Tautan-tautan Akses

Komisi Kebebasan Beragama AS Berusaha Cabut Undang-undang Anti-Pindah Keyakinan di India


Seorang perempuan Muslim yang mengenakan hijab tampak membawa anaknya berjalan di area pasar di Bengaluru, India, pada 13 Oktober 2022. (Foto: AP/Aijaz Rahi)
Seorang perempuan Muslim yang mengenakan hijab tampak membawa anaknya berjalan di area pasar di Bengaluru, India, pada 13 Oktober 2022. (Foto: AP/Aijaz Rahi)

Para pemimpin kelompok minoritas India mengatakan bahwa undang-undang anti-pindah keyakinan yang kontroversial dan sudah diberlakukan di beberapa negara bagian di India itu ditujukan untuk mempersekusi dan melecehkan minoritas Muslim dan Kristen di negara itu. Komisi Kebebasan Beragama Internasional AS (USCIRF) telah mengungkapkan keprihatinan mereka dan menyerukan pencabutan undang-undang tersebut.

“Undang-undang anti-pindah keyakinan tingkat negara bagian di India melanggar perlindungan hukum hak asasi manusia internasional untuk kebebasan beragama dan berkeyakinan. Mereka secara tanpa izin membatasi dan menghukum hak setiap orang untuk pindah keyakinan dan hak untuk membujuk atau mendukung orang lain untuk pindah keyakinan secara sukarela,” kata komisi itu dalam sebuah laporan yang diterbitkan pekan lalu, berjudul ‘Issue Update: India’s State-Level Anti-Conversion Laws.’

“Undang-undang anti-pindah keyakinan itu juga memperburuk kondisi kebebasan beragama di India, yang seperti dilaporkan USCIRF sudah buruk,” tambah komisi tersebut.

Berbagai kelompok dan para pemimpin agama Hindu dari partai nasionalis Hindu Bharatiya Janata yang menjadi partai penguasa saat ini menuduh para misionaris Kristen mendorong orang-orang di India untuk pindah agama melalui bujuk rayu, penggunaan kekerasan dan penipuan. Beberapa tahun terakhir, mereka juga mengklaim bahwa umat Muslim mengajak orang-orang untuk masuk Islam dengan cara yang tidak adil.

Terdapat undang-undang anti-pindah keyakinan tingkat negara bagian yang sudah diberlakukan di 12 dari 28 negara bagian India. Beberapa negara bagian lainnya tengah mempertimbangkan penerapan undang-undang serupa.

Negara-negara bagian yang sudah menerapkan undang-undang tersebut mengatakan bahwa mereka memberlakukannya untuk menangani perpindahan keyakinan secara paksa.

USCIRF mengatakan, sejumlah pasal dalam undang-undang itu, termasuk larangan pindah keyakinan, persyaratan pemberitahuan dan ketentuan pengalihan beban “tidak konsisten dengan perlindungan hukum hak asasi manusia internasional untuk kebebasan beragama atau berkeyakinan.”

“Masing-masing pasal ini melanggar hak-hak yang dilindungi oleh Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Perjanjian Internasional Hak-hak Sipil dan Politik,” ungkap komisi itu saat mengumumkan laporan tersebut. India merupakan negara pihak yang turut menandatangani deklarasi tersebut sejak tahun 1942. Negara itu juga meratifikasi perjanjian tersebut pada 1979.

Para penganut Kristen di Kolkata, India, berpartispasi dalam perayaan Paskah di kota tersebut pada 17 April 2022. (Foto: AFP/Dibyangshu Sarkar)
Para penganut Kristen di Kolkata, India, berpartispasi dalam perayaan Paskah di kota tersebut pada 17 April 2022. (Foto: AFP/Dibyangshu Sarkar)

Laporan itu juga memaparkan, “penegakan undang-undang anti-pindah keyakinan tingkat negara bagian itu menunjukkan niat legislasi itu untuk mencegah perpindahan keyakinan ke agama yang tidak disukai – seperti Kristen dan Islam – dan bukan untuk melindungi dari perpindahan keyakinan secara paksa.”

Chander Uday Singh, penasihat senior Mahkamah Agung India, mengatakan, “tidak ada keraguan” bahwa undang-undang anti-pindah keyakinan India “dimaksudkan untuk memarjinalisasi dan mempersekusi umat Muslim dan Kristen” dan bahwa apa yang disebut sebagai isu “jihad cinta” merupakan sebuah “produk keji dari imajinasi yang penuh kebencian.”

“Jihat cinta itu adalah mitos, kebohongan yang merusak, yang telah diulang ribuan kali meski terbukti tidak nyata… Beberapa institusi negara bagian dan nasional yang menyelidiki isu itu telah menutup penyelidikan mereka terhadap kasus bersangkutan, karena menemukan bahwa tidak ada yang namanya jihad cinta,” kata Singh kepada VOA.

Aktivis hak-hak umat Jesuit yang berbasis di Gujarat, Pendeta Cedric Prakash, mengatakan bahwa Pasal 25 Konstitusi India menjamin bahwa setiap orang memiliki hak untuk secara bebas berkhotbah, mempraktikkan dan menyebarkan agama mereka.

“Namun undang-undang anti-pindah keyakinan yang kejam ini melanggar hak-hak asasi warga negara India. Undang-undang anti-pindah keyakinan ini jelas-jelas dimaksudkan untuk menindak umat agama minoritas India, khususnya Muslim dan Kristen. Undang-undang itu juga dimaksudkan untuk mempolarisasi masyarakat berdasarkan masalah agama… dan untuk melegitimasi mayoritas di negara ini,” kata Prakash kepada VOA.

Meski demikian, para pemimpin partai berkuasa India bersikeras bahwa undang-undang itu diberlakukan untuk “menghentikan perpindahan keyakinan yang dilakukan secara paksa.”

“Di India, banyak orang yang pindah keyakinan karena janji pernikahan, rayuan uang dan juga lewat cara-cara tidak etis lainnya. Undang-undang anti-pindah keyakinan itu dimaksudkan untuk menghentikan praktik-praktik ilegal tersebut,” kata Alok Vats, pemimpin senior Partai Bharatiya Janata, kepada VOA.

“Kami tentu tidak punya masalah dengan perpindahan keyakinan secara sukarela. Tidak ada yang bisa menentang kebebasan seseorang untuk berpindah keyakinan secara sukarela.” [rd/jm]

Forum

Recommended

XS
SM
MD
LG