Tautan-tautan Akses

Kemenkes: Jumlah Kasus COVID-19 Subvarian XBB Naik Jadi 48


ILUSTRASI - Petugas kesehatan mengenakan APD di ruang isolasi pasien COVID-19 di IGD RS Persahabatan, Jakarta, memberikan isyarat kepada rekannya seusai pengambilan sampel usap, 13 Mei 2020. (Foto: REUTERS/Willy Kurniawan)
ILUSTRASI - Petugas kesehatan mengenakan APD di ruang isolasi pasien COVID-19 di IGD RS Persahabatan, Jakarta, memberikan isyarat kepada rekannya seusai pengambilan sampel usap, 13 Mei 2020. (Foto: REUTERS/Willy Kurniawan)

Kementerian Kesehatan mengatakan jumlah kasus konfirmasi positif COVID-19 subvarian XBB meningkat menjadi 48. Diperkirakan subvarian omicron tersebut akan segera mendominasi kasus COVID-19 di tanah air. 

Perkembangan jumlah kasus subvarian XBB disampaikan Juru Bicara Kementerian Kesehatan Mohammad Syahril. “XBB sudah mulai mendominasi dan menggeser BA.4 dan BA.5 dan tercatat sampai hari ini XBB ada 48 kasus,” ungkap Syahril dalam telekonferensi pers di Jakarta, Kamis (10/11).

Ia menjelaskan, saat ini terjadi kenaikan kasus konfirmasi positif COVID-19 dengan positivity rate mencapai level 19,91 persen. Per 9 November, ujarnya, tercatat ada 30 provinsi yang mengalami kenaikan rata-rata kasus harian dalam seminggu terakhir.

“Rangkuman dalam seminggu terakhir, kasus konfirmasi memang mengalami peningkatan sebanyak 47,24 persen dari 5.000 kasus harian naik ke 6.186 kasus,” tuturnya.

Selain itu, jumlah kematian dalam kurun waktu sepekan terakhir juga meningkat menjadi 47 dari 37 pasien. Tren kenaikan tersebut sejalan dengan prosentase pemakaian tempat tidur bagi pasien COVID-19 atau bed occupancy ratio (BOR) di rumah sakit yang naik 30 persen dari 5.700 menjadi 6.310.

“Dengan kenaikan kasus ini kami melakukan kajian terhadap pasien-pasien yang dirawat di RS periode 8 Oktober-8 November. Ini ternyata, lima persen pasien yang dirawat di rumah sakit itu di ruang ICU, berarti pasien yang memiliki gejala berat atau kritis itu lima persen, sementara 95 persen lainnya dirawat di ruang isolasi,” jelasnya.

Pihak Kemenkes, juga melakukan penelitian terhadap pasien COVID-19 yang memiliki gejala sedang, berat hingga kritis yang dirawat di rumah sakit. Hasilnya adalah, dari 10.600 pasien yang dirawat sebanyak 40 persen belum divaksin, dan hanya sekitar 26 persen pasien saja yang sudah mendapat booster.

“Kesimpulannya adalah ada 74 persen pasien yang dirawat di rumah sakit ini belum di-booster. Sementara yang belum divaksin ada 40 persen. Ini menjadi catatan kita sendiri bahwa pasien-pasien yang dirawat inap dengan gejala berat, sedang dan kritis itu kalau melihat (status) vaksinasi memang memprihatinkan,” paparnya.

Sementara itu, jika dilihat dari pasien COVID-19 yang meninggal sebanyak 1.373 pasien, tercatat 48 persen sama sekali belum divaksin, dan hanya 16 persen yang telah menerima vaksin dosis ketiga atau booster. Sekitar 84 persen pasien yang meninggal belum menerima booster.

“0,99 persen pasien yang meninggal sudah divaksin booster. Jadi yang meninggal sedikit. Tapi yang belum divaksin lengkap lebih tinggi sebanyak 3,51 persen,” katanya.

