Tautan-tautan Akses

Jokowi: Transisi Energi adalah Hal yang Kompleks


Presiden Jokowi menyampaikan pidato pada "S20 High Level Policy Webinar on Just Energy Transition" di Jakarta, 17 Maret 2022. (Twitter/setkabgoid)
Presiden Jokowi menyampaikan pidato pada "S20 High Level Policy Webinar on Just Energy Transition" di Jakarta, 17 Maret 2022. (Twitter/setkabgoid)

Presiden Joko Widodo mengungkap tiga tantangan utama dalam melakukan transisi energi.

Presiden Joko Widodo menilai transisi energi bukan hanya sekedar mengubah penggunaan bahan bakar fosil ke energi terbarukan. Upaya melakukan transisi ke penggunaan energi yang lebih ramah lingkungan menuriutnya sangat kompleks karena menyangkut berbagai aspek sosial, ekonomi dan lingkungan.

“Transisi energi akan mengubah banyak hal. Perubahan pekerjaan, skenario pembangunan, orientasi bisnis dan lainnya. Karena itu, dibutuhkan strategi dan mekanisme yang tepat untuk mengidentifikasi tantangan saat ini dan tantangan di masa depan agar transisi energi rendah karbon yang adil dan merata, dapat terlaksana dengan baik,” ungkap Jokowi dalam acara S20 High Level Policy Webinar on Just Energy Transition, di Jakarta, Kamis (18/3).

Menurutnya, ada tiga tantangan besar dalam transisi energi yang perlu mendapat perhatian. Pertama, ujar Jokowi, masih banyak masyarakat di dunia kesulitan untuk mendapatkan akses energi yang terjangkau, andal, berkelanjutan dan modern. “Kita harus mendorong energi bersih untuk semua, terutama energi untuk elektrifikasi dan clean cooking, leaving no one behind,” tuturnya.

Tantangan kedua, ujarnya, adalah pendanaan. Karena membutuhkan dana yang sangat besar, Indonesia memerlukan investasi baru. Pemerintah perlu mekanisme pembiayaan yang tepat agar tercipta keekonomisan serta harga yang kompetitif dan tidak membebani masyarakat.

Tantangan selanjutnya yang tidak kalah penting adalah riset dan teknologi. Mantan Gubernur DKI Jakarta ini menilai peran ilmu pengetahuan dan teknologi sangat diperlukan untuk menciptakan inovasi yang lebih efisien dan kompetitif.

Dalam kesempatan ini, Jokowi juga menyoroti perlunya persiapan dari segi kompetensi dan keahlian mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, sehingga tercipta SDM tanah air yang unggul untuk bisa mendukung proses transisi energi ini.

Meskipun ketiga tantangan tersebut cukup berat, Jokowi meyakini, peluang-peluang baru akan semakin terbuka lebar.

Sebagai pemegang Presidensi G20, Jokowi berharap ajang tersebut bisa menjembatani dan mendorong negara-negara berkembang dan maju untuk mengakselerasi proses transisi energi di tingkat global yang adil dan berkelanjutan.

“Negara yang bebannya berat harus dibantu, dan diberikan kemudahan. Negara yang sudah siap bisa jalan terlebih dahulu sambil membantu negara lain yang belum mampu. Kita harus membangun lebih banyak kolaborasi untuk mempermudah akses layanan energi yang terjangkau, menciptakan inovasi teknologi, dan terobosan pendanaan, merumuskan strategi yang konsisten, dan berkelanjutan,” jelasnya.

Kebijakan Pemerintah Tidak Pro Energi Terbarukan

Peneliti Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Adila Isfandiari menilai berbagai tantangan yang disebutkan oleh Jokowi dalam proses transisi energi sebetulnya bisa diatasi dengan baik. Sayangnya, menurut Adila, kebijakan yang saat ini dijalankan oleh pemerintah tidak berpihak kepada pengembangan energi terbarukan.

Aktivis yang akrab dipanggi Dila itu menyoroti pernyataan Jokowi yang menganggap bahwa transisi energi membutuhkan dana yang sangat besar. Namun, katanya, pemerintah malah berencana untuk membangun PLTU baru sebesar 13,8 giga watt di Jawa dan Sumatera yang sudah over supply pasokan listrik hingga 50 persen. Menurutnya, ini hanya membuang anggaran, apalagi PLTU tersebut harus dipensiunkan karena Indonesia mengikuti perjanjian Iklim Paris.

“Di COP 26 kita juga sudah janji untuk faced out kalau bisa di 2040. Itu kita harus membayar untuk faced out-nya lagi. Kenapa gak dana-dana tersebut itu dialihkan saja ke energi terbarukan, karena ya sudah over supply, kemudian nanti harus di faced out kan dan butuh biaya lagi. Pemerintah mengeluh, kalau akan menutup PLTU butuh dana besar, ya kalau memang begitu, kenapa dibangun terus yang baru?,” ungkap Dila kepada VOA.

PLTU Teluk Sepang di Bengkulu. (Foto courtesy: Trend Asia)
PLTU Teluk Sepang di Bengkulu. (Foto courtesy: Trend Asia)

Dila mengakui, bahwa proses transisi energi membutuhkan dana yang tidak sedikit. Maka dari itu, pemerintah seharusnya bisa untuk mencari dukungan atau alternatif pembiayaan untuk mengembangkan energi terbarukan tersebut. Menurutnya, upaya pemerintah untuk melakukan hal tersebut masih belum optimal.

“Kita melihat contohnya IKN. Pemerintah benar-benar usaha untuk mencarikan pendanaan sampai bikin SWF, UU-nya cepat banget jadi. Beda sekali sama energi terbarukan ini, yang diserahkan semuanya ke pasar, kalau memang pasar mau mendanai ya sudah danain saja, Tapi UU energi terbarukan belum jadi sampai sekarang, jadi tidak ada kepastian hukum,” jelasnya.

Greenpeace Indonesia mencatat, sampai saat ini pemanfaatan energi baru terbarukan di tanah air masih sekitar 2,5 persen. Porsi ini, kata Dila, masih sangat minim mengingat potensi energi ramah lingkungan yang sangat besar di Indonesia. Rendahnya pemanfaatan ini membuat para pengusaha di bidang energi terbarukan sulit mempertahankan bisnis mereka. [gi/ab]

Recommended

XS
SM
MD
LG