Tautan-tautan Akses

Ketika "Emak-Emak" Cegah Kekerasan Seksual pada Anak


Tim FPAK menelusuri gang saat akan kembali ke kantor desa Kertamulya. (Foto: VOA/Rio Tuasikal)
Tim FPAK menelusuri gang saat akan kembali ke kantor desa Kertamulya. (Foto: VOA/Rio Tuasikal)

Sepanjang 2017, kekerasan seksual telah memakan korban hampir 400 anak. Pelaku kekerasan seksual seringkali merupakan kerabat atau orang dekat korban. Di Bandung, kelompok emak-emak aktif mengedukasi masyarakat untuk mencegah kekerasan seksual pada anak.

Sentuhan boleh

Sentuhan boleh

Kepala tangan kaki

Karena sayang karena sayang

Karena sayang

Sentuhan tidak boleh

Sentuhan tidak boleh

Yang tertutup baju dalam

Hanya diriku hanya diriku

Yang boleh menyentuh

Lagu ‘Sentuhan Boleh, Sentuhan Tidak Boleh’ ini selalu membuka kunjungan kelompok “emak-emak” Kertamulya dalam kampanye mencegah kekerasan seksual terhadap anak.

Selasa (16/10/2018) pagi itu, suasana di PAUD Kasih Ibu di Desa Kertamulya, Kabupaten Bandung Barat, pun langsung meriah. Sekitar 20-an anak dan orang tua siswa ikut menyanyi dan menari.

Anggota FPAK tengah mengedukasi murid dan orang tua di PAUD Permata Hati. (VOA/Rio Tuasikal)
Anggota FPAK tengah mengedukasi murid dan orang tua di PAUD Permata Hati. (VOA/Rio Tuasikal)

Dasmiyati, salah seorang “emak-emak” Forum Perlindungan Anak Kertamulya (FPAK), menjelaskan tujuan lagu ini. “Mempermudah penyampaian buat anaknya. Supaya anak-anaknya tahu mana yang boleh mana yang dilarang,” ujar perempuan 64 tahun ini.

Lagu ini mengawali sosialisasi rutin tiga bulanan kepada warga setempat ketika kekerasan seksual terhadap anak terus terjadi. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat, pada Januari-Februari 2018, sudah ada 117 Anak korban kekerasan seksual dan 22 pelaku. Sementara pada 2017, terdapat 393 korban dan 66 pelaku.

Salah seorang warga yang ikut acara pagi itu, Aisyah, mengaku tersadar akan potensi kekerasan seksual terhadap anaknya.

“Saya menyadari. Jangan sampai lah (terjadi). Nanti misalkan ada yang memegang lebih dalam (bagian tubuh), misalnya orang yang jualan. Kita harus beritahu kepada anak. Dari mana? Apa yang dipegang sama tukang dagang itu? Kita harus lebih teliti nanya ke anak. Main dari mana? Main apa? Dipegang nggak? Kita harus teliti kepada anak-anak. Jangan sampai,” jelasnya yang anak ketiganya masih berusia 5 tahun.

Dasmiyati (kedua kanan) bersama empat koleganya usai melakukan kunjungan rutin dua PAUD di Desa Kertamulya. (Foto: VOA/Rio T.)
Dasmiyati (kedua kanan) bersama empat koleganya usai melakukan kunjungan rutin dua PAUD di Desa Kertamulya. (Foto: VOA/Rio T.)

FPAK berdiri sejak tahun 2015 atas gagasan organisasi pemerhati anak, Save the Children. Pada tahun yang sama, lembaga ini dilengkapi dengan sistem paralegal dan penguatan kapasitas oleh Lembaga Advokasi Hak Anak (LAHA).

Forum ini terdiri atas 15 anggota dan diketuai langsung Sekretaris Desa Kertamulya. Selama tiga tahun, mereka rutin mengunjungi 25 RW yang tersebar. Selain edukasi warga, forum ini jadi wadah musyawarah warga terkait kenakalan remaja atau anak yang berhadapan dengan hukum.

Enam orang “emak-emak”, dari usia 30 sampai 60, menjadi ujung tombak sosialisasi kepada warga. Pada hari itu, dengan naik angkot dan berjalan menelusuri gang, FPAK mengunjungi 2 PAUD di 2 RW berbeda.

Murid-murid PAUD Kasih Ibu Desa Kertamulya, Kabupaten Bandung Barat, mengikuti program edukasi warga mengenai perlindungan anak. (VOA/Rio).
Murid-murid PAUD Kasih Ibu Desa Kertamulya, Kabupaten Bandung Barat, mengikuti program edukasi warga mengenai perlindungan anak. (VOA/Rio).

Seorang warga, Rina Rubianti, mengatakan kehadiran FPAK membantunya memilih pola asuh anak, misalnya tentang mengelola penggunaan gawai (gadget). “Setelah ini FPAK ke sini,alhamdulillah mendapat edukasi tersendiri buat saya pribadi. Tentang gadget alhamdulillahbaik sekali,” jelasnya kepada VOA.

Sebagian anggota FPAK memiliki PAUD sendiri dan tergabung dalam kelompok PKK. Dengan demikian, kata Dasmiyati, edukasi masyarakat jadi lebih efektif.

“Pertama emang lebih mudah. Dan kita kan berhadapan dengan gurunya. Jadi kita bisa untuk meneruskan apa yang dibicarakan kita nanti bisa dilanjutkan sama gurunya. Karena kalau kita sendiri berkunjung paling hanya 3 bulan sekali. Tapi kalau dengan gurunya kan bisa terusan disosialisasikan ke anaknya dan ibunya,” tambahnya.

Selama 2017-2018, FPAK telah menangani 14 kasus. Tiga kasus di antaranya adalah kekerasan seksual, 4 kasus kenakalan remaja, 3 kasus anak berhadapan dengan hukum, 2 kasus penelantaran anak, 1 kasus kecerobohan orang tua, dan 1 anak kecelakaan sehingga disabilitas.

Ketua FPAK yang juga Sektretaris Desa Kertamulya, Solahudin, mengatakan kesadaran warga di wilayahnya akan perlindungan anak terus tumbuh.

"Dari tiga tahun ini tentunya banyak melakukan penanganan kasus terhadap anak. Ini untuk kasus lingkup wilayah desa. Ada eksploitasi, penelantaran, juga (kekerasan) secara psikologis terhadap anak," tuturnya.

Paralegal Desa Kertamulya, Dindin Awaludin, menyampaikan pentingnya mengelola penggunaan gawai (gadget) dalam mengasuh anak. (Foto: VOA/Rio T.)
Paralegal Desa Kertamulya, Dindin Awaludin, menyampaikan pentingnya mengelola penggunaan gawai (gadget) dalam mengasuh anak. (Foto: VOA/Rio T.)

Para anggota FPAK mengatakan persahabatan sesama “emak-emak” telah menjaga semangat mereka. Sementara bagi warga seperti Aisyah, semangat jajaran srikandi itu telah menginspirasinya mengedukasi masyarakat lebih luas.

“Kita harus bisa melihat anak-anak ataupun beritahu kepada ibu-ibu yang sekolah di sini, ataupun yang di luar sekolah ini, kita juga harus bisa kasih tahu,” pungkasnya. (rt/em)

Recommended

XS
SM
MD
LG