Tautan-tautan Akses

Industri Gula Indonesia Tak Semanis di Era Kolonial Belanda


Seorang pekerja duduk di atas karung gula di dekat gudang pabrik gula Tasik Madu di Solo, Jawa Tengah, 4 Agustus 2011. (Foto: REUTERS/Beawiharta)
Seorang pekerja duduk di atas karung gula di dekat gudang pabrik gula Tasik Madu di Solo, Jawa Tengah, 4 Agustus 2011. (Foto: REUTERS/Beawiharta)

Indonesia merupakan salah satu produsen gula utama dunia selama dijajah Belanda. Ekspornya menduduki peringkat kedua, hanya kalah dari Kuba. Kini, negara yang dijuluki sebagai Zamrud Khatulistiwa ini justru menjadi salah satu importir nomor wahid secara global.

Kenangan manis bisnis gula tersebut diceritakan Direktur Utama PT Perkebunan Nusantara (PTPN) III, Dr. Mohammad Abdul Ghani dalam diskusi Problematika Kebijakan dan Revitalisasi Industri Gula Nasional, Kamis (23/9).

“Pada tahun 1930, dengan luas areal hanya 196 ribu hektare, kita bisa menghasilkan 2,9 juta ton gula per tahun, dengan produktivitas per hektare 14,7 ton,” kata Abdul Ghani.

Pekerja memanen tebu di perkebunan negara di Sidoarjo, Jawa Timur, 3 Agustus 2011. (Foto: REUTERS/Sigit Pamungkas)
Pekerja memanen tebu di perkebunan negara di Sidoarjo, Jawa Timur, 3 Agustus 2011. (Foto: REUTERS/Sigit Pamungkas)

Saat ini, lanjut dia, Indonesia memiliki areal tanaman tebu yang luasnya dua kali lipat dibandingkan masa kolonial Belanda. Namun produksi gula hanya mencapai 2,1 juta ton per tahun, dengan produktivitas lahan per hektare hanya 5 ton, atau sepertiga dari jumlah yang diraih 90 tahun lalu. Penurunan itu terjadi sejak merdeka, sehingga pada 1967 Indonesia masuk dalam kelompok negara importir gula.

Direktur Utama PT Perkebunan Nusantara (PTPN) III, Dr. Mohammad Abdul Ghani. (Foto: Courtesy/PTPN)
Direktur Utama PT Perkebunan Nusantara (PTPN) III, Dr. Mohammad Abdul Ghani. (Foto: Courtesy/PTPN)

“Kalau kita lihat, penurunan ini memang persoalannya pada petani. Secara usaha tani, nilainya semakin menurun. Omong kosong kita mau menaikkan produksi gula, kalau tidak menyentuh petani,” tambah Abdul Ghani dalam diskusi yang digelar Fakultas Pertanian UGM.

Tentu langkah perbaikan dilakukan. Abdul Ghani menyebut, PTPN kini memiliki lahan tebu 55 ribu hektare. Ke depan, jumlahnya akan ditingkatkan hingga menjadi 85 ribu - 100 ribu hektare. Salah satu langkahnya adalah mengganti seluruh lahan kakao dan karet di Jawa menjadi lahan tebu. PTPN memiliki 45 pabrik gula, dengan 35 di antaranya masih bisa beroperasi. Pada Agustus 2021, seluruh pabrik gula di bawah PTPN telah digabung dalam satu entitas bernama PT Sinergi Gula Nusantara.

Seorang pekerja memanen tebu di perkebunan negara di Sidoarjo, Jawa Timur, 3 Agustus 2011. (Foto: REUTERS/Sigit Pamungkas)
Seorang pekerja memanen tebu di perkebunan negara di Sidoarjo, Jawa Timur, 3 Agustus 2011. (Foto: REUTERS/Sigit Pamungkas)

Seluruh pabrik gula milik pemerintah di Indonesia digabungkan agar mampu meningkatkan kemandirian produksi gula nasional. Abdul Gani mengakui selama ini terjadi penurunan kapabilitas, kapasitas SDM dan budaya kerja di lingkungan pabrik gula milik PTPN.

“Tujuan transformasi ini agar tercapai kemandirian industri gula nasional. Tahun 2024 kita targetkan produksi mencapai 3,2 juta ton untuk gula konsumsi,” tambahnya.

Industri Gula Indonesia Tak Semanis Era Kolonial Belanda
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:02:30 0:00

Subsidi Negara Dibutuhkan

Salah satu masalah besar bagi industri gula adalah ketersediaan lahan untuk tanaman tebu. Guru Besar Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Prof Azwar Maas menguraikan potensi peningkatan lahan yang bisa dilakukan. Dia mengatakan, karakteristik tanah di Jawa mayoritas cocok untuk menanam tebu.

Guru Besar Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian UGM, Prof Azwar Maas. (Foto: Courtesy/Faperta UGM)
Guru Besar Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian UGM, Prof Azwar Maas. (Foto: Courtesy/Faperta UGM)

“Tanah Jawa semua cocok. Tetapi sudah sangat terbatas peluangnya, karena sudah dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan. Jadi untuk mencari pengembangan HGU itu nampaknya sulit. Pemda apakah mampu menyediakan minimal 10 ribu hektare untuk HGU?” kata Azwar.

