Tautan-tautan Akses

Indonesia Go Nuclear: Mimpi atau Keinginan Realistis?


Masyarakat mengunjungi reaktor GA Siwabessy di BATAN Kawasan Nuklir Serpong (25-9). (Foto: Humas BATAN/dok)
Masyarakat mengunjungi reaktor GA Siwabessy di BATAN Kawasan Nuklir Serpong (25-9). (Foto: Humas BATAN/dok)

Teknologi nuklir bagi Indonesia seperti buah simalakama. Kebutuhan energi listrik yang besar, misalnya, bisa diselesaikan dengan nuklir. Namun, penolakan dari masyarakat juga luar biasa.

Nuklir bukan hal baru bagi Indonesia. Kita memiliki sejarah 40 tahun dalam penelitian, pengembangan dan penerapannya. Namun, begitu mendengar kata Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN), mayoritas masyarakat akan menolak. Padahal teknologi ini sudah diterapkan di sektor pertanian, lingkungan dan kesehatan sejak dulu.

PLTN memiliki banyak kelebihan. Kepala Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) Djarot Sulistio Wisnubroto menyebut beberapa di antaranya, yaitu bersih, harga bahan baku stabil dan operasionalnya panjang dengan daya besar.

Djarot memaparkan itu di sela-sela seminar Infrastruktur Energi Nuklir di Yogyakarta, Kamis (25/10) siang. Menurut Djarot, Indonesia memiliki komitmen menurunkan emisi karbon hingga lebih dari 30 persen sesuai perjanjian iklim Paris. Pembangunan PLTN memungkinkan pencapaian target itu. PLTN juga menguntungkan karena harga uranium yang stabil, berbeda dengan minyak atau batubara. Lebih dari itu, pembangkit jenis ini mampu menghasilkan listrik dengan daya besar dalam waktu panjang.

Anggota Komisi VII DPR RI, Kurtubi meyakini Indonesia sudah membutuhkan PLTN. (Foto:VOA/ Nurhadi)
Anggota Komisi VII DPR RI, Kurtubi meyakini Indonesia sudah membutuhkan PLTN. (Foto:VOA/ Nurhadi)

“BATAN otomatis selalu punya program untuk menyiapkan PLTN, kapanpun. Kita punya sejarah 40 tahun. Jadi kalau banyak kajian mulai dari Jepara, Bangka, Kalimantan Barat, dan NTB itu bagian dari proses, kelak kalau pemerintah ingin memilih salah satu lokasi. Infrastruktur dari sisi lokasi kita sudah siap. Kemudian dari SDM sudah siap. Kita punya kerja sama pendirian teknik nuklir di UGM, kemudian program S2 dan S3 di ITB, termasuk Sekolah Tinggi Teknologi Nuklir (STTN),” kata Djarot Sulistio Wisnubroto.

BATAN juga terus melakukan sosialisasi dan promosi soal ini. Tetapi penolakan tak pernah berhenti. Salah satu contohnya adalah rencana pembangunan PLTN Muria, di Jawa Tengah. Kerusakan PLTN Fukushima, Jepang pada 2011 yang tersiar luas di media turut mempengaruhi sikap masyarakat. Mereka membentuk organisasi di tiga Kabupaten, yaitu Kudus, Jepara dan Pati dan intensif melakukan penolakan. Program pemerintah itu pun tak terdengar lagi kelanjutannya saat ini.

“Yang menjadi catatan ternyata bukan hanya masalah teknis. Masalah non teknis, misalnya persepsi yang kita anggap tidak tepat mendudukan nuklir sebagai kompetitor minyak atau batu bara. Namun saya katakan, dari sisi teknis Indonesia siap kalau suatu saat pemerintah menyatakan Indonesia go nuclear,” tambah Djarot.

Laporan dari Greenpeace [R]evolusi Energi bagi Indonesia, yang disusun bersama Engineering Center Universitas Indonesia dan Dewan Energi Terbarukan Eropa, menunjukkan bahwa Indonesia mampu menghasilkan lebih dari 60 persen listrik dari sumber-sumber energi terbarukan pada tahun 2050.