Vaksinasi COVID-19 di Jakarta, 17 Agustus 2021. REUTERS/Ajeng Dinar Ulfiana
Vaksinasi COVID-19 di Jakarta, 17 Agustus 2021. REUTERS/Ajeng Dinar Ulfiana

Syahrir mengakui perkembangan upaya pemberian booster berlangsung lambat. Menurutnya, sampai detik ini, pemerintah setidaknya sudah menyuntikkan 443 juta dosis vaksin kepada masyarakat yang terdiri dari vaksin booster sebanyak 36 persen, dosis kedua sebanyak 73 persen, dan dosis pertama sebanyak 87 persen.

Dalam kesempatan ini, Syahril mengimbau kepada masyarakat untuk segera melengkapi vaksinasi COVID-19, karena sudah terbukti mengurangi tingkat keparahan gejala dan kematian. Ia juga menegaskan bahwa pemberian booster kedua atau vaksin dosis ke-4 belum menjadi prioritas pemerintah untuk saat ini.

Pola atau Siklus Berulang

Ahli Epidemiologi dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman menuturkan peningkatan kasus COVID-19 baik pada tingkat global maupun nasional menunjukkan bahwa virus corona tersebut cenderung memiliki pola berulang terkait gelombang kasus yang dihasilkan, yang umumnya dipengaruhi oleh aktiivtas dan mobilitas global yang kembali meningkat secara signifikan.

“Dampaknya di satu belahan dunia ini mau tidak mau berdampak pada bagian belahan dunia lain yang walaupun itu tidak dalam musim yang dingin, kenapa? Karena mobilitasnya cepat dan berikutnya ketika di belahan dunia lain berdampak di periode berikutnya ya dia juga akan berdampak ke wilayah dunia yang lain. Seperti halnya flu yang akan mengalami siklus berulang,” ungkap Dicky kepada VOA.

Lebih jauh Dicky mengamati bahwa subvarian XBB memiliki pola lain yang tidak bisa dianggap sepele. Subvarian tersebut, ujar Dicky, sangat mudah menular dan bahkan mernginfeksi mereka yang sudah terkena COVID-19 sebelumnya. Selain itu, katanya, XBB juga lebih gesit dalam menghindari i antibodi jdibanding subvarian-subavraian lainnya. Menurutnya, hal ini perlu menjadi perhatian serius, karena bukan tidak mungkin vaksin tidak bisa mengatasinya.

“Hal lain yang dibawa XBB ini, dibeberapa kasus menunjukkan bahwa potensi dia menyebabkan terjadinya infeksi sekunder cukup tinggi karena menurunnya daya tahan tubuh sehingga akhirnya si penderita lebih mudah terinfeksi oleh infeksi sekunder seperti oleh virus atau bakteri lain. Itu membuat situasi kenaikan atau trend gelombang pada saat ini tidak bisa diremehkan, khususnya pada kelompok yang rawan,” tuturnya.

Kemenkes: Jumlah Kasus COVID-19 Subvarian XBB Naik Jadi 48
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:02:54 0:00

Ia juga mengingatkan pemerintah bahwa peningkatan kasus COVID-19 saat ini, terjadi di tengah keterbatasan testing dan tracing sehingga bukan tidak mungkin ada banyak kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat.

“Apalagi dengan kasus di angka 6.000 kematiannya 40-an dan (negara) tetangga kita dengan kasus 6.000 kematiannya hanya 10-an. Itu menunjukkan ada maslah serius di sistem pelayanan kesehatan kita, yang belum terselesaikan selama masa pandemi, dari mulai deteksi dini sampai masalah rujukan atau upaya menemukan pasien. Artinya satu kasus kematian bisa merepresentasikan lebih banyak kasus infeksi yang tidak terdeteksi,” pungkasnya. [gi/ab]

Forum

Recommended

XS
SM
MD
LG