceh (3/1). (Reuters/Junaidi Hanafiah)

Komnas Perempuan mengecam aturan pemerintah kota Lhokseumawe, Aceh, yang melarang perempuan duduk mengangkang saat membonceng sepeda motor.

Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengecam aturan baru yang diterbitkan pemerintah kota Lhokseumawe, Aceh, yang melarang perempuan duduk mengangkang pada saat membonceng sepeda motor.

Dalam surat edaran yang diterbitkan awal minggu ini, pemerintah kota Lhokseumawe mewajibkan penumpang perempuan duduk menyamping saat membonceng motor.

Komisioner Komnas Perempuan Andi Yentriyani, Jumat (4/1), mengatakan aturan tersebut sangat membatasi gerak perempuan dan sangat diskriminatif.

Andi menilai aturan-aturan di Aceh yang mendiskriminasikan perempuan merupakan suatu bentuk pencitraan yang dilakukan oleh kepala daerah di provinsi itu. Mereka, lanjut Andi, hanya ingin menunjukkan bahwa Aceh berbeda dengan daerah lain di Indonesia.

Untuk itu, ujarnya, sudah saatnya pemerintah pusat lebih tegas karena dengan nama otonomi khusus, tidak bisa sebuah daerah dengan semena-mena membuat aturan yang sebetulnya melanggar prinsip-prinsip perlindungan hak konstitusional warga negaranya.

“Cara kita duduk, apakah kita mau membonceng dengan mengangkang atau menyebelah itu biasanya lebih pada tingkat keamanan dan tingkat kenyamanan. Semua perhitungan rasional ini tampaknya tidak diperhatikan karena memang peraturan ini adalah peraturan yang mengada-ada,” ujar Andi.

Walikota Lhokseumawe Suadi Yahya menjelaskan aturan ini didasarkan pada pertimbangan duduk dengan kaki terbuka lebar atau mengangkang tidak sesuai dengan syariah islam dan adat budaya masyarakat Aceh.

Ia juga menyebut aturan ini bertujuan untuk meningkatkan harkat martabat perempuan, sekaligus untuk membedakan penampakan perempuan dan laki-laki ketika berkendaraan di ruang publik.

“Kalau duduk mengangkang seakan-akan dia itu laki-laki, seakan-akan dia itu preman. Tapi kalau duduk samping itu sudah otomatis secara penglihatan kita itu memang wanita. Lagipula budaya di Aceh, duduk menyamping itu budaya,” ujarnya dalam wawancara lewat telepon dari Lhokseumawe.

“Dari dulu orang Aceh kalau naik sepeda tetap duduk di belakang menyamping. Tetapi sekarang sudah hilang. Makanya kita perkuatkan budaya di kami, budaya aceh yang Islami.”

Suaidi menambahkan, surat edaran ini menindaklanjuti masukan dari Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) kota Lhokseumawe dan Majelis Ulama Nanggroe Aceh (MUNA) Wilayah Pase. Selama dua hingga 3 bulan ke depan, ujarnya, surat edaran ini akan dievaluasi.

Sementara itu, Ketua Majelis Ulama Indonesia Amidhan, menegaskan bahwa syariah Islam sendiri tidak secara tegas melarang perempuan untuk duduk mengangkang. Hal itu, menurutnya, lebih menyangkut etika dan sopan santun.

Meski MUI menghormati hak otonomi pemerintah Aceh, Amidhan menilai dari segi keselamatan penumpang, duduk mengangkang ketika membonceng sepeda motor terbukti lebih aman, sehingga aturan tersebut lebih banyak mudharatnya.

“Di agama belum ada mengatur aturan seperti itu, belum ada..tidak mengatur sedetil itu gitu lho. Tapi dari segi budaya, budaya itu bisa juga menyatu dengan agama, artinya tidak patut saja, melanggar etika,” ujarnya.

Data Komnas Perempuan menyatakan pada 2012 terdapat 282 kebijakan daerah yang diskriminatif langsung terhadap perempuan. Dari 282 kebijakan tersebut, tiga peraturan daerah itu berada di Aceh.

Tiga kebijakan diskriminatif terhadap perempuan di Aceh itu adalah larangan menggunakan celana panjang, aturan tata busana perempuan, dan larangan berdua-duaan dengan lelaki yang bukan suami atau keluarga.

Recommended

XS
SM
MD
LG