Tautan-tautan Akses

Indonesia Nyatakan Kesiapan Bantu Penyelesaian Konflik di Myanmar


Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi (Foto Courtesy : Kemlu RI)
Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi (Foto Courtesy : Kemlu RI)

Pemerintah Indonesia menyampaikan kesediaan untuk berkontribusi terhadap penyelesaian konflik di Myanmar karena menilai demokrasi yang sudah diperjuangkan sejak lama patut dipertahankan. 

Dalam jumpa pers usai bertemu Menteri Luar Negeri Hongaria di kantornya di Jakarta, Selasa (16/2), Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan semua pihak harus menyelamatkan proses transisi Myanmar ke arah demokrasi. Hal ini disampaikannya menanggapi perkembangan terkini di negara Asia Tenggara itu.

"Upaya untuk mengamankan berlanjutnya transisi inklusif menuju demokrasi perlu terus dikedepankan. Mekanisme kawasan harus dapat bekerja lebih baik untuk secara konstruktif membantu penyelesaian isu yang sulit ini," kata Retno.

Retno menekankan keselamatan dan kesejahteraan rakyat Myanmar harus menjadi prioritas utama. Sejak awal, Indonesia secara konsisten menyampaikan kesediaan untuk berkontribusi terhadap penyelesaian konflik di Myanmar.

Menurut Retno, ia berencana menelpon Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Antony Blinken untuk membahas isu Myanmar Selasa ini (16/2) dan Menteri Luar Negeri China Wang Yi pada hari Rabu (17/2).

Pada hari yang sama Retno juga akan terbang ke Brunei Darussalam untuk membicarakan persoalan Myanmar.

Perludem: Demokrasi Myanmar Harus Dibela

Pembina Perkumpulan untuk Pemilihan Umum dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menekankan demokrasi harus dibela karena dalam perkembangannya ada tantangan-tantangan yang akan menguji demokrasi di sebuah negara.

Data di Economist Intelligence Unit memperlihatkan dua negara di kawasan Asia yang indeks demokrasinya pada tahun 2019 menurun tajam, yakni Hong Kong dan Myanmar.

Menurut Titi, meskipun kualitas demokrasi Myanmar sempat mandek, bahkan mengalami penurunan. Kondisi ini membuat situasi politik dan keamanan makin tidak kondusif, sementara proses rekonsiliasi, dialog, komunikasi, antar kelompok tidak berjalan baik.

“Tantangan besar dari solidaritas kita salah satunya soal komitmen untuk konsisten. Karena apa yang terjadi di sana tidak akan selesai dengan pernyataan-pernyataan dan kecenderungannya pernyataan itu mudah menguap. Tetapi bagaimana membangun koherensi dan konektivitas dengan gerakan yang lebih besar yang lebih punya kemampuan untuk menekan," kata Titi.

Junta militer resmi berkuasa di Myanmar setelah angkatan bersenjata Myanmar (Tatmadaw) menahan pemimpin de facto Aung San Suu Kyi dan sejumlah pemimpin masyarakat sipil lain, termasuk Presiden Myanmar Win Myint dan sejumlah tokoh senior partai berkuasa “Liga Nasional untuk Demokrasi” (NLD) dalam kudeta 1 Februari lalu.

Rakyat Myanmar dan masyarakat internasional mengecam dan menolak kudeta itu. [fw/em]

Recommended

XS
SM
MD
LG