Tautan-tautan Akses

Kemenkes: Tak Ada Larangan Berkunjung ke Gunungkidul Karena Antraks


Seorang petugas dari dinas peternakan menyuntik mati kambing yang terinfeksi Anthraks di Jawa Barat, 26 Oktober 2004. (Foto: Reuters/arsip)
Seorang petugas dari dinas peternakan menyuntik mati kambing yang terinfeksi Anthraks di Jawa Barat, 26 Oktober 2004. (Foto: Reuters/arsip)

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyatakan tidak ada larangan berkunjung ke Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta meskipun ada 21 kasus antraks pada manusia dan 9 kasus hewan pada Desember 2019 lalu.

Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kementerian Kesehatan, Anung Sugihantoro mengatakan kejadian luar biasa Antraks di Kabupaten Gunungkidul sudah dapat dikendalikan pemerintah.

Menurutnya, pada awal 2020 ini sudah tidak ditemukan lagi kasus antraks, yang sebelumnya ada 21 kasus manusia dan 9 kasus hewan.

Terbaru, Kemenkes menerima laporan ada kasus kematian hewan pada 6 Januari lalu, tetapi belum dapat dipastikan karena antraks. Karena itu, kata Anung, pemerintah pusat dan daerah bersepakat untuk tidak melarang masyarakat berkunjung ke Gunungkidul.

"Kita ingin meningkatkan kewaspadaan, tanpa membuat kepanikan. Jadi bupati dan gubernur, kami (Kemenkes) sepakat bahwa tidak ada larangan berkunjung ke Gunungkidul. Tidak perlu ada yang perlu dikhawatirkan, tapi kewaspadaan perlu ditingkatkan," jelas Anung Sugihantoro di Jakarta, Senin (20/01/2020).

Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Anung Sugihantoro usai konferensi pers soal antraks di kantor Kemenkes, 20 Januari 2020, di Jakarta. (Foto: Sasmito Madrim/VOA)
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Anung Sugihantoro usai konferensi pers soal antraks di kantor Kemenkes, 20 Januari 2020, di Jakarta. (Foto: Sasmito Madrim/VOA)

Mengutip website depkes.go.id, antraks disebabkan oleh bakteri Bacillus Anthracis yang memiliki sifat akut dan dapat menimbulkan kematian. Bakteri ini dapat menyerang hewan pemamah biak dan hewan mamalia lainnya, termasuk manusia. Gejala antraks pada kulit yang khas berupa bengkak kemerahan yang terasa gatal, panas, dan di bagian tengah berwarna kehitaman, merasa mual, atau mengalami diare.

Anung Sugihantoro menambahkan kementeriannya juga akan mengadakan pelatihan untuk tenaga kesehatan sekabupaten Gunungkidul pada Januari 2020 ini. Pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas tenaga kesehatan dalam mendiagnosa antraks. Selain itu, dinas kesehatan setempat juga akan memberikan alat pelindung diri (APD) kepada masyarakat yang berisiko.

"Insya Allah minggu ini atau minggu depan masih mencocokkan jadwal narasumber, tenaga-tenaga kesehatan khususnya dokter baik di puskesmas atau klinik-klinik milik swasta itu akan ditingkatkan kapasitasnya agar lebih cepat mengenali persoalan ini," tambah Anung.

Kantor Kementerian Kesehatan di Jakarta, 20 Januari 2020. (Foto: Sasmito Madrim/VOA)
Kantor Kementerian Kesehatan di Jakarta, 20 Januari 2020. (Foto: Sasmito Madrim/VOA)

Ia menjelaskan tim lapangan yang terdiri dari dinas kesehatan dan dinas pertanian setempat juga telah melakukan analisa dengan membuat peta sebaran antraks pada hewan, manusia dan lingkungan. Pemerintah juga akan melanjutkan vaksinasi dan pengobatan untuk ternak untuk mencegah antraks.

Menurut Anung, kuman antraks dapat bertahan sampai puluhan tahun dan dapat menular melalui tanah, rumput untuk pakan ternak dan pupuk kandang. Ia menyarankan masyarakat agar menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat. Antara lain menggunakan alat pelindung diri jika beraktifitas di lokasi tercemar spora, tidak menyembelih dan mengkonsumsi hewan sakit atau mati, dan berobat ke fasilitas kesehatan jika mengalami gejala antraks.

Kasus antraks juga pernah terjadi di Gunungkidul pada Juni 2019 dengan 3 kasus pada manusia dan 5 kasus hewan. Selain di Gunungkidul, kasus Antraks juga pernah terjadi di Kabupaten Kulonprogro, Yogyakarta pada periode 2016-2017 dengan 16 kasus manusia dan 19 kasus pada hewan. [sm/ft]

Recommended

XS
SM
MD
LG