Tautan-tautan Akses

‘Jangan Menjadi Google’: Kebangkitan Perusahaan Startup Pro-Data Pribadi


Logo dari perusahaan Google terlihat di markas perusahaan tersebut di Mountain View, California, pada 1 November 2018. (Foto: Reuters/Stephen Lam)
Logo dari perusahaan Google terlihat di markas perusahaan tersebut di Mountain View, California, pada 1 November 2018. (Foto: Reuters/Stephen Lam)

Google sempat menggunakan slogan “jangan menjadi penjahat” untuk membedakan perusahaannya dengan para pesaing. Akan tetapi, kini semakin banyak perusahaan rintisan alias startup yang pro terhadap perlindungan data pribadi beramai-ramai menggunakan slogan “jangan menjadi Google”.

Mereka menyindir Google Analytics, sebuah produk yang digunakan oleh lebih dari separuh situs web di seluruh dunia untuk memahami perilaku orang-orang saat berselancar di dunia maya.

“Google membuat banyak perangkat bagus untuk banyak orang,” kata Marko Saric, pria Denmark yang kini bermukim di Belgia, yang mendirikan Plausible Analytics di Estonia tahun 2019.

“Tetapi selama bertahun-tahun mereka mengubah pendekatan mereka tanpa benar-benar memikirkan apa yang benar, apa yang salah, apa yang jahat, apa yang tidak.”

Saric dan banyak lainnya diuntungkan oleh kebijakan GDPR, regulasi data pribadi Eropa yang diberlakukan mulai tahun 2018, untuk mengontrol siapa yang dapat mengakses data pribadi.

Pekan lalu, Prancis mengikuti langkah Austria dengan mengumumkan bahwa praktik Google dalam mentransfer data pribadi dari servernya di Uni Eropa ke servernya di AS merupakan hal ilegal di bawah GDPR, karena negeri Paman Sam tidak memiliki perlindungan yang memadai.

Google tidak setuju. Pihaknya mengatakan bahwa data yang ditransfer sudah dianonimkan dan skenario yang dibayangkan Eropa bersifat hipotesis belaka.

CEO Google Sundar Pichai (kanan) dan Philipp Justus, Wakil Presiden Google untuk wilayah Eropa Tengah dan Negara-negara pengguna Bahasa Jerman, menghadiri pembukaan kantor baru Alphabet di Berlin, Jerman, pada 22 Januari 2019. (Foto: Reuters/Hannibal Hanschke)
CEO Google Sundar Pichai (kanan) dan Philipp Justus, Wakil Presiden Google untuk wilayah Eropa Tengah dan Negara-negara pengguna Bahasa Jerman, menghadiri pembukaan kantor baru Alphabet di Berlin, Jerman, pada 22 Januari 2019. (Foto: Reuters/Hannibal Hanschke)

Meski demikian, perusahaan-perusahaan startup melihat peluang dalam pertarungan a la David vs. Goliath itu.

“Pekan ketika Google Analytics dinyatakan ilegal oleh DPA (otoritas perlindungan data pribadi) Austria adalah pekan yang baik bagi kami,” kata Paul Jarvis, yang menjalankan Fathom Analytics dari rumahnya di Pulau Vancouver, Kanada.

Ia mengaku jumlah pelanggan baru platformnya meningkat tiga kali lipat pada pekan itu, meski ia tidak bersedia memberikan angka pasti.

Google mendominasi pasar analitik, di mana 57 persen situs web yang ada di seluruh dunia menggunakan layanannya, menurut survei kelompok W3Techs. Perangkat analitik terbaik yang fokus pada perlindungan data pribadi, Matomo, hanya menguasai satu persen pasar.

Para pemain kecil tahu mereka tidak akan bisa menggulingkan dominasi Google, namun mereka berniat untuk menyuntikkan sedikit keadilan dan opsi dalam pasar tersebut.

Aplikasi Raksasa

Momen paling memicu semangat para pengembang perangkat lunak pro-data pribadi terjadi pada tahun 2013, ketika mantan kontraktor CIA, Edward Snowden, mengungkap bagaimana badan-badan keamanan AS terlibat dalam aksi pengawasan massal (mass surveillance).

“Kami sudah tahu sebagian informasi itu,” kata pendiri Matomo, Matthieu Aubry. “Namun ketika ia muncul, kami punya bukti bahwa kami bukan sekadar paranoid atau mengada-ada.”

Snowden menunjukkan bagaimana Badan Keamanan Nasional AS, dibantu oleh sistem pengadilan rahasia, mampu mengumpulkan data pribadi para pengguna situs web, termasuk Google, Facebook dan Microsoft.

CEO Google Sundar Pichai diambil sumpah sebelum memberikan testimoni di sidang yang digelar oleh Komite Kehakiman DPR AS mengenai praktik pengumpulan data yang dilakukan oleh perusahaan miliknya, di Gedung Capitol, Washington, pada 11 Desember 2018. (Foto: Reuters/Jim Young)
CEO Google Sundar Pichai diambil sumpah sebelum memberikan testimoni di sidang yang digelar oleh Komite Kehakiman DPR AS mengenai praktik pengumpulan data yang dilakukan oleh perusahaan miliknya, di Gedung Capitol, Washington, pada 11 Desember 2018. (Foto: Reuters/Jim Young)

Pengungkapan oleh Snowden membantu memperkuat dukungan di seantero Eropa untuk meloloskan regulasi baru mengenai perlindungan data pribadi dan menginsipirasi para pengembang perangkat lunak untuk menjadikan isu perlindungan data pribadi sebagai inti dari produk mereka.

Satu isu yang dibidik para startup pada Google adalah kompleksitas Google Analytics.

“Ada 1.000 dasbor berbeda dan semua data ini, tetapi itu tidak membantu Anda apabila Anda tidak mengerti cara menggunakannya,” kata Michael Neuhauser, yang meluncurkan Fair Analytics bulan lalu.

Jarvis, yang sebelumnya pernah melatih orang-orang menggunakan Google Analytics, menggambarkan perangkat itu sebagai “raksasa”.

Tidak seperti Google, produk-produk yang fokus pada perlindungan data pribadi tidak menggunakan cookie untuk melacak para pengguna di seluruh web. Mereka menawarkan susunan data yang lebih sederhana, membantu mereka tetap berada dalam lingkup aman GDPR.

Dan mereka menggunakan hal itu sebagai nilai jual utama di situs web mereka. [rd/rs]

XS
SM
MD
LG