Tautan-tautan Akses

Indonesia Minta China Tegas Soal ABK


KRI Imam Bonjol (kiri) memeriksa kapal nelayan berbendera China, Han Tan Chou (kanan), di perairan dekat Kepulauan Natuna, 17 Juni 2016, sebagai illustrast. (Foto: Reuters)
KRI Imam Bonjol (kiri) memeriksa kapal nelayan berbendera China, Han Tan Chou (kanan), di perairan dekat Kepulauan Natuna, 17 Juni 2016, sebagai illustrast. (Foto: Reuters)

Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi meminta kepada pemerintah China untuk bertindak tegas supaya tidak ada lagi warga Indonesia yang bekerja sebagai anak buah kapal (ABK) ikan China menjadi korban kerja paksa.

Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menegaskan hal ini dalam jumpa pers secara virtual setelah pertemuannya dengan State Councillor sekaligus Menteri Luar Negeri China Wang Yi, tentang persoalan kerja paksa ABK Indonesia di kapal-kapal ikan China.

Retno meminta kepada pemerintah China untuk bertindak tegas supaya tidak ada lagi warga Indonesia menjadi anak buah kapal ikan China menjadi korban kerja paksa.

Menlu Retno Marsudi dalam jumpa pers virtual, Jumat 7 Agustus 2020. (Foto: Courtesy/Kemlu)
Menlu Retno Marsudi dalam jumpa pers virtual, Jumat 7 Agustus 2020. (Foto: Courtesy/Kemlu)

"Saya menekankan bahwa isu ini sudah bukan merupakan isu antara swasta, namun pemerintah sduah harus terlibat untuk memastikan bahwa pelanggaran-pelanggaran kemanusiaan ini tidak terjadi di masa mendatang," ujarnya.

Indonesia juga meminta kerjasama Mutual Legal Assitance (MLA) agar warga negara China dapat menjadi saksi dalam kasus ini dan transparansi investigasi dugaan perdagangan mansuia di kapal Long Xin 629. Menurut Retno, Wang Yi menanggapi positif permintaan Indonesia itu.

Koridor Perjalanan Bisnis Esensial

Dalam pertemuan dengan Wang Yi tersebut, lanjut Menteri Rento, kedua negara juga menyepakati koridor perjalanan bisnis esensial. Ini merupakan koridor perjalanan bisnis esensial ketiga yang dibuat oleh Indonesia dengan negara lain setelah dengan Uni Emirat Arab pada 29 Juli 2020, Korea Selatan yang berlaku mulai 17 Agustus 2020, dan dengan China yang berlaku sejak 20 Agustus 2020.

Kasus dugaan perdagangan orang serta kerja paksa yang menimpa anak buah kapal (ABK) berkebangsaan Indonesia di kapal ikan asing ternyata sangat banyak setiap tahunnya. Kementerian Luar Negeri menyebutkan perbudakan ABK WNI itu seperti fenomena puncak gunung es karena banyak kasus yang tidak terungkap.

Dua ABK di atas kapal Long Xin berbendera China (courtesy: Facebook).
Dua ABK di atas kapal Long Xin berbendera China (courtesy: Facebook).

Sebelumnya, Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri Judha Nugraha menjelaskan dalam tiga tahun terakhir ada ribuan kasus ABK WNI yang ditangani pihaknya. Pada 2017 ada sekitar 1.200 kasus, 2018 sekitar 1.200 kasus, dan 2019 1.095 kasus.

DFW: Sedikitnya 11 ABK Meninggal, 2 Hilang

Menurut Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh. Abdi Suhufan, selama 22 November 2019 hingga 19 Juli 2020 ada 13 korban anak buah kapal (ABK) Indonesia yang bekerja di kapal ikan berbendera China, di mana 11 orang meninggal dan 2 lainnya hilang. Menurutnya pemerintah harus melakukan moratorium pengiriman ABK untuk bekerja di kapal-kapal ikan China sampai proses investigasi rampung dan proses perekrutan di dalam negeri dibenahi.

Jenazah ABK "H" sebelum dilarung ke laut yang viral di media sosial (courtesy: Facebook).
Jenazah ABK "H" sebelum dilarung ke laut yang viral di media sosial (courtesy: Facebook).

Mengingat kondisi kerja yang tidak manusiawi, Abdi mengatakan kuat dugaan sebagian besar ABK warga Indonesia yang bekerja di kapal ikan China meninggal karena disiksa. Mereka yang bertahan juga kerap menerima kekerasan fisik dari mandor dan nahkoda. Ironisnya pihak nahkoda selalu melaporkan kematian ABK warga Indonesia karena kecelakaan kerja. [fw/em]

Recommended

XS
SM
MD
LG