HGU adalah salah satu jenis kepemilikan tanah di Indonesia.

Lahan di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi hingga Papua bisa saja dijadikan lahan tebu, asal bukan rawa atau gambut. Tebu mungkin bisa tumbuh di lahan rawa, tetapi membutuhkan persiapan dan perhatian khusus dalam prosesnya. Sementara lahan di Nusa Tenggara cukup ideal, tetapi ada persoalan air karena tebu membutuhkan pasokan cukup banyak.

Dalam pengamatannya, Azwar mengatakan sejauh ini kinerja pabrik gula milik BUMN masih dalam proses berjuang dan bertahan di tengah persaingan bisnis. Mereka memiliki kendala budidaya, pascabudidaya dan pengelolaannya. Selain itu, sektor ini sangat membutuhkan dukungan pemerintah.

“Di negara lain, justru petani tebu ada subsidinya. Itu sebabnya Thailand bisa mengekspor karena kelebihan produksi. Ada campur tangan pemerintah yang pro-tebu, negara lain ada yang subsidinya sampai 30 persen,” lanjutnya.

Lingkaran Setan Tebu

Guru Besar Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian UGM, Prof. Irham. (Foto: Courtesy/Humas UGM)
Guru Besar Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian UGM, Prof. Irham. (Foto: Courtesy/Humas UGM)

Guru Besar Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian UGM, Prof. Irham menyebut ada lingkaran setan dalam industri gula di Tanah Air. Lingkaran itu bertumpu pada fakta, bahwa secara umum produktivitas tebu nasional memang rendah. Penyebabnya adalah praktik budidaya tebu yang tidak standar, karena penggunaan imput atau bibit yang tidak optimal.

Bibit berkualitas rendah dipakai karena modal dan investasi yang dilakukan juga rendah. Investasi rendah, karena pendapatan petani dan perusahaan gula juga rendah. Pendapatan itu rendah, karena produksi tebu rendah, sebagai dampak dari produktivitas yang juga rendah.

Kayak lingkaran setan yang tidak pernah putus. Lingkaran ini harus diputus. Dari mana? Yang paling logis itu, dari praktik budidaya tebu yang tidak standar itu, kita putus. Oleh karena itu saya usulkan ada program konsolidasi pengelolaan atau manajemen tebu rakyat,” kata Irham.

Penjual gula mengemas gula dalam kemasan yang lebih kecil sebelum dijual ke pelanggan di Tangerang, Banten pada 3 April 2020. (Foto: AFP/Fajrin Rahardjo)
Penjual gula mengemas gula dalam kemasan yang lebih kecil sebelum dijual ke pelanggan di Tangerang, Banten pada 3 April 2020. (Foto: AFP/Fajrin Rahardjo)

Industri gula penting dikembalikan kejayaannya karena ini bisnis menggiurkan. Dari penelitian yang dilakukan di Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY dan Jawa Timur, Irham mencatat konsumsi gula masyarakat setahun mencapai Rp11 triliun. Angka yang sangat besar, hanya dari empat provinsi saja. Catatannya, penyelesaian itu tidak bisa bagian per bagian, tetapi harus menyeluruh. Enam pihak terkait, yaitu petani tebu, industri gula berbasis tebu, pemerintah, kementerian terkait, produsen gula rafinasi, dan pengusaha gula harus satu suara.

Wacana Sugar Fund

Dr Suyoto Hadisaputro, peneliti Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI). (Foto: VOA/Nurhadi)
Dr Suyoto Hadisaputro, peneliti Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI). (Foto: VOA/Nurhadi)

Sementara itu, Dr Suyoto Hadisaputro, peneliti di Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) menyebut, akibat tingginya impor, Indonesia membayar sekitar Rp30 triliun per tahun.

“Kalau ini tidak diatasi, kita akan sangat tergantung pada gula impor,” ujarnya dalam diskusi ini.

Indonesia membutuhkan dua kebijakan, yaitu proteksi dan promosi bagi industri gula. Program proteksi adalah upaya melindungi industri gula dari gempuran impor. Sedangkan promosi terutama dilakukan dengan perbaikan mendasar, misalnya rehabilitas sektor pertanian.

Indonesia juga memerlukan riset untuk pengembangan pertanian tebu dan industri gula. Karena dana riset besar, Suyoto memandang penting anggarannya dipenuhi dari luar APBN. Caranya adalah dengan membuat Sugar Fund, yang diperoleh dengan menerapkan pungutan untuk setiap kilogram gula yang diimpor pengusaha.

“Besarnya pungutan untuk Sugar Fund itu sekitar Rp500 per kilogram gula mentah yang diimpor. Dari situ, karena impor kita mencapai 4 juta ton per tahun, maka dana Sugar Fund akan terkumpul Rp2 triliun,” tambah Suyoto. [ns/ah]

Recommended

XS
SM
MD
LG