Tautan-tautan Akses

Kelompok Rentan Desak Pemerintah Buat UU Anti Diskriminasi


Para aktivis gay Indonesia memegang poster saat melakukan aksi protes untuk menuntut kesetaraan bagi kelompok LGBT di Jakarta (foto: dok).
Para aktivis gay Indonesia memegang poster saat melakukan aksi protes untuk menuntut kesetaraan bagi kelompok LGBT di Jakarta (foto: dok).

Koalisi Nasional Kelompok Rentan Anti Diskriminasi (KAIN) mendesak pemerintah untuk segera membuat Rancangan Undang-undang (RUU) Anti Diskriminasi untuk melindungi mereka dari diskriminasi dan kekerasan yang semakin meningkat setiap tahunnya. 

Koalisi nasional ini mencakup kelompok disabilitas, kelompok minoritas agama, kelompok perempuan, kelompok penyandang HIV dan kelompok populasi kunci – yang terdiri atas wanita pekerja seks (WPS), transgender, lelaki yang menjalin hubungan seks dengan sesama jenis, dan pengguna napza suntik (penasun).

Jihan Faatihah dari Perempuan Mahardika – yang tergabung dalam koalisi itu -- mengatakan, diskriminasi yang dialami perempuan di tanah air cukup beragam. Kentalnya budaya patriarki di Indonesia menurutnya, mengakibatkan kesempatan kaum perempuan baik di sektor ketenagakerjaan dan pendidikan lebih terbatas dibanding kaum laki-laki. Ini, katanya, mengakibatkan tingkat kemiskinan di kalangan perempuan selalu jauh lebih tinggi.

“Perempuan lebih banyak bekerja di sektor-sektor paling berisiko terdampak krisis, dimana rentang usianya banyak dari muda sampai tua. Perempuan yang di dalam budaya patriarki adalah kelas dua sejak kecil banyak. Bahkan perempuan muda yang merupakan anggota Perempuan Mahardika itu banyak sekali yang sudah bekerja di sektor garmen, usia 18 tahun karena ada situasi kemiskinan dan persoalan diskriminasi gender yang mereka alami. Ketika dia punya abang laki-laki yang didahulukan untuk sekolah dan perempuannya yang bekerja di pabrik,” ungkap Jihan dalam konferensi pers di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), di Jakarta, Jumat (25/8).

Sebuah aksi protes di Jakarta yang memrotes diskriminasi terhadap perempuan (foto: dok).
Sebuah aksi protes di Jakarta yang memrotes diskriminasi terhadap perempuan (foto: dok).

Kondisi serupa juga masih dialami oleh penyadang disabilitas. Sipora Purwanti dari Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) mengatakan meskipun sudah banyak peraturan yang dikeluarkan untuk memfasilitasi penyandang disablitas dalam dunia kerja, faktanya diskriminasi tetap masih terjadi.

Selain itu, kata Purwanti, semakin berat kondisi disabilitasnya maka akan semakin tinggi pula diskriminasi yang dialami.

“Menurut data ada 17 ribu kawan-kawan disabilitas yang usia produktif, sedangkan yang bisa diserap dalam dunia kerja cuma 7.000. Ini kemana yang lainnya? Ini tentu saja banyak sekali persoalan, apakah berkaitan dengan implementasi kebijakannya, apakah berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan seperti aksesibilitas dan akomodasi yang layak, ataukah memang sangat sempit peluang kerja bagi kawan-kawan disabilitas. dan kami sangat merasakan bahwa diskriminasi itu sangat berlapis,” tutur Purwanti.

Penyandang disabilitas dari Persatuan Aksi Sosial Tuna Netra Indonesia (PASTI) berunjuk rasa di luar kantor MUI di kawasan Proklamasi, Menteng, Jakarta Pusat. (Foto dok: VOA/Fathiyah)
Penyandang disabilitas dari Persatuan Aksi Sosial Tuna Netra Indonesia (PASTI) berunjuk rasa di luar kantor MUI di kawasan Proklamasi, Menteng, Jakarta Pusat. (Foto dok: VOA/Fathiyah)

Khanza Vina dari Sanggar Waria Remaja (SWARA) menyatakan, diskriminasi terhadap komunitas LGBT kerap dipolitisasi.

“Kita bisa melihat kemarin misalnya bagaimana beberapa penolakan terhadap event yang diselenggarakan teman-teman. Padahal itu adalah diskusi untuk belajar mekanisme HAM, dan bagaimana itu dipolitisasi dan kemudian di blow up ke media seakan-akan itu adalah acara teman-teman yang tidak sesuai dengan konteksnya,” ungkap Vina.

“Penolakan itu juga didasari oleh apa yang sudah dimandatkan konstitusi terkait dengan hak-hak yang seharusnya bisa dinikmati oleh warga negara. Kondisi ini mungkin akan terus memburuk mengingat tahun depan kita dihadapkan pada pemilu, yang kita tahu pada momentum pesta demokrasi, tentu isu-isu kelompok minoritas gender dan seksual itu adalah isu yang bisa menarik atensi publik, dan jika kita kurang waspada terkait dengan politisasi isu ini, akan ada kelompok yang dirugikan,” tambahnya.

Pram Rachmono dari Yayasan Berkebaya Yogyakarta menyatakan, diskriminasi yang dialami oleh orang dengan HIV (ODHIV) sering berlapis.

Ia mencontohkan, masih banyak tempat kerja yang memberhentikan pegawainya apabila ketahuan mengidap HIV positif. Selain itu, masih ada beberapa sekolah yang menolak anak dengan HIV positif untuk bisa belajar di sekolah tersebut. Tidak tersedianya obat ARV yang menyeluruh di pelosok tanah air, dan belum adanya ARV yang layak untuk anak penyandang HIV masih menjadi persoalan.

Yang tak kalah memprihatinkan, kata Pram, masih terbatasnya rumah aman bagi ODHIV, padahal banyak di antara mereka yang ditolak atau dibuang oleh keluarganya sendiri.

“Hal-hal seperti itu yang membuat teman-teman ODHIV enggan melakukan pengobatan karena takut statusnya diketahui dan dikucilkan, tidak mau melakukan tes dari awal, karena takut mendapatkan diksriminasi. Mereka belajar dari lingkungan, dari teman-teman yang sudah mengalami diskriminasi,” kata Pram.

Berdasarkan Global Inclusiveness Index 2022, Indonesia berada di posisi 103 dari 136 negara, setelah sempat berada di posisi ke-96 pada 2021. Peringkat Indonesia terkini tersebut lebih parah daripada Kenya dan Uni Emirat Arab.

Sejumlah pengamat menilai, diskriminasi di Indonesia sebagian juga dipicu oleh peraturan yang tidak jelas. Penelitian dari LBH Masyarakat menunjukkan bahwa lebih dari 200 peraturan ketertiban umum di tingkat daerah bersifat multitafsir, sehingga kerap digunakan untuk mengkriminalisasi orang dengan HIV dan populasi kunci.

“Maka, dari itu, kami dari Koalisi Nasional Kelompok Rentan Anti Diskriminasi, dengan ini mendesak Pemerintah Republik Indonesia untuk salah satunya membentuk undang-undang penghapusan segala bentuk diskriminasi yang komprehensif untuk pengakuan, perlindungan, pencegahan, dan pemulihan hak-hak korban diskriminasi,” pungkas Jihan. [gi/ab]

Forum

Recommended

XS
SM
MD
LG