Tautan-tautan Akses

Jelang Hari AIDS Sedunia, UNAIDS Keluarkan “Peringatan Keras”


Seorang dokter tampak mengambil sampel darah dari atlet sebagai bagian dari tes HIV/AIDS dalam Festival Olahraga di Lagos, Nigeria, pada 1 Desember 2012. (Foto: AP/Sunday Alamba)
Seorang dokter tampak mengambil sampel darah dari atlet sebagai bagian dari tes HIV/AIDS dalam Festival Olahraga di Lagos, Nigeria, pada 1 Desember 2012. (Foto: AP/Sunday Alamba)

Menjelang peringatan Hari AIDS Sedunia pada 1 Desember mendatang, Program Gabungan PBB Untuk HIV/AIDS (UNAIDS) mengeluarkan “peringatan keras” bahwa AIDS masih akan tetap menjadi pandemi, dan bahwa “tindakan berani melawan ketidaksetaraan” diperlukan “untuk mengakhiri AIDS, memberantas COVID-19 dan bersiap menghadapi pandemi (lain) di masa depan.”

Berbicara pada wartawan di New York pada Senin (29/11), Direktur Kantor UNAIDS di New York Dr. Cesar Nunez mengatakan tahun ini menandai 40 tahun sejak AIDS pertama kali dilaporkan, dan 25 tahun sejak pembentukan UNAIDS oleh Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (ECOSOC).

Lebih jauh ia mengatakan laporan UNAIDS yang dirilis pada Senin (29/11) menunjukkan bahwa hingga akhir Juni 2021 ini, terdapat sekitar 28,2 juta orang di seluruh dunia yang memiliki akses pada obat-obatan anti-retroviral, atau 73 persen dari semua orang yang mungkin membutuhkan obat-obatan tersebut.

Nunez mengatakan pada awal pandemi COVID-19 “kami mendapat kesan bahwa orang yang hidup dengan HIV tidak akan terpengaruh secara berbeda oleh COVID-19. Hal ini terbukti salah. Mereka mengalami dampak yang lebih parah dan memiliki jumlah penderita komorbiditas yang lebih tinggi dibanding orang yang tidak hidup dengan HIV. Pada pertengahan tahun 2021, kebanyakan orang yang memiliki HIV tidak memiliki akses pada vaksin COVID-19 dan ini merupakan tantangan.”

Dalam foto yang diambil pada 15 November 2012, seorang pasien tampak menjalani pemeriksaan di klinik khusus penanganan HIV/AIDS di Rumah Sakit Helen Joseph di Johannesburg, Afrika Selatan. (Foto: AP)
Dalam foto yang diambil pada 15 November 2012, seorang pasien tampak menjalani pemeriksaan di klinik khusus penanganan HIV/AIDS di Rumah Sakit Helen Joseph di Johannesburg, Afrika Selatan. (Foto: AP)

Kepala Kantor UNAIDS di New York itu memaparkan penelitian dari Inggris dan Afrika Selatan yang mendapati bahwa risiko kematian akibat COVID-19 diantara orang yang hidup dengan HIV adalah dua kali lipat dibanding populasi umum.

Dua per tiga orang yang hidup dengan HIV tinggal di wilayah Sub-Sahara Afrika. Sementara hingga Juli 2021 ini, kurang dari 3 persen orang di Afrika yang telah menerima setidaknya satu dosis vaksin COVID-19.

Lockdown Semakin Menyulitkan Akses

Nunez mengatakan kebijakan penutupan sebagian wilayah dan penghentian kegiatan – atau dikenal sebagai lockdown – dan pembatasan-pembatasan sosial lainnya telah mengganggu uji medis HIV, dan di banyak negara menimbulkan penurunan tajam dalam diagnosis dan rujukan pengobatan HIV.

Lebih jauh ia mengatakan ada langkah-langkah yang diperlukan untuk mengatasi ketidaksetaraan, sebagaimana yang disajikan dalam laporan. Ini mencakup infrastruktur yang dipimpin oleh komunitas masyarakat dan berpusat pada manusia, akses yang adil untuk memperoleh obat-obatan, vaksin dan teknologi kesehatan, hak asasi manusia untuk membangun kepercayaan dan memberantas pandemi, memberdayakan pekerja dan menyediakan sumber daya dan alat yang dibutuhkan, dan sistem data yang berpusat pada orang dan menyoroti ketidaksetaraan.

Nunez menekankan “kita telah berada di persimpangan jalan yang menunjukkan pilihan yang harus diambil oleh para pemimpin, yaitu tindakan yang berani atau setengah-setengah. Datanya jelas, sudah terlalu berjenjang; dan bahwa ini merupakan pilihan yang tidak terjangkau. Setiap menit yang berlalu, kita kehilangan nyawa orang yang berharga akibat AIDS, dan kita tidak punya waktu lagi.” [em/lt]

XS
SM
MD
LG