Tautan-tautan Akses

Koalisi Pro Demokrasi Tolak Pemidanaan KPU


Koalisi Masyarakat Demokrasi Indonesia menuntut polisi untuk tidak menindaklanjuti laporan Ketua Umum Hanura Oesman Sapta Odang terhadap semua komisioner KPU, Rabu (30/1). (VOA/Fathiyah)
Koalisi Masyarakat Demokrasi Indonesia menuntut polisi untuk tidak menindaklanjuti laporan Ketua Umum Hanura Oesman Sapta Odang terhadap semua komisioner KPU, Rabu (30/1). (VOA/Fathiyah)

Koalisi Masyarakat Demokrasi Indonesia menuntut polisi untuk tidak menindaklanjuti laporan Ketua Umum Hanura Oesman Sapta Odang yang akan mempidanakan semua komisioner KPU.

Perseteruan antara Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) Oesman Sapta Odang dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) berlanjut. Setelah KPU menolak memasukkan nama Oesman Sapta dalam daftar calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk Pemilihan Umum 2019, Partai Hanua yang diketuai Oesman Sapta Odang melaporkan seluruh komisioner KPU ke polisi.

Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) Oesman Sapta Odang (Courtesy: Facebook).
Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) Oesman Sapta Odang (Courtesy: Facebook).

Tindakan ini memicu kemarahan masyarakat sipil. Sejumlah lembaga nirlaba yang menamakan diri “Koalisi Masyarakat Demokrasi Indonesia” menuntut polisi untuk tidak menindaklanjuti laporan Hanura tersebut.

Dalam jumpa pers di kantor KPU di Jakarta, Rabu (30/1), koalisi ini menyampaikan pernyataan sikap mereka, yang menuding Oesman Sapta berusaha membajak Pemilihan Umum 2019 demi kepentingan pribadinya.

Dalam pernyataan sikap yang dibacakan oleh peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus, “Koalisi Masyarakat Demokrasi Indonesia” mengutuk pelaporan semua komisioner KPU ke polisi sebagai langkah-langkah untuk mendelegitimasi proses penyelenggaraan pemilihan umum yang taat kepada Undang-undang dasar 1945, Undang-undang Pemilu, dan putusan Mahkamah Konstitusi.

"Mengutuk tindakan pemanggilan penyelenggara pemilu dalam kasus-kasus pelaporan pidana yang merupakan bentuk pemaksaan kehendak individu atas kepentingan umum dalam penyelenggaraan pemilu. Mengutuk sikap individu yang tidak menghormati putusan KPU mematuhi UUD 1945, UU Pemilu, dan Putusan MK sebagai bentuk kemandirian lembaga penyelenggara pemilu yang tidak dapat diintervensi lembaga lain, apalagi kepentingan individu," ungkapnya.

“Koalisi Masyarakat Demokrasi Indonesia,” lanjut Lucius, menilai polisi sudah sewajarnya mendukung langkah KPU menjaga konstitusionalitas penylenggaraan Pemilihan Umum 2019.

“Koalisi Masyarakat Demokrasi Indonesia” ini terdiri dari beragam organisasi, yakni Netgrit, PSHK, JPPR, KIPP Indonesia, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Lingkar Madani Indonesia, PUSAKo, Kode Inisiatif, Rumah kebangsaan, Save DPD Save Democracy, Indonesia Corruption Watch (ICW), Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Pukat UGM, dan TEPI Indonesia.

Direktur Lingkar Madani Indonesia (LIMA), Ray Rangkuti. (VOA/Fathiyah)
Direktur Lingkar Madani Indonesia (LIMA), Ray Rangkuti. (VOA/Fathiyah)

Lingkar Madani Nilai Pelaporan KPU ke Polisi Akan Ganggu Tugas

Direktur Lingkar Madani Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti menilai pelaporan komisioner KPU ke polisi dapat mengganggu tugas-tugas lembaga itu dalam persiapan menuju pelaksanaan pemilihan umum legislatif dan presiden, yang akan dilangsungkan secara serentak pada 17 April mendatang.

"Sedikit banyak akan mengganggu tahapan pelaksanaan pemilu kita yang sudah mendekati hari H. Apalagi nanti kalau intensitas pemanggilan bertingkat, bisa-bisa rapat-rapat pengambilan keputusan di KPU tidak bisa dilaksanakan dan itu secara teknis pasti menghambat dan menghalangi tahapan pelaksanaan pemilu. Dan itu sanat berbahaya terhadap pemilunya," ujar Ray.

Ray Rangkuti mencontohkan batalnya pengumuman daftar calon anggota legislatif yang merupakan mantan narapidana kasus korupsi karena polisi memeriksa dua komisioner KPU, termasuk ketua KPU Arief Budiman, terkait laporan Hanura tersebut.

Menurut Ray, KPU memiliki dasar yang kuat untuk tidak memasukkan nama Oesman Sapta dalam daftar calon anggota DPD, yaitu putusan Mahkamah Konstitusi. Putusan MK secara tegas menyatakan pengurus partai dilarang menjadi calon anggota DPD. Aturan ini berlaku sejak Pemilihan Umum 2019.

Kisruh antara Oesman Sapta dan KPU makin keruh setelah Mahkamah Agung dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) juga membuat keputusan terpisah. Mahkamah Agung menyatakan putusan Mahkamah Konstitusi tepat tetapi tidak diberlakukan sekarang. Sementara Bawaslu menyatakan putusan ini boleh diberlakukan setelah terpilih nantinya.

Perludem Puji Keputusan KPU

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan keputusan KPU tentang Oesman Sapta Odang telah memberi kepastian hukum dan menunjukkan ketaatan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang memang mencerminkan nilai-nilai konstitusi.

"Tindakan KPU yang tidak memasukkan Pak Oesman Sapta ke dalam DCT tidak bisa dianggap sebagai kezaliman politik ataupun kezaliman hukum. Karena KPU mengambil langkah konstitusional untuk memastikan penyelenggaraan pemilu yang adil dan sesuai dengan nilai konstitusi," tukas Titi.

Titi mendorong KPU memberlakukan aturan yang konsisten dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang juga diterapkan KPU kepada 203 calon anggota DPD lainnya yang tadinya pengurus partai politik.

Koalisi Pro Demokrasi Tolak Pemidanaan KPU
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:03:53 0:00

Ditambahkannya, pernyataan sikap dari “Koalisi masyarakat Demokrasi Indonesia” itu adalah cerminan dari suara masyarakat yang menghendaki proses pemilihan umum dilaksanakan dengan cara jujur, adil, dan demokratis. Mestinya, lanjutnya, semua pihak tidak mengabaikan suara-suara masyarakat yang ingin memastikan hak-hak mereka dalam Pemilihan Umum 2019 tidak dicederai oleh terancamnya penyelnggaraan pemilu yang terus mempersoalkan pengaturan pemilu yang konstitusional.

Partai Hanura melaporkan seluruh komisioner KPU dengan tuduhan melanggar Pasal 421 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang menyatakan seorang pejabat yang menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang untuk melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan. [fw/em]

Recommended

XS
SM
MD
LG