Fakta ini membuat Greenpeace mendorong pemerintah Indonesia tidak tergantung pada bahan bakar fosil atau nuklir. Laporan itu juga menunjukkan bahwa energi terbarukan dapat menyediakan listrik murah bagi Indonesia.

Sementara komunitas pro nuklir menyuarakan bahwa nuklir juga murah dan bersih.

Anggota Komisi VII DPR RI yang membindangi masalah energi, Kurtubi bersikap lebih jelas. Dia meminta PLTN masuk menjadi bagian dari sistem kelistrikan nasional dan segera dibangun. Beban regulasi harus diselesaikan, karena tidak ada undang-undang yang melarang penerapan teknologi nuklir untuk listrik. Masalahnya, kata Kurtubi, justru berada dalam aturan-aturan di bawah seperti keputusan presiden atau peraturan menteri yang mengganjal upaya ini.

“Mari berjuang bersama-sama. Saya di DPR berjuang all out, bagaimana ini segera dibangun. Saya awalnya ingin di NTB yang pertama. Kalau tidak, Kalimantan Barat. Karena disana sebagian listriknya beli dari Malaysia. Dalam jangka panjang, bahan bakunya ada di Kalimantan Barat, uranium. Kita berharap ada langkah mempercepat UU Ketenaganukliran, agar kita punya payung hukum,” kata Kurtubi.

Indonesia memiliki sumber daya yang cukup. Kata Kurtubi, tenaga ahli terdidik di sektor ini juga melimpah. Indonesia akan mampu bersaing dengan Cina, asal tidak ada kebijakan yang menganaktirikan nuklir. Industri juga sangat membutuhkan kehadiran PLTN. Bebannya, lanjut Kurtubi, saat ini adalah masalah politik.

“Komisi VII mendukung penuh, termasuk dalam kunjungan ke berbagai daerah. Tetapi memang pemerintah memang belum berani. Mungkin ada pertimbangan politik, takut digempur oleh NGO anti nuklir, isunya menjadi isu politik, apalagi tahun ini tahun politik. Kita harapkan pasca Pilpres. Kalau saya optimis, siapapun presidennya, sebab 10 fraksi sudah sepakat,” kata Kurtubi.

Belum adanya kejelasan sikap dari pemerintah membuat sektor swasta juga tidak mau masuk dalam industri ini. Selain itu, penerapannya juga harus sangat hati-hati karena Indonesia dikenal rawan bencana. BATAN meyakini bahwa fasilitas nuklir harus dibangun dengan mengedepankan faktor keselamatan tinggi. Karena itulah, lokasi calon tapak PLTN selalu dipilih di kawasan dengan potensi gempa rendah, seperti Kalimantan, Kepulauan Bangka Belitung, atau Jawa bagian utara.

Seminar Infrastruktur Energi Nuklir di Yogyakarta, Kamis, 25 Oktober 2018. (Foto: VOA/Nurhadi).
Seminar Infrastruktur Energi Nuklir di Yogyakarta, Kamis, 25 Oktober 2018. (Foto: VOA/Nurhadi).

Prof. Abdul Waris, dari Institut Teknologi Bandung (ITB) juga meyakinkan bahwa dari sisi SDM, Indonesia sudah siap menerapkan teknologi nuklir. Kerja sama perguruan tinggi dengan BATAN dan Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) sudah dilakukan sejak lama.

“Kami sejak tahun 90-an sudah punya program S2 Nuklir, juga S3. Saya kira, dari dulu kita selalu siap. Di BATAN dan BAPETEN ada banyak alumni dari luar negeri yang pendidikannya sudah jelas, Department of Nuclear Engineering. Saya saya kira, sudah siap semua,” kata Waris.

Salah satu yang masih menjadi kelemahan Indonesia adalah industri di nuclear island, yaitu industri yang bergerak di bidang reaktor dan fasilitas yang berisiko radiasi. Hingga saat ini, belum ada yang bergerak di sektor ini di Indonesia. [ns/lt]

Recommended

XS
SM
MD
